Telset.id, Jakarta – Usulan adanya aturan penetapan tarif bawah layanan internet yang disampaikan President Director & CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli dalam suratnya kepada Menkominfo, Rudiantara, mendapat tanggapan yang beragam dari para operator.
“Menurut saya, sah-sah saja operator mengirimkam surat ke pemerintah atau regulator untuk mengusulkan sesuatu,” kata Presiden Direktur dan CEO XL Axiata, Dian Siswarini saat dihubungi Telset.id di Jakarta, Jumat (21/7/2017).
Menurut Dian, tarif merupakan alat untuk berkompetisi bagi setiap operator, dan tentu saja setiap operator tidak Ingin bisnisnya merugi. Cost structure operator berbeda-beda dengan strategi bIsnis yang berbeda-beda juga. Hal Ini menyebabkan level tarif tidak sama untuk semua operator.
“Penetapan tarif bawah oleh pemerintah belum tentu memperbaiki masalah operator yang merasa bisnisnya kurang menguntungkan,” ujarnya menanggapi usulan penetapan tarif bawah layanan internet di Indonesia.
Karena, menurut Dian, masih ada faktor lain yang harus lebih diperhatikan, misalnya mekanisme pengawasan. Ia mengusulkan, sebaiknya pemerintah menurunkan cost industri dengan cara misalnya mengurangi regulatory charges.
[Baca juga: Ini Tanggapan BRTI Soal Tarif Internet yang Dikeluhkan Indosat]
Ia juga tidak sependapat dengan anggapan bahwa telah terjadi perang tarif layanan data di antara para operator. Karena menurutnya, saat ini persaingan tarif layanan data atau internet antara operator di Indoenesia masih dalam taraf wajar.
“Menurut saya sekarang kondisinya masih wajar kok, kita nggak sedang price war gila-gilaan,” kata wanita jebolan ITB itu.
Sebelumnya dalam suratnya, Alexander Rusli mengatakan operator terjebak dalam perang tarif yang berbahaya, karena harga layanan data di Indonesia sudah sangat rendah dan jauh di bawah harga layanan sejenis di negara lain.
“Operator terjebak dalam perang tarif yang berbahaya, karena harga layanan data di Indonesia sudah sangat rendah, bahkan dijual dengan harga di bawah biaya produksi,” ujar Alex.
Ia mengungkapkan, tekanan persaingan bebas tanpa regulasi yang memadai telah memaksa operator untuk menjual layanan data dengan tarif di bawah biaya produksi secara terus menerus. Kondisi ini mengakibatkan imbal hasil yang tidak memadai bagi operator.
[Baca juga: Minta Tarif Data Diatur, Bos Indosat Surati Menkominfo]
Hal itu akhirnya akan mengurangi kemampuan operator untuk mempertahankan kualitas layanan, apalagi memperluas layanan. Dalam jangka panjang bahkan dapat membahayakan keberlangsungan hidup operator.
Keprihatinan Indosat ini diamini oleh operator Tri Hutchinson Indonesia. Menurut mereka, saat ini tarif layanan Data di Indonesia terlalu murah. Harusnya ada regulasi yang mengatur batas tarif bawah layanan Data.
“Tarif data di Indonesia sangat murah, idealnya tarif data yang normal untuk di Indonesia adalah sekitar Rp 25.000/GB,” kata M. Danny Buldansyah, Vice President Director at PT Hutchison 3 Indonesia.
Menurut Danny, jika tarif data dinaikkan, maka penggunaan data oleh pelanggan juga akan turun. Tapi secara industri telekomunikasi di Indonesia akan jauh lebih efisien.
Hal senada diungkapkan Merza Fachys, President Director Smartfren Telecom. Ia mengaku sangat prihatin terhadap kondisi operator di Indonesia yang kesulitan dalam menggelar layanan data/internet, karena harganya yang kelewat murah.
“Konon tarif data di Indonesia nomor empat paling murah di dunia. Padahal investasi untuk membangun dan biaya operasi jaringan data di Indonesia, saya yakin tidak paling murah di dunia. Karena investasi jaringan data 60-70% adalah barang import. Dan kita tahu perusahaan penyedia jaringan telekomunikasi hanya itu-itu juga pemainnya,” kata Merza.
Ditambahkannya, bahwa dalam banyak hal pembangunan prasarana jaringan seperti site, tower, dukungan daya listrik dan lainnya juga bukan barang murah di Indonesia. Dari sisi operasional jaringan di Indonesia juga masih banyak membutuhkan dukungan pihak asing (managed service).
“Artinya secara capex dan opex tidak lebih murah, tapi harga jualnya kok malah jauh lebih murah,” ujar Merza.
[Baca juga: Soal Perang Tarif Data, Begini Kata Operator]
Kondisi ini, menurut Merza, secara logika tentu saja membuat tingkat kesehatan para operator pasti rendah. Apalagi yang bisnisnya lebih banyak tergantung pada layanan data.
Di sisi lain sebagai pihak pengguna data tentu saja masyarakat sudah sangat enjoy dengan keadaan sekarang. Sehingga kalau nanti berubah naik, maka akan membuat kenyamanannya terganggu.
Untuk itu perlu ada elastisitas dari dua arah hingga tercapainya equilibrium. Karena bila harga tiba-tiba naik, maka pengguna akan berkurang volume pemakaiannya, dan akhirnya kenaikan tarif data pun tidak ada gunanya. Elastisitas dari dua arah ini maksudnya adalah dari operator dan pelanggan.
Namun, lanjut Merza, elastisitas ini tidak boleh mendadak, harus dilakukan stretching secara bertahap hingga tercapai equilibrium. Pada titik itulah terjadi keseimbangan, baik bagi pelanggan maupun industri telekomunikasi di Indonesia secara keseluruhan. Jadi tidak bisa ditentukan berapa besar tarif data yang ideal tersebut.
“Tidak ada kata ideal yang pasti sebelum dilakukan dan dimonitor sampai titik yang tepat,” uja Merza. (HBS)