Telset.id, Jakarta – Keinginan pemerintah untuk mempercepat proses migrasi pengguna 2G ke jaringan 4G diperkirakan masih akan melalui jalan yang cukup panjang. Masalah terbesar saat ini yang dihadapi adalah masih banyaknya pengguna yang memakai ponsel 2G di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, tren digital yang semakin masif di Indonesia menjadi bukti bahwa kebutuhan akan internet cepat semakin dibutuhkan. Konten digital yang menjamur dan semakin tumbuh membuat kebutuhan data semakin pun meningkat.
Tren digital ini membuat orang semakin banyak yang beralih dari jaringan 2G ke 3G atau 4G. Namun kenyataannya, saat ini sekitar 60% – 70% masyarakat Indonesia masih menggunakan layanan 2G, yang hanya digunakan untuk voice dan SMS saja.
Diperkirakan, pasar layanan 2G akan migrasi ke 3G atau 4G membutuhkan waktu hingga lima tahun. Untuk memuluskan proses migrasi pengguna 2G menuju 4G, maka perlu diperhatikan ketersediaan handset 4G yang murah.
Menurut Nonot Harsono, Dosen PENS dan Pengamat Telekomunikasi, Mastel Institute, bahwa untuk menyikapi kemajuan teknologi seluler dari 2G, 3G, hingga 4G, sungguh bijak jika dimulai dengan melihat permasalahan yang dihadapi di lapangan pada saat mau mengambil langkah ke depan.
Ia mengatakan, apakah masyarakat memang harus didorong agar menggunakan teknologi terbaru 4G? Jika memang perlu, maka pemerintah dan pelaku usaha harus berupaya menciptakan kebutuhan sehingga masyarakat perlu menggunakan 4G.
Nonot menambahkan, ada dua penyebab kenapa pengguna masih enggan beralih ke 4G. Pertama, karena supply layanan 4G penetrasinya masih kecil, baik coverage maupun kepemilikan handset 4G.
Kemungkinan karena willingness to buy atau daya beli dari mayoritas pengguna masih kurang. Kedua, kebutuhan masyarakat akan layanan 4G memang belum tumbuh.
Ia berpendapat, penyebab yang kedua masih lebih besar, yakni kebutuhan masyarakat akan layanan 4G memang belum tumbuh.
Kalau disimak lebih cermat, sebenarnya bagi pengguna, nilai tambah yang didapat dari 4G dibanding 3G adalah peningkatan kenyamanan dan kepuasan dari user experience (UX), atau biasa diistilahkan dengan “convenience and satisfaction”.
“Jangan-jangan orang Indonesia sebagian besar belum butuh itu (4G), yang penting bisa komunikasi verbal. Belum lagi ada yg merasa gaptek dan enggan untuk mencoba hal yang baru,” ujar Nonot di acara ‘Obrolan Telko’ yang digagas Telset.id di Plaza FX Sudirman, Kamis (14/9/2017).
Perangkat 4G dengan harga terjangkau memang sangat dibutuhkan untuk memuluskan rencana migrasi pengguna 2G ke 4G. Idealnya, range harga ponsel 4G agar bisa diterima pasar menengah bawah berkisar USD 250.
Karena daya beli rata-rata pengguna 2G yang kebanyakan dari kelas menengah bawah hanya maksimal mampu membeli handset seharga USD 125.
[Baca juga: Bos Apple: iPhone Bukan Hanya untuk Orang Berduit]
Ponsel 4G murah di Indonesia sendiri disebutkan bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Karena saat ini, beberapa pabrikan ponsel telah mulai memproduksi ponsel 4G murah dengan kisaran harga Rp 500 ribu.
Hal ini bisa mengatasi keengganan pengguna 2G bermigrasi ke 4G karena alasan handset yang mahal.
Namun agar migrasi dari 2G ke 4G bisa berlangsung cepat, maka harus dilakukan edukasi bagi para pengguna 2G mengenai kelebihan perangkat dengan teknologi 4G. Tentunya ini akan dijalankan dengan bantuan dari para operator.
“Namun ini juga bukanlah sebuah proses yang gampang untuk dilakukan, khususnya menghadapi pengguna dari pedesaan yang belum sanggup membeli ponsel 4G,“ sebut pria yang pernah menjabat sebagai komisioner BRTI selama dua periode itu.
Hal itu diamini oleh Hartadi Novianto, Div Head Device Sourcing & Management, yang mengatakan bahwa masyarat harus mendapat edukasi tentang beberapa kelebihan teknologi 4G yang ada di feature phone.
Ia pun menyebutkan kelebihan feature phone 4G, seperti baterainya lebih tahan lama jika dibanding smartphone, bisa aplikasi WhatsApp Call dan chatting menjadi pengganti telpon dan SMS. Selain itu, pengguna juga bisa menggunakan Facebook lebih cepat.
Di sisi lain, perlu adanya ketegasan dari pemerintah untuk membuat peraturan yang bisa membatasi atau menghentikan pemakaian frekuensi 2G. Jika kedua point diatas tersebut bisa dilaksanakan, maka proses migrasi dari 2G ke 4G diyakini bisa lebih cepat.
Menurut Nonot, tantangan pemerintah dan para penyedia jaringan 4G adalah bagaimana menciptakan the real needs dari 4G yang bukan sekedar untuk convenience dan satisfaction; misalnya utk alat bantu dalam menjalankan bisnis.
“Bisa saja pemerintah membuat program pembinaan e-UKM yang lebih nyata dengan pelatihan literasi teknologi dan subsidi gadget. Konon ada lebih dari 100 ribu UKM yang bisa diprovokasi untuk menggunakan teknologi 4G hingga seramai demam batu akik,“ ujarnya.
Pada akhirnya, jika 2G akan dimatikan secara perlahan, maka kita akan mencapai kondisi telekomunikasi yang lebih baik. Apalagi jika sudah ada perangkat yang bisa menggantikan ponsel 2G murah yang ada sekarang.
[Baca juga: Malunya Bos Apple Saat Gagal Pamer Kecanggihan Face ID]
Dari sisi penyeberan jaringan juga akan lebih baik, karena semua wilayah yang selama ini hanya terjangkau jaringan 2G akan berubah menjadi jaringan 4G dengan daya tampung pengguna yang jauh lebih besar. [HBS]