Telset.id, Jakarta – Pemerintah Australia baru saja meloloskan RUU yang berisi larangan anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, dan X (sebelumnya Twitter).
Langkah ini menciptakan diskusi luas, baik di kalangan pendukung maupun kritikus. Undang-undang tersebut, yang baru akan berlaku setelah masa transisi 12 bulan, dirancang untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif media sosial.
RUU tersebut telah disetujui oleh Senat dengan perolehan suara 34 berbanding 19 dan sebelumnya lolos di DPR dengan suara mayoritas 102-13. Setelah amandemen terakhir disetujui, Australia akan menjadi negara dengan batas usia minimum tertinggi untuk akses media sosial, melampaui langkah serupa yang sedang dipertimbangkan oleh negara lain seperti Prancis dan Norwegia.
BACA JUGA:
- Kanada Minta TikTok Hentikan Operasi Demi Keamanan
- Turki Blokir Instagram, Diduga Terkait Konten Hamas
Meski aturan ini mencakup media sosial populer seperti TikTok, Instagram, dan Snapchat, pemerintah Australia belum memberikan daftar lengkap platform mana saja yang akan terpengaruh. Penentuan platform akan ditetapkan oleh Komisioner Keamanan Elektronik, dengan fokus pada layanan yang berpotensi membahayakan remaja.
Namun, beberapa layanan seperti aplikasi pendidikan, kesehatan, pengiriman pesan, dan game seperti Roblox dan Fortnite dikecualikan dari larangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa fokus utama regulasi adalah platform sosial dengan interaksi publik yang luas.
Perusahaan media sosial yang melanggar aturan baru ini menghadapi denda hingga AUD 49,5 juta (sekitar Rp500 miliar). Salah satu tantangan utama adalah penerapan teknologi verifikasi usia yang efektif. Pemerintah telah menegaskan bahwa platform tidak boleh meminta dokumen pribadi, seperti paspor atau SIM, untuk memverifikasi usia pengguna.
Meski demikian, sejumlah pihak meragukan keefektifan sistem verifikasi usia tanpa mekanisme yang invasif. Ada kekhawatiran bahwa anak-anak mungkin dengan mudah menghindari batasan menggunakan teknologi seperti VPN atau akun palsu, yang membuat undang-undang ini sulit ditegakkan secara praktis.
Pendukung kebijakan ini menyatakan bahwa langkah tersebut diperlukan untuk melindungi anak-anak dari konten berbahaya, cyberbullying, dan kecanduan media sosial. Banyak penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang tidak terkendali dapat memengaruhi kesehatan mental anak muda.
Namun, para kritikus menyoroti sisi positif media sosial, terutama untuk anak-anak di daerah pedesaan atau mereka yang mencari dukungan emosional. Platform ini dapat menjadi sarana penting untuk menjalin hubungan sosial dan menemukan sumber daya yang relevan.
Selain itu, para pengamat juga khawatir tentang dampak kebijakan ini terhadap privasi pengguna dan potensi pelanggaran kebebasan berekspresi.
Langkah Australia ini mengikuti tren global dalam mengatur akses media sosial untuk anak-anak. Prancis, misalnya, sedang mengajukan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 15 tahun mengakses media sosial tanpa izin orang tua. Di sisi lain, Norwegia dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti Utah, juga sedang mempertimbangkan kebijakan serupa.
Meski demikian, implementasi kebijakan seperti ini sering kali menemui kendala hukum. Contohnya, di Utah, undang-undang serupa sempat diblokir oleh hakim sebelum diberlakukan.
Dengan adanya larangan anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial, Australia berusaha menjadi pelopor dalam melindungi generasi muda dari dampak buruk dunia digital. Namun, efektivitas kebijakan ini masih menjadi tanda tanya besar, terutama dengan tantangan teknis dan sosial yang ada.
BACA JUGA:
- Kenapa Twitter Tidak Bisa Play Video? Ini Solusinya
- iBooming: Media Sosial Jadi Platform yang Efektif untuk Promosi
Akankah kebijakan ini berhasil menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, atau justru memicu kontroversi lebih lanjut? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Satu hal yang pasti, langkah ini akan menjadi hal preseden bagi negara lain dalam menghadapi tantangan era digital.