Telset.id, Jakarta – Beberapa pekan terakhir hubungan Telkomsel dan Indosat memanas terkait isu penurunan tarif intekoneksi. Telkomsel menyatakan tidak alergi rencana penurunan tarif interkoneksi, tapi harus mengedepankan azas keadilan.
Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, rencana penurunan tarif interkoneksi seharusnya jangan dijadikan kampanye janji manis operator bahwa akan dapat membuat tarif ritel turun secara besar-besaran.
“Biaya interkoneksi sebenarnya hanya sebagian kecil atau sekitar 15% dari variabel komponen tarif ritel secara keseluruhan, dari beberapa variabel biaya seperti service activation fee, marketing, dan margin,” terang Ririek saat acara buka puasa bersama media, Senin (27/6/2016).
Dia memberikan ilustrasi, jika penurunan 25% biaya interkoneksi dari 15% tarif ritel saat ini yang dibebankan kepada pelanggan (yang berkisar di angka Rp 1.500 – Rp 2.000 per panggilan lintas operator), maka penurunannya tidak terlalu signifikan.
“Komponen biaya interkoneksi untuk tarif ritel kecil sekali, tidak signifikan. Jadi kalau mereka (operator lain) mau turunin tarif ritel, ya turunin aja, gak perlu ribut soal interkoneksi,” ujar Ririek.
Lebih jauh orang nomor satu di Telkomsel itu menjelaskan, kalau bicara soal interkoneksi seharusnya operator tetap mengacu pada benchmark internasional yang menggunakan skema berbasis biaya atau cost based.
“Harusnya semua berbasis pada cost, karena itu yang paling fair. Karena untuk operator yang sudah bangun 10 BTS dengan 1 BTS tentu biaya yang dikeluarkan berbeda,” jelasnya
Sebagai operator terbesar di Indonesia, Ririek mengungkapkan Telkomsel tidak alergi dengan rencana penurunan tarif interkoneksi, asalkan harus mengedepankan azas keadilan.
“Kalau biaya interkoneksi tidak lagi berbasis cost, maka operator akan tidak lagi punya motivasi untuk membangun karena tidak dihargai lagi usahanya. Meskipun ada wacana turunnya per unit price perangkat jaringan, tapi masalahnya kita kan selalu melakukan modernisasi,” tutur Ririek.
Dengan turunnya harga unit perangkat jaringan, itu bukan berarti investasi operator akan menurun. Justru, menurut Ririek, itu adalah kesempatan untuk lebih memperluas jangkauan sekaligus memperkuat kapasitas.
Ia mengungkapkan ada tiga hal yang harus terus dilakukan operator terkait modernisasi. Pertama, karena perangkat memiliki umur pakai. Kedua, operator butuh tambah kapasitas. Ketiga, operator butuh tambah coverage.
“Jadi biarpun unit price turun, tapi volume tetap bertambah. Telkomsel saja dalam 3-5 tahun terakhir membangun lebih cepat dibanding 10 tahun terakhir, karena pertumbuhan data sangat cepat,” tandasnya.
Telkomsel saat ini memang jauh meninggalkan operator lainnyam baik dari sisi jumlah pelanggan maupun insfrastruktur. Telkomsel saat ini telah membangun 116 ribu base transceiver station (BTS), sedangkan Indosat hanya 53 ribu BTS dan XL Axiata 59 ribu BTS.
Seperti diketahui, skema tarif interkoneksi saat ini masih digodok di jajaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Jika sesuai jadwal, skema penghitungan tarif baru interkoneksi untuk percakapan suara lintas operator (off-net) seharusnya sudah terbit akhir tahun 2015 lalu.
Namun karena belum ada titik temu, Menkominfo Rudiantara Rudiantara meminta agar kembali dihitung ulang, agar ada penurunan yang signifikan. Menurut menteri, minimal turun 10% jika sesuai hitung-hitungan analis.
Namun hingga kini masih belum ada keputusan, karena masih ada perdebatan diantara para operator. Terjadi pro dan kontra antar operator soal angka, dimana ada operator yang menilai penurunan 10% masih sangat kecil. Sementara di sisi lain 10% dianggap sudah sangat besar. [HBS]