Amerika Ekspor Sampah Elektronik ke Asia, Capai 33.000 Ton Per Bulan

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan jika setiap bulan, 2.000 kontainer penuh dengan ponsel dan komputer bekas dari Amerika Serikat membanjiri negara-negara Asia. Itulah realitas mengerikan yang terungkap dari investigasi terbaru Basel Action Network (BAN), yang menyoroti praktik ekspor sampah elektronik atau e-waste secara masif. Laporan ini mengungkap bagaimana Amerika menjadi pengekspor utama limbah beracun yang mengancam lingkungan global.

Dalam investigasi selama dua tahun, BAN yang berbasis di Seattle berhasil mengidentifikasi setidaknya sepuluh perusahaan AS yang secara rutin mengekspor perangkat elektronik bekas ke Vietnam, Malaysia, dan negara-negara lain. Yang lebih mencengangkan lagi, nilai ekspor e-waste dari sepuluh perusahaan ini mencapai lebih dari $1 miliar antara Januari 2023 dan Februari 2025. Angka ini bukan sekadar statistik—ini adalah bukti nyata betapa menguntungkannya bisnis limbah beracun bagi para pelakunya.

Jim Puckett dari BAN menggambarkan situasi ini dengan nada prihatin: “Malaysia tiba-tiba menjadi semacam mekah sampah.” Pernyataan ini bukan hiperbola. Data menunjukkan bahwa pengiriman e-waste AS menyumbang enam persen dari total ekspor Amerika ke Malaysia selama periode 2023-2025. Bayangkan, dari setiap 100 kontainer yang meninggalkan pelabuhan AS menuju Malaysia, enam di antaranya berisi limbah elektronik berbahaya.

Tumpukan sampah elektronik di lokasi pembuangan

Volume yang dikeluarkan benar-benar fantastis—sekitar 33.000 metrik ton e-waste meninggalkan Amerika setiap bulan. Itu setara dengan berat sekitar 5.500 gajah Afrika dewasa yang diangkut keluar negeri secara rutin. BAN menyebut fenomena ini sebagai “tsunami tersembunyi” yang mengancam lingkungan global, terutama mengingat kandungan logam beracun seperti timbal, kadmium, dan merkuri dalam perangkat elektronik bekas tersebut.

Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam praktik ini menyebut diri mereka sebagai “broker e-waste”—entitas yang tidak mendaur ulang limbah sendiri, tetapi mengirimkannya ke pihak lain untuk ditangani. Beberapa nama yang disebut dalam laporan termasuk Corporate eWaste Solutions, Semsotai, First America Metal Corp., dan PPM Recycling. Mereka beroperasi dalam celah hukum yang memungkinkan ekspor limbah berbahaya ini terus berlangsung.

Respons dari perusahaan yang terlibat cukup beragam. Semsotai membantah mengekspor barang rongsokan dan mengklaim hanya berspesialisasi dalam komponen yang masih berfungsi untuk digunakan kembali. Mereka bahkan menuduh BAN melakukan bias dalam investigasinya. Sementara PPM Recycling menuduh BAN membesar-besarkan volume pengiriman. Namun, sebagian besar perusahaan yang disebutkan memilih untuk tidak memberikan komentar sama sekali—sebuah sikap yang justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Yang patut menjadi perhatian serius adalah fakta bahwa Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara industri yang belum meratifikasi Basel Convention—perjanjian internasional yang mengatur perdagangan limbah berbahaya. Ini berarti AS tidak terikat oleh aturan apa pun yang melarang ekspor limbah elektronik ke negara berkembang. Padahal, Amerika adalah produsen e-waste terbesar kedua di dunia setelah China.

Ketidakpatuhan AS terhadap standar internasional ini menciptakan ketimpangan lingkungan yang serius. Negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Uni Emirat Arab menjadi tujuan utama pengiriman limbah ini. Mereka harus menanggung beban lingkungan dari konsumsi elektronik negara maju, sementara infrastruktur daur ulang mereka seringkali tidak memadai untuk menangani limbah berbahaya secara aman.

Masalahnya semakin kompleks ketika kita melihat tren global. Menurut International Telecommunication Union PBB dan UNITAR, dunia memproduksi 62 juta metrik ton sampah elektronik pada 2022. Angka ini diproyeksikan melonjak menjadi 82 juta metrik ton pada 2030. Yang mengkhawatirkan, pertumbuhan e-waste global lima kali lebih cepat daripada program daur ulang yang tersedia.

Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan? Beberapa negara bagian di AS mulai mengambil inisiatif sendiri, seperti California yang merancang UU hak memperbaiki perangkat. Langkah ini bisa memperpanjang usia produk elektronik dan mengurangi volume limbah. Namun, tanpa komitmen nasional yang kuat, upaya-upaya parsial seperti ini mungkin tidak cukup untuk menghentikan gelombang ekspor limbah yang terus mengalir deras.

Pertanyaannya kini: sampai kapan praktik ini akan terus berlangsung? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen untuk mengurangi kontribusi terhadap masalah ini? Mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan produk elektronik yang lebih tahan lama dan mendukung ekonomi sirkular yang sesungguhnya. Karena jika tidak, tsunami e-waste ini tidak hanya akan mengancam lingkungan Asia, tetapi pada akhirnya akan kembali menghantam kita semua.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI