La Nina Dipastikan Hingga Awal 2026, Ini Dampaknya untuk Indonesia

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Musim hujan di Indonesia tahun ini datang dengan “teman” yang sudah dikenal: La Nina. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan tegas menyatakan fenomena iklim ini akan bertahan hingga awal tahun depan. Lantas, apa sebenarnya yang sedang terjadi di atas langit Nusantara, dan bagaimana kita harus menyikapinya?

Jawabannya terletak pada angka -0,80. Itulah indeks ENSO (El Niño-Southern Oscillation) pada Dasarian III November, sebuah indikator yang menempatkan kita dalam fase La Nina Lemah. Angka di bawah -0,5 derajat Celsius itu bukan sekadar statistik; ia adalah penanda bagi aliran udara dan panas laut yang akan membentuk pola cuaca kita dalam bulan-bulan ke depan. BMKG memproyeksikan kondisi ini bertahan setidaknya hingga Maret 2026, sebelum perlahan melemah. Ini berarti, dinamika cuaca ekstrem yang kerap kita dengar belakangan ini punya “aktor” utama yang jelas.

Namun, jangan bayangkan La Nina sebagai monster penghujan yang seragam. Dampaknya bersifat spasial, lebih signifikan di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. BMKG memetakan sejumlah daerah yang berpotensi mengalami peningkatan curah hujan tinggi hingga sangat tinggi, melebihi 150 milimeter per dasarian (10 hari). Daerah-daerah itu antara lain Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan Tengah dan Timur, sebagian Sulawesi Selatan, Maluku, serta sebagian Papua Tengah dan Selatan. Bagi daerah-daerah ini, kewaspadaan terhadap banjir, longsor, dan genangan harus ditingkatkan.

IOD Negatif: “Partner” La Nina yang Perlu Diwaspadai

Cerita tidak berhenti di La Nina. Ada faktor lain yang turut bermain, memperkuat atau memodifikasi dampaknya: Indian Ocean Dipole (IOD). Saat ini, indeks IOD berada di angka -0,36, menandakan fase IOD Negatif. Fase ini, sederhananya, seperti menarik lebih banyak uap air dari Samudra Hindia ke wilayah barat Indonesia. Alhasil, wilayah seperti Aceh, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Banten selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur bagian kecil, dan sebagian besar Bali juga berpotensi mengalami peningkatan curah hujan.

Bayangkan dua fenomena ini sebagai dua sistem penguat suara yang sedang aktif. La Nina mengatur suara dari arah Pasifik, sementara IOD Negatif menyetel dari arah Hindia. Ketika keduanya “nyala”, potensi hujan lebat di berbagai wilayah Indonesia menjadi lebih kompleks dan perlu dipantau lebih cermat. Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, memberikan catatan penting: meski La Nina lemah diprediksi bertahan hingga awal 2026, dampaknya terhadap penambahan curah hujan pada puncak musim hujan tidak terlalu signifikan. Namun, pernyataan ini bukanlah penggugur kewaspadaan. “Curah hujan tinggi pada periode tersebut tetap perlu diwaspadai,” tegas Faisal. Ini adalah peringatan untuk tidak lengah, karena musim hujan sendiri sudah membawa risiko yang cukup tinggi.

Membaca Data dan Menjaga Kewaspadaan

Data BMKG menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia telah masuk musim hujan. Dari 699 Zona Musim (ZOM), 526 ZOM atau 75,3 persen sudah berada dalam periode basah. Sisanya, 60 ZOM (8,5 persen) masih kemarau, dan 113 ZOM (16,2 persen) merupakan wilayah satu musim. Angka ini memberikan konteks yang lebih luas: La Nina dan IOD Negatif terjadi saat sebagian besar negeri ini memang sedang dalam masa rentan terhadap cuaca ekstrem.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, informasi adalah senjata utama. Masyarakat, terutama di daerah rawan yang telah disebutkan, perlu mengakses informasi cuaca dari sumber resmi seperti BMKG secara berkala. Kedua, mitigasi berbasis lingkungan menjadi kunci. Menjaga daerah resapan air, memastikan saluran drainase berfungsi, dan menghindari pembangunan di lereng curam adalah langkah praktis yang dampaknya sangat besar. Teknologi, seperti yang dibahas dalam artikel tentang pemanfaatan AI di ruang redaksi, juga mulai berperan dalam analisis data iklim yang lebih cepat dan akurat, meski penerapannya di Indonesia masih perlu dikembangkan.

Fenomena cuaca seperti ini juga mengingatkan kita pada dinamika global yang saling terhubung. Sama seperti bagaimana aksi donasi kreatif di platform digital bisa memiliki dampak internasional, pola iklim di Pasifik dan Hindia langsung memengaruhi hajat hidup orang banyak di Indonesia. Pemahaman ini penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga lingkungan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan.

Jadi, hadirnya La Nina hingga awal 2026 bukanlah untuk ditakuti secara berlebihan, melainkan untuk dipahami dan diantisipasi. Dengan data dari BMKG yang jelas dan partisipasi aktif masyarakat dalam mitigasi bencana, kita dapat melalui periode ini dengan lebih siap. Musim hujan dengan “teman” La Nina ini adalah pengingat bahwa hidup di negara kepulauan tropis seperti Indonesia mensyaratkan harmoni dengan alam, termasuk kesiapan menghadapi dinamikanya yang terkadang ekstrem. Selalu waspada, selalu siap siaga.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI