Nunggak BHP, First Media dan Bolt Terancam Dicabut Lisensi

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id, Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengumumkan hasil evaluasi terkait pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Radio dari beberapa pihak penyelenggara jasa layanan internet (ISP). Terungkap, First Media dan Bolt menunggak pembayaran sejak 2016.

Evaluasi diilakukan sehubungan akan berakhirnya masa berlaku Izin Pita Frekuensi Radio pada Pita frekuensi radio 2.3 GHz untuk penyelengaraan Jaringan tetap Lokal berbasis Packet Switched pada bulan November 2019.

Pada evaluasi tersebut Kominfo menulis bahwa PT Jasnita Telekomindo, PT Internux dan PT First Media Tbk ditengarai telah melakukan tunggakan dengan angka yang cukup besar.

PT Internux yang berada di zona 4 yakni Jabodetabek dan Banten memiliki tunggakan sekitar Rp 343.576.161.625, kemudian PT Jasnita Telekomindo yang berada di zona 12 yakni Sulawesi bagian Utara memiliki jumlah tunggakan yakni Rp2.197.782.790.

Sedangkan First Media, yang berada di zona 1 dan 4 untuk daerah Sumatera bagian Utara, Jabodetabek dan Banten memiliki jumlah tunggakan Rp364.840.573.118

Perlu diketahui bahwa First Media adalah perusahaan yang memberikan layanan internet dengan merek Bolt dan First Media.

Keduanya pun harus membayar biaya penggunaan spektrum radio merujuk pada Permen Kominfo Pasal 83 ayat 1 Nomor 9 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio maka jika ketiga pihak tersebut belum bayar maka akan dikenakan sanksi.

“Dinyatakan bahwa setiap pemegang IPFR yang tidak melakukan pembayaran secara penuh BHP Frekuensi Radio paling lambat pada tanggal jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa denda, penghentian sementara penggunaan Pita Frekuensi Radio, dan/atau pencabutan izin,” kata Ferdinandus Setu, Plt. Kepala Biro Humas Kominfo, Jumat (09/11/2018).

Kemudian Kominfo melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI) akan meminta klarifikasi tertulis kepada penyelenggara perihal kelangsungan usaha Jasa Akses Internet mereka.

“Pita 2,3 GHz hanyalah salah satu media akses yang digunakan oleh penyelenggara Jaringan Tetap Lokal Berbasis Packet Switched dalam menyalurkan layanan. Dari sudut pandang teknologi selain spektrum frekuensi radio, jaringan akses dapat disalurkan melalui media lain seperti fiber optik, kabel (tembaga atau coaxial) maupun melalui teknologi VSAT (Broadband Satellite Access),” ucap Ferdinandus.

Ditjen PPI akan melakukan penyesuaian terhadap izin penyelenggara jika memiliki jaringan selain Pita 2,3 GHz. Tetapi sebaliknya jika mereka tidak memilikinya maka izin mereka bisa dicabut.

“Ditjen PPI akan melakukan pencabutan izin setelah diberikannya peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut yang masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 hari kerja,” ujar Ferdinandus.

Ferdinandus mengatakan jika izin penyelenggara dicabut maka pihak penyelenggara wajib menyalurkan kepentingan pelanggan ke penyelenggara lainnya sesuai dengan area layanannya sepanjang layanan tersedia dan memungkinkan.

Sementara itu, pihak Kementerian Kominfo dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) akan melakukan pengawasan demi melindungi pelanggan.

“Kami akan melakukan pengawasan terhadap pemenuhan hak-hak pelanggan dalam hal layanan yang telah disepakati,” tegas Ferdinandus.

Terakhir Ferdinandus mengatakan bahwa pihaknya dalam hal ini Ditjen PPI terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggara lainnya yang memiliki pita frekuensi 2,3 GHz dan tidak terdampak dari kebijakan Pemerintah ini, agar memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. [NM/HBS]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini


ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI