Telset.id,Jakarta-Pasukan buzzer penyebar hoaks harus diberantas. Caranya harus ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat agar tak mudah percaya dengan konten mereka.
Menurut Kepala Divisi Akses Atas Informasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), Unggul Sagena, menilai jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) harus membangun literasi digital di Indonesia.
Baca juga: Rudiantara Jelaskan Tiga Lapis Tindakan Tangkal Konten Hoaks
Tagar warganet tidak mudah percaya dengan konten-konten hoaks yang disebarkan oleh buzzer.
“Pemerintah perlu mendorong literasi digital. Karena pengonsumsi beritalah kuncinya. Termakan atau tidak,” ujar Unggul kepada Tim Telset.id pada Senin (07/10/2019).
Selain itu Kominfo dan pemerintah terkait juga harus bekerja sama dengan platform media sosial seperti Twitter, Google dan Facebook. Kerjasama dengan perusahaan platform dapat membantu pemerintah dalam menganalisa prilaku penyebar hoaks di tanah air.
“Mereka kan sering take down akun, jadi bisa dianalisis ini akun-akun dalam rangka apa? ke politikkah atau kemana. Tapi menurut saya pemerintah ngga begitu ambil langkah seperti itu. mereka reaktif,” tambah Unggul.
Masyarakat juga harus aktif melaporkan jika menemukan konten yang diduga hoaks. Caranya dengan melaporkan sebuah konten kepada Kominfo ataupun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang sering melakukan cek fakta secara independen.
“Masyarakat berperan aktif melaporkan apabila terjadi disinformasi or hoaks, baik yang terbukti atau sekedar bertanya apakah benar berita tersebut ke otoritas, misalnya ke kominfo atau organisasi fact checker di Indonesia misalnya Mafindo,” tutur Unggul.
Baca juga: Rudiantara: Sebar Berita Hoaks, Rugi di Pulsa
Sebelumnya pasukan buzzer politik di Indonesia menjadi penelitian Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Oxford University. Salah satu temuannya bahwa pasukan ini mampu menciptakan konten misinformasi dan manipulatif serta menggunakan dukungan dari media online.
“Strategi komunikasi mereka dengan menciptakan misinformasi atau memanipulasi media dan memperkuat konten dan media online,” ucap Samantha dan Philip. (NM/HBS)