Telset.id, Jakarta – Penurunan tarif interkoneksi yang rencananya akan diberlakukan mulai tanggal 1 September nanti dinilai belum berdampak signifikan bagi pelanggan. Lantas kalau begitu, interkoneksi untuk siapa?
Demikian pendapat mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Bambang P Adiwiyoto. Ia mengungkapkan, jika penurunan tariff ritel rata-rata mencapai 26% untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler, masih belum cukup memberikan manfaat yang signifikan bagi pengguna.
“Ini ada sesuatu miskomunikasi, mungkin perhitungan 26% itu tidak cocok. Mohon dihitung lagi. Coba berkomunikasilah apa yang perlu disesuaikan,” kata Bambang P Adiwiyoto di Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Menurutnya, pertimbangan paling utama seharusnya adalah manfaat bagi pengguna. Dengan tarif yang sesuai, maka pengguna jasa telekomunikasi akan menikmati pengaruhnya.
Bambang melihat adanya sesuatu yang belum diinput dalam formulasi penghitungan biaya interkoneksi. Sehingga, komunikasi antar pihak yang berkepentingan dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika dan operator telekomunikasi menjadi sangat penting.
“Karena sepertinya ada sesuatu yang belum dimasukkan sehingga kok rendah sekali,” ujar Bambang menanggapi keputusan pemerintah terkait hasil perhitungan penurunan tarif interkoneksi tahun 2016.
[Baca juga: DPR Ingatkan Menkominfo Hati-hati Turunkan Interkoneksi]
Meski begitu, lanjut Bamabang, operator telekomunikasi wajib patuh dan menerima keputusan pemerintah yang telah berdasarkan proses penghitungan yang fair terkait besaran biaya interkoneksi 2016.
Masalah dampak signifikan penurunan interkoneksi terhadap tarif retail juga terus mendapat pertanyaan dari para anggota dewan dalam rapat kerja antara Komisi I DPR dan Menkominfo Rudiantara beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyarankan agar Rudiantara tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan penghitungan tarif interkoneksi. Apalagi ada operator yang keberatan dan ada potensi kerugian negara dalam jumlah besar.
“Bukankah sebenarnya ada cara lain yang tidak berarti harus melalui tarif interkoneksi? Jadi menurut saya, sekarang harus perlu dikaji juga jika masih ada operator yang keberatan. Saya inginnya sih minta operator duduk bareng dulu (dengan Menkominfo),” tandasnya.
Hal senada disampikan Anggota Komisi I lainnya, Effendi Simbolon, yang mengatakan lebih baik jika mengundang kembali Menkominfo dan mengajak diskusi seluruh pihak operator yang pro dan yang kontra.
“Kalau saya sih menyarankan sebaiknya kita ingin mengelaborasi ini (interkoneksi), hadirkan saja seluruh pihak terkait. Tak perlu mengundang ahli. Cukup menteri sebagai wakil pemerintah, dan operator yang pro dan kontra saja. Kita duduk bareng,” kata Effendi.
Lebih jauh Effendi mengatakan sebaiknya DPR tidak terjebak dengan urusan korporasi karena interkoneksi bukan ranah mereka. “Ranah kita itu kinerja menteri, tapi kalau perlu membahas ini ya kita bentuk Panja saja,” ujarnya mengingatkan.
Sebagai informasi, tarif interkoneksi merupakan biaya yang mesti dikeluarkan operator saat pengguna layanan komunikasinya menghubungi operator lain, baik berupa panggilan atau pesan singkat.
Kisruh soal interkoneksi ini terkait keputusan yang dikeluarkan Kemenkominfo tentang perhitungan penurunan tarif interkoneksi. Penurunan tarif interkoneksi rata-rata 26% untuk 18 skema panggilan itu akan berlaku mulai 1 September 2016 hingga Desember 2018.
Telkomsel menjadi operator yang merasa keberatan dengan rencana penurunan tariff interkoneksi tersebut. Telkomsel berharap perhitungan mengenai penurunan tarif interkoneksi itu dilakukan dengan lebih adil.
Sementara menurut Rudiantara, bersikeras jika interkoneksi adalah hak dan kewajiban bagi semua penyedia operator. Persiapan soal penurunan tarif interkoneksi disebut Rudiantara telah berlangsung dari 2015.
“Indonesia itu ada di rezim multi-operator. Kalau monopoli, tidak ada interkoneksi. Operator wajib membuka jaringan dan mereka punya hak untuk berinterkoneksi,” jelasnya.
Rudantara mengungkapkan, bahwa angka 26% itu sudah melalui formula yang sudah dikonsultasikan bersama sebuah firma konsultan independen selama 10 tahun terakhir.
“Jadi kalau yang sekarang ini turun dibilang salah, berarti yang sebelumnya salah semua dong,” ujar Rudiantara. Ia menambahkan, hanya 26% dari 15% komponen tarif retail keseluruhan yang turun. “Itu artinya cuma turun 3,7% saja,” tandas.[HBS]