Pernahkah Anda berpikir bahwa mobil listrik yang digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan justru menyimpan masalah besar di balik layar? Faktanya, industri kendaraan elektrik (EV) yang sedang booming ternyata menyimpan cerita kelam tentang eksploitasi lingkungan dan kesehatan masyarakat di negara penghasil nikel seperti Indonesia.
Harita Group, konglomerat raksasa Indonesia, menjadi sorotan setelah investigasi terbaru mengungkap praktik pembuangan limbah kimia beracun selama lebih dari satu dekade. Operasi penambangan nikel mereka—bahan baku vital untuk baterai EV—ternyata mencemari perairan lokal dengan kromium-6, zat karsinogenik berbahaya yang sama seperti dalam kasus Erin Brockovich.
Ironisnya, sementara negara-negara maju menikmati udara bersih berkat EV, masyarakat di sekitar tambang justru menanggung dampak kesehatan yang mengerikan. Lantas, seberapa “hijau” sebenarnya industri kendaraan listrik ini?
Skandal Pembuangan Limbah yang Disembunyikan
Investigasi oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) membongkar ribuan email internal yang membuktikan Harita sengaja menyembunyikan data pencemaran kromium-6 sejak 2012. Padahal, perusahaan ini memiliki tim ilmuwan lingkungan yang rutin mengambil sampel air dan tanah.
“Mohon tidak menyampaikan informasi ini ke publik saat ini karena situasi yang tidak menguntungkan,” bunyi salah satu permintaan Harita kepada pemerintah dalam dokumen yang bocor. Pernyataan resmi perusahaan di 2023 mengklaim kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, tetapi fakta lapangan berbicara lain.
Kromium-6: Silent Killer di Balik Baterai EV
Kromium-6 (hexavalent chromium) adalah byproduct beracun dari proses ekstraksi nikel suhu tinggi. Zat ini dikenal sebagai penyebab kanker, kerusakan hati, dan gangguan reproduksi. Yang mengkhawatirkan, pencemaran ini terjadi di wilayah yang menjadi jantung industri baterai EV global.
Indonesia saat ini merupakan eksportir nikel terbesar dunia, menyuplai 40% kebutuhan global. Dengan permintaan baterai EV yang diprediksi meningkat 500% pada 2030, tekanan ekologis terhadap wilayah pertambangan seperti Sulawesi dan Maluku semakin mengkhawatirkan.
Baca Juga:
Greenwashing Industri EV?
Kasus Harita mengungkap paradoks besar industri otomotif elektrik: solusi iklim untuk negara maju justru menjadi bencana ekologi bagi negara berkembang. Smelter nikel berbahan bakar batu bara milik Harita saja menyumbang hampir 1% total emisi karbon Indonesia pada 2023.
Fenomena ini mirip dengan solusi plastik ramah lingkungan yang ternyata menciptakan masalah baru. Teknologi hijau seringkali hanya memindahkan polusi ke wilayah yang kurang terlihat.
Masa Depan Industri EV yang Lebih Bertanggung Jawab
Solusi nyata membutuhkan pendekatan holistik. Pertama, transparansi data lingkungan harus menjadi syarat mutlak dalam rantai pasok baterai. Kedua, pengembangan teknologi daur ulang baterai seperti pada Nissan Leaf perlu dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada tambang baru.
Terakhir, sistem pemantauan lingkungan real-time seperti Edimax Airbox bisa diadaptasi untuk memantau kualitas air di sekitar lokasi pertambangan. Tanpa perubahan sistemik, transisi energi hijau hanya akan menjadi beban baru bagi komunitas marginal.
Pertanyaan besarnya: sampai kapan kita akan menutup mata terhadap biaya manusia dan lingkungan dari teknologi “ramah lingkungan” yang kita gunakan? Mungkin sudah waktunya untuk memikirkan ulang apa arti keberlanjutan yang sesungguhnya.