Telset.id, Jakarta – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap kekecewaannya lantaran tidak dilibatkan dalam proses relaksasi kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI). Mereka menyebut kebijakan tersebut memiliki kelemahan.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan paket kebijakan baru melalui Kebijakan Ekonomi XVI tentang dibukanya 54 bidang usaha dari DNI.
Pada paket kebijakan tersebut, ada 25 bidang usaha yang terbuka untuk asing 100 persen dengan 8 diantaranya berada di bidang telekomunikasi yang masuk dalam sektor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Delapan bidang tersebut adalah jasa sistem komunikasi data, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bergerak, penyelenggaraan jasa telekomunikasi layanan content dan pusat layanan informasi atau call center dan jasa nilai tambah telepon lainnya, jasa akses internet, jasa internet telepon untuk kepentingan publik dan jasa interkoneksi internet (NAP) dan jasa multimedia lainnya.
Sekjen APJII, Henri Kasyfi merasa kecewa atas relaksasi kebijakan DNI tersebut karena banyak anggota APJII yang saat ini menjadi pelaku di 8 bidang usaha yang berfokus pada industri telekomunikasi (telko).
“Relaksasi ini memiliki beberapa kelemahan dari beberapa sudut pandang setidaknya kedaulatan digital bangsa dan perlindungan bagi pelaku usaha lokal khususnya tingkat kecil dan menengah,” ucap Henri dalam laman resmi APJII, Kamis (22/11)
Menurut Henri, relaksasi DNI yang mengundang investasi dari luar negeri hanya memberikan manfaat kepada pelaku usaha telko berskala besar yang jumlahnya tidak seberapa yang mengakibatkan pelaku usaha lainnya kalah bersaing dengan mereka.
“Sehingga hal itu jelas memiliki potensi untuk “membunuh” pelaku usaha di sektor ini yang berskala UKM. Apalagi, sebagian besar anggota APJII adalah UKM,” ujar Henri.
Menurutnya para perusahaan asing bisa menjadi ancaman karena memiliki konsep global internet service provider (ISP) yang tidak bekerjasama dengan ISP lokal.
“Dengan relaksasi DNI ini, konsep Global ISP ini semakin dimudahkan. Dan ini tentu saja tidak baik bagI kelangsungan bisnis mayoritas dari 450 ISP Indonesia. Apakah hal hal ini telah dipertimbangkan pada saat melakukan kajian relaksasi DNI tersebut?” tungkas Henri.
Ketua Umum APJII Jamaul Izza juga menilai jika masuknya investasi asing di bidang telko berdampak pada kedaulatan digital bangsa. Hal ini karena aspek digital seharusnya dikelola oleh pelaku usaha lokal yang merupakan warga negara Indonesia.
“Jika jasa interkoneksi internet (NAP) diperbolehkan dimiliki 100 persen oleh asing, maka itu sama saja menyerahkan gerbang-gerbang perbatasan digital kita 100 persen kepada asing. Bayangkan apabila kita menyerahkan gerbang perbatasan konvensional kita untuk dikelola 100 persen asing, apa jadinya negara kita ini,” tegas Jamaul.
Serupa dengan Henri, menurutnya relaksasi kebijakan itu seakan muncul begitu saja tanpa ada diskusi dengan para pemangku kepentingan. APJII sebagai organisasi internet terbesar di Indonesia, tidak dilibatkan dalam proses rencana pengambilan keputusan ini.
“APJII tidak pernah dilibatkan dalam proses keluarnya relaksasi kebijakan tersebut,” tegas Jamal.
Sebelumnya Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan alasan mengapa mengeluarkan kebijakan relaksasi DNI itu. Salah satu di antaranya adalah evaluasi pemerintah terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2016 tentang DNI.
Dari hasil evaluasi itu, beberapa bidang usaha masih belum menunjukkan ketertarikan investor untuk masuk dan munculah kebijakan relaksasi DNI tersebut. [NM/IF]