Solusi Baru: Pusat Data AI di Luar Angkasa untuk Atasi Krisis Energi Bumi

REKOMENDASI

ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan jika kebutuhan listrik untuk kecerdasan buatan (AI) melampaui kapasitas Bumi. Itulah yang sedang terjadi saat ini. Mantan CEO Google, Eric Schmidt, memprediksi konsumsi listrik pusat data AI akan melonjak dari 3% menjadi 99% dari total kebutuhan global. Solusinya? Mungkin harus dicari di luar angkasa.

Schmidt baru-baru ini mengakuisisi perusahaan roket Relativity Space dengan tujuan ambisius: membangun pusat data di orbit. Langkah ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, permintaan energi untuk AI tumbuh secara eksponensial dan tidak berkelanjutan jika hanya mengandalkan sumber daya Bumi.

Konsep pusat data luar angkasa dengan panel surya mengorbit Bumi

Krisis Energi yang Tak Terelakkan

Dalam sidang House Committee on Energy and Commerce, Schmidt memaparkan fakta mengejutkan. “Orang-orang merencanakan pusat data 10 gigawatt,” ujarnya. Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga nuklir di AS rata-rata hanya menghasilkan 1 gigawatt.

Masalahnya, perusahaan AI seperti OpenAI terkenal tertutup tentang konsumsi energi mereka. Namun, perkiraan International Energy Agency menyebut satu kueri ChatGPT membutuhkan listrik 10 kali lebih banyak daripada pencarian Google biasa.

Memanfaatkan Orbit Geostasioner

Konsep Schmidt adalah menempatkan pusat data di orbit geostasioner, sekitar 35.786 km di atas Bumi. Di sana, panel surya bisa menangkap sinar matahari 24 jam tanpa terhalang atmosfer atau siklus siang-malam.

Namun tantangannya besar. Relativity Space belum pernah sukses meluncurkan roket ke orbit. Terran R, roket andalan mereka, baru akan diuji tahun depan. Selain itu, masalah sampah antariksa dan gangguan observasi astronomi juga perlu dipertimbangkan.

Seperti yang terjadi pada misi Cina yang gagal meluncurkan pesawat antariksa, teknologi luar angkasa masih penuh ketidakpastian.

Masa Depan atau Ilusi?

Beberapa ahli meragukan kelayakan rencana ini. Gary Marcus, pendiri Geometric Intelligence, menyebut model bahasa besar (LLM) saat ini “brilian tapi bodoh”. Ada juga kekhawatiran tentang hukum skala yang mulai menunjukkan batasannya.

Namun, jika berhasil, ini bisa menjadi terobosan besar. Seperti foto lubang hitam pertama NASA, proyek ini bisa mengubah cara kita memandang hubungan antara teknologi dan ruang angkasa.

Schmidt mungkin sedang menciptakan pasar baru. Tapi seperti SpaceX yang harus menunda misi Polaris Dawn, jalan menuju orbit tak pernah mulus. Pertanyaannya: apakah kita siap membayar harga kemajuan teknologi yang semakin mahal ini?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI

HARGA DAN SPESIFIKASI