Telset.id – Kasus pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali memanas. Nadiem Makarim, menteri pendidikan era Presiden Joko Widodo, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Lalu, di mana posisi Google dalam skandal yang disebut merugikan negara hingga triliunan rupiah ini?
Google, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, memilih bersikap hati-hati. Perusahaan tidak mengomentari langkah hukum Kejaksaan Agung terhadap Nadiem. Namun, melalui pernyataan resminya, Google menegaskan komitmennya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Yang menarik, Google secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam pengadaan perangkat Chromebook untuk pemerintah.
“Google bangga atas komitmen dan kontribusi jangka panjangnya dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia. Dalam peranan Google sebagai penyedia teknologi, Google bekerja sama dengan jaringan reseller dan beragam mitra untuk menghadirkan solusinya kepada para pengguna akhir, yakni para pendidik dan siswa,” jelas perwakilan Google.
Pernyataan ini sekaligus menjadi penegasan bahwa kegiatan instansi pemerintah untuk pengadaan Chromebook dilakukan secara langsung dengan organisasi mitra dan reseller, bukan dengan Google secara langsung. Google menyoroti dampak positif yang dihasilkan oleh berbagai solusi teknologinya, meski kini terlibat dalam sorotan kasus korupsi.
Baca Juga:
Dari Pertemuan Rahasia hingga Kebijakan Kontroversial
Menurut keterangan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Nurcahyo Jungkung Madyo, awal mula kasus ini berawal dari pertemuan Nadiem dengan pihak Google Indonesia pada Februari 2020. Pertemuan ini membicarakan penggunaan produk Chromebook bagi peserta didik. Beberapa kali pertemuan dilakukan, dan disepakati Chrome OS serta Chrome Device Management (CDM) akan dibuat sebagai proyek pengadaan alat TIK.
Yang mencurigakan, pada 6 Mei 2020, Nadiem mengundang jajarannya untuk rapat tertutup via Zoom. Dalam rapat tersebut, Nadiem mewajibkan penggunaan Chromebook dalam pengadaan laptop di sekolah. Padahal, saat itu pengadaan alat TIK belum dimulai. Ini menjadi titik awal dimana kebijakan seolah dipaksakan untuk kepentingan tertentu.
Lebih lanjut, Kemendikbudristek di bawah Nadiem menjawab surat Google untuk berpartisipasi dalam pengadaan alat TIK. Padahal, surat serupa sebelumnya tidak dijawab oleh menteri pendidikan sebelumnya, Muhadjir Effendy. Muhadjir beralasan uji coba pengadaan Chromebook pada 2019 gagal dan tidak bisa dipakai untuk sekolah di wilayah 3T.
Nadiem menjadi tersangka kelima dalam kasus pengadaan laptop Chromebook yang merupakan bagian dari program digitalisasi pendidikan periode 2019-2022. Penetapan ini dilakukan Kejagung pada Kamis, 4 September 2025. Kasus ini semakin kompleks dengan adanya indikasi bahwa spesifikasi teknis dibuat secara khusus untuk mengunci penggunaan Chrome OS.
Spesifikasi Teknis yang Dipertanyakan
Atas perintah Nadiem, tim di Kemendikbudristek membuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang spesifikasinya sudah mengunci pada Chrome OS. Tim teknis kemudian membuat kajian review teknis yang dijadikan spesifikasi teknis dengan menyebut Chrome OS. Pada Februari 2021, Nadiem bahkan menerbitkan Permendikbud No. 5 Tahun 2021 tentang petunjuk operasional dana alokasi khusus fisik reguler bidang pendidikan tahun anggaran 2021 yang dalam lampirannya sudah menyinggung spesifikasi Chrome OS.
Pengadaan laptop untuk sekolah sebenarnya merupakan program penting dalam dunia pendidikan modern. Seperti dilaporkan dalam artikel sebelumnya, anggaran pengadaan perangkat teknologi untuk pendidikan memang sangat besar. Namun, besarnya anggaran ini harus diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas yang ketat.
Persaingan dalam pengadaan laptop pemerintah memang sangat ketat. Seperti diungkap dalam laporan terpisah, berbagai vendor bersaing untuk mendapatkan proyek triliunan rupiah ini. Sayangnya, dalam kasus Chromebook ini, proses pengadaan diwarnai dengan indikasi penyimpangan.
Pilihan sistem operasi untuk perangkat pendidikan juga menjadi perdebatan panjang. Selain Chrome OS, ada juga alternatif seperti Windows 11 SE yang khusus dirancang untuk perangkat pendidikan, seperti yang diumumkan Microsoft beberapa waktu lalu seperti dilaporkan di sini.
Implikasi bagi Dunia Pendidikan dan Teknologi
Kasus ini bukan hanya tentang seorang menteri yang menjadi tersangka, tetapi juga tentang masa depan digitalisasi pendidikan di Indonesia. Program yang seharusnya memajukan pendidikan justru tercemar oleh dugaan korupsi. Yang lebih memprihatinkan, siswa di wilayah 3T yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru mungkin menjadi korban dari kebijakan yang tidak tepat.
Pernyataan Google yang menegaskan tidak terlibat langsung dalam pengadaan patut menjadi perhatian. Ini menunjukkan bahwa perusahaan teknologi global biasanya bekerja melalui mitra lokal dalam proyek-proyek pemerintah. Namun, tanggung jawab moral untuk memastikan proses yang transparan dan bebas korupsi tetap menjadi perhatian semua pihak.
Ke depan, pengadaan teknologi untuk pendidikan harus dilakukan dengan lebih transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Spesifikasi teknis harus berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan, bukan berdasarkan kepentingan tertentu. Dunia pendidikan Indonesia tidak boleh menjadi ajang bisnis yang mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa.
Kasus Nadiem dan Chromebook ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak: pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat. Digitalisasi pendidikan adalah keniscayaan, tetapi harus dilakukan dengan integritas dan mengutamakan kepentingan publik. Kita semua berharap proses hukum berjalan fair dan mengungkap kebenaran seutuhnya, bukan sekadar mencari kambing hitam.