Telset.id, Jakarta– Polemik yang kian memanas dari rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dianggap tak produktif bagi industri telekomunikasi.
“Saat ini revisi dari kedua PP itu telah menimbulkan polemik di wilayah publik. Energi kita semua habis untuk membahas dan saling mempertentangkan. Ini tentunya menjadi tidak produktif dan kalau dibiarkan berlarut-larut tentunya juga akan memperlambat tujuan pemerintah dalam mendorong percepatan dan perluasan ketersediaan infrastruktur broadband di seluruh wilayah Indonesia,” kata pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, di Jakarta, Selasa (25/10).
Menurutnya, sudah jelas praktek berbagi jaringan baik aktif maupun pasif jamak dilakukan oleh para operator di berbagai belahan dunia, sehingga tidak ada alasan kenapa hal tersebut tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Dengan berbagi, akan memberikan kesempatan dan akses yang semakin merata bagi masyarakat, industri menjadi lebih efisien dan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi juga bisa semakin cepat meluas sehingga masyarakat/publik yang menikmati layanan tersebut juga semakin merata, telah terjadi penurunan tarif, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan makin menurun, ekonomi daerah bisa semakin tumbuh, dan sebagainya.
“Saat ini makin banyak pihak yang ikut campur dalam polemik revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 tersebut, dengan berbagai kepentingan masing-masing. Ini tentu menjadi tidak obyektif lagi, karena masing-masing pihak merasa paling benar dan bersikukuh dengan kebenaran versinya tersebut. Sebaiknya, dikembalikan saja ke esensi dasarnya yakni apa manfaatnya untuk masyarakat/publik,” katanya.
“Ini bisa terwujud kalau operator bisa diatur pemerintah untuk bisa membangun jaringan secara bersama dan berbagi dalam penggunaan jaringan tersebut. Para operator bisa lebih hemat/efisien dan dari penghematan yang dilakukan tsb, bisa dialokasikan untuk membangun jaringan di area lainnya yang belum terlayani. Begitu seterusnya…! Untuk itu, biarkan pemerintah melalui Kemenkominfo untuk secepatnya menyelesaikan revisi kedua PP tersebut, karena itu bagian dari kewenangan dan hak untuk mengatur industri ini supaya lebih baik dan semakin besar manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat,” katanya.
Disarankannya, semua pihak yang terlibat dalam polemik ini harus segera sadar bahwa semakin tidak menentu dan terselesaikannya revisi PP 52 & 53 tahun 2000 ini, akan semakin memperlama upaya pemerintah untuk mempercepat pemerataan penyediaan infrastruktur telekomunikasi, sehingga masyarakat di pedesaan/pelosok juga akan semakin lama mendapatkan akses dan kesempatan yang sama dalam menikmati layanan telekomunikasi. Ini juga berarti bahwa upaya untuk mencegah revisi PP sehingga menjadi polemik seperti ini, dapat dianggap sebagai melawan kepentingan nasional dan agenda pemerintah karena menghambat pembangunan negara.
“Ini tentu tidak menguntungkan buat masyarakat/publik. Kita harapkan semuanya berbesar hati, untuk mendukung upaya pemerintah menata industri ini. Tak perlu khawatir, bahwa berbagi jaringan secara bersama-sama akan merugikan bisnis operator, karena toh untuk implementasinya bisa dibicarakan dan dilakukan secara Business to Business (B2B),” katanya.
Sementara Pengamat dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyarankan semua pihak mempercayakan pengaturan industri telekomunikasi pada Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagai regulator industri.
“Isu yang digulirkan bahwa penggunaan jaringan secara bersama akan merugikan negara, saya pikir tidak berdasar dan mengada-ada. Justru industri akan efisien, dan bergairah sehingga bisa membayar pajak lebih besar. Penghematan biaya dengan sharing network justru juga bisa digunakan untuk memperluas jaringan dan memberi layanan lebih berkualitas pada pengguna untuk adopsi teknologi mutakhir,” kata Heru. (MS)