Telset.id, Jakarta – Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan langkah tegas untuk blokir pengiriman data sensitif warganya ke negara-negara tertentu, termasuk Tiongkok, Rusia, dan Iran.
Melalui aturan baru yang diajukan oleh Departemen Kehakiman AS, pembatasan ini ditujukan untuk melindungi keamanan data pribadi warga Amerika dari ancaman mata-mata dan pemerasan, serta mencegah penyalahgunaan data oleh negara asing.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Biden pada Februari lalu. Pemerintah AS ingin menghentikan perusahaan, termasuk pialang data yang tidak dapat dipercaya, dari menjual informasi sensitif warga Amerika kepada pihak-pihak yang dianggap musuh asing.
BACA JUGA:
- Partai Demokrat California Mau Hentikan Embargo Huawei
- Parlemen AS Kritik Pemerintahan Biden, Gegara Laptop Baru Huawei
Data-data seperti informasi biometrik, DNA, geolokasi, dan informasi kesehatan menjadi fokus utama yang harus dilindungi, karena data tersebut dapat digunakan untuk memata-matai atau bahkan memeras individu.
Aturan ini tidak hanya melarang penjualan data ke entitas di enam negara yang menjadi perhatian utama Tiongkok, Rusia, Iran, Korea Utara, Kuba, dan Venezuela, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang bermitra atau beroperasi di negara-negara tersebut.
Dalam banyak kasus, pemerintah asing dapat menggunakan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan analisis big data untuk memanipulasi data ini dengan lebih efektif, sehingga meningkatkan risiko terhadap keamanan nasional.
Aturan baru ini memiliki ambang batas tertentu yang dirancang untuk mencegah pengumpulan data dalam jumlah besar. Misalnya, pembatasan akan berlaku jika suatu entitas asing mencoba memperoleh data genom manusia lebih dari 100 orang AS, data biometrik lebih dari 1.000 warga, atau data kesehatan pribadi lebih dari 10.000 warga Amerika.
Dengan adanya ambang batas ini, pemerintah berharap dapat meminimalkan risiko negara asing menyalahgunakan data dalam skala besar.
Langkah ini juga mencakup pengecualian untuk transaksi rutin seperti penggajian, pajak, dan sumber daya manusia agar tidak menghambat bisnis internasional yang sah. Namun, untuk memperoleh data di luar batasan yang ditetapkan, entitas asing harus mendapatkan lisensi dari Departemen Kehakiman AS terlebih dahulu.
Pemerintah Amerika melihat ancaman nyata dari penggunaan data pribadi untuk kepentingan spionase, serangan siber, dan intimidasi terhadap individu seperti aktivis, akademisi, tokoh politik, dan jurnalis. Dengan aturan ini, Amerika berupaya memotong akses negara-negara yang dicurigai memanfaatkan data untuk tujuan tersebut.
Dalam konteks ekonomi, langkah ini juga dapat berdampak signifikan, mengingat industri data saat ini merupakan pasar yang besar. Berdasarkan kurs saat ini, yang berada di sekitar Rp 15.500 per dolar AS, larangan ini dapat memengaruhi transaksi bernilai miliaran rupiah.
Negara-negara yang terlibat dalam aktivitas pembelian data sensitif ini mungkin harus mencari alternatif lain atau berisiko kehilangan akses sama sekali ke data yang penting untuk strategi mereka.
BACA JUGA:
- Senator AS Ungkap Aksi NSA yang Beli Data Pribadi dari Hacker
- Amerika Manfaatkan AI untuk Deteksi Kebakaran Hutan
Dengan demikian, aturan baru ini mencerminkan komitmen kuat Amerika Serikat untuk melindungi privasi warganya dan menjaga keamanan nasional di tengah semakin kompleksnya dunia digital.
Upaya blokir pengiriman data ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan data oleh negara-negara yang dianggap sebagai ancaman, sekaligus memastikan bahwa informasi pribadi warga Amerika Serikat tetap terlindungi dari risiko global. [FY/IF]