Telset.id, Jakarta – Industri telekomunikasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas layanan internet, terutama dalam sektor mobile broadband. Hal ini disebut lantaran beberapa faktor.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi kualitas layanan adalah kepadatan jaringan. Semakin padat jaringan, semakin baik layanan yang dapat diberikan oleh operator. Namun, membangun jaringan yang lebih padat membutuhkan investasi besar, yang menjadi tantangan tersendiri di tengah kondisi industri yang masih belum sehat.
Menurut Rudi Purwanto, Chairman of Working Group Spectrum ATSI dalam acara Selular Business Forum yang membahas jaringan di Indonesia pada Senin (10/02/2025), saat ini, rasio Beban Administrasi dan Perizinan (BAP) frekuensi terhadap pendapatan kotor operator berada di angka 12,2%.
BACA JUGA:
- 10 Rekomendasi ATSI Soal Penerapan Aturan IMEI
- Saran MASTEL Supaya Indonesia Menjadi Digital Hub Asia
“Angka ini mencerminkan tingginya beban spektrum frekuensi dibandingkan dengan pendapatan mereka. Idealnya, rasio ini berada di kisaran 8-10% agar industri dapat beroperasi dengan lebih sehat,” ujar Rudi.
Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh operator adalah harga spektrum frekuensi yang terus meningkat. Biaya ini menjadi beban besar bagi operator yang harus tetap berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur jaringan.
Kenaikan harga spektrum terjadi akibat parameter dalam formula Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yang terus meningkat setiap tahun, dengan rata-rata kenaikan sebesar 4,7-5% dalam lima tahun terakhir.
Pemerintah sendiri berencana melelang beberapa spektrum frekuensi baru dalam waktu dekat, termasuk 1.4 GHz yang menjadi sorotan utama karena potensinya dalam meningkatkan kapasitas jaringan dan mengurangi latensi.
Meskipun spektrum 1.4 GHz dianggap sebagai solusi potensial, ada beberapa tantangan yang masih harus dihadapi. Salah satunya adalah kesiapan ekosistem teknologi. Saat ini, spektrum ini belum didukung oleh vendor utama seperti Huawei, ZTE, Nokia, dan Ericsson, sehingga perangkat yang kompatibel masih dalam tahap pengembangan.
Proses ini diperkirakan membutuhkan waktu hingga 1,5 tahun sebelum ekosistem benar-benar siap digunakan. Selain itu, ada perbedaan dalam penerapan teknologi untuk spektrum ini. Jika menggunakan VDI RedCap, misalnya, kecepatan yang dapat dicapai hanya berkisar 100-150 Mbps dengan latensi yang lebih tinggi dibandingkan standar 5G penuh.
Rencana pemerintah untuk melelang spektrum ini pada Maret atau April 2026 juga menimbulkan risiko tersendiri. Jika lelang dilakukan sebelum ekosistem siap, pemenang lelang bisa mengalami kesulitan dalam memenuhi komitmen pembangunan karena keterbatasan perangkat yang tersedia.
Risiko lainnya adalah spektrum tidak dapat digunakan secara optimal, yang dapat mengakibatkan operator terkena sanksi akibat gagal memenuhi target pembangunan. Beberapa pihak menyarankan agar lelang spektrum 1.4 GHz ditunda hingga Juni 2026 agar perangkat yang mendukungnya sudah tersedia secara luas.
Untuk menciptakan industri telekomunikasi yang lebih sehat, diperlukan beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah normalisasi harga spektrum frekuensi dengan melakukan kajian terhadap nilai K atau harga dasar spektrum agar lebih sejalan dengan pendapatan operator.
“Targetnya adalah menurunkan rasio BAP frekuensi terhadap pendapatan kotor menjadi 8-10% agar operator memiliki fleksibilitas lebih besar dalam berinvestasi di infrastruktur jaringan,” ungkap Rudi.
Selain itu, Rudi pun menekankan bahwa waktu lelang spektrum perlu disesuaikan dengan kesiapan ekosistem. “Jika spektrum dilelang dalam kondisi di mana ekosistem belum siap, ada kemungkinan spektrum tidak dapat digunakan secara optimal, sehingga operator kesulitan dalam memenuhi komitmen pembangunan,” tegasnya.
Pemerintah juga dapat mendorong pemanfaatan infrastruktur yang sudah ada, seperti fiber optic dan jaringan eksisting, untuk meningkatkan konektivitas di berbagai daerah. Program seperti home pass menjadi home connected perlu dipercepat agar akses internet lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Secara keseluruhan, industri telekomunikasi Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas layanan internet. Kebutuhan akan spektrum baru seperti 1.4 GHz, 700 MHz, 2.6 GHz, dan 26 GHz semakin mendesak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital.
Namun, strategi pelelangan spektrum harus dilakukan secara cermat agar tidak membebani operator dan memastikan spektrum dapat dimanfaatkan secara optimal.
BACA JUGA:
- Telkomsel Dorong UKM Naik Kelas Melalui Program DCE ke-4
- Kolaborasi Lintas Sektor: Mewujudkan Indonesia Digital Menuju Asta Cita
Dengan penyesuaian harga spektrum, normalisasi nilai K, serta penundaan lelang hingga ekosistem siap, industri telekomunikasi dapat bergerak menuju kondisi yang lebih sehat. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transformasi digital dan meningkatkan daya saing industri telekomunikasi di tingkat global. [FY/IF]