Kemkomdigi Rayakan HUT ke-24 dengan Edukasi Bahasa Isyarat yang Inklusif

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya ketika kata-kata terperangkap dalam keheningan? Ketika komunikasi sehari-hari yang bagi kebanyakan orang terasa otomatis, justru menjadi tembok yang sulit ditembak? Inilah realitas yang dihadapi komunitas tuli di Indonesia setiap harinya – sebuah dunia di mana bahasa lisan tak lagi berfungsi, dan pemahaman menjadi barang mewah.

Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, ironisnya masih banyak kelompok masyarakat yang justru terpinggirkan dalam arus informasi. Komunitas tuli, dengan populasi yang diperkirakan mencapai lebih dari 2 juta orang di Indonesia, seringkali menjadi penonton dalam percakapan sosial yang seharusnya melibatkan mereka. Bahasa isyarat, yang menjadi jembatan komunikasi utama mereka, masih dianggap sebagai bahasa “alternatif” ketimbang kebutuhan dasar.

Memasuki usia ke-24, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) memilih untuk merayakannya dengan cara yang berbeda – bukan dengan pesta megah atau seremoni formal, melainkan dengan membangun jembatan komunikasi yang lebih inklusif melalui edukasi bahasa isyarat. Sebuah langkah progresif yang menunjukkan bahwa usia tak sekadar angka, tetapi kedewasaan dalam memahami kebutuhan masyarakat yang beragam.

Lebih dari Sekadar Perayaan: Membangun Jembatan Komunikasi

Acara bertema “Mengenal Isyarat, Menebar Manfaat” yang digelar di Museum Penerangan, Jakarta Timur ini bukan sekadar bagian dari perayaan HUT ke-24 Kemkomdigi. Lebih dari itu, kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional yang menunjukkan komitmen berkelanjutan terhadap inklusivitas.

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (Dirjen KPM) Fifi Aleyda Yahya dengan tegas menyatakan, “Harapan kami, perayaan HUT ke-24 Kemkomdigi ini menjadi momentum untuk memperkuat semangat solidaritas sosial. Kami percaya bahwa setiap orang berhak untuk dipahami dan memahami.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan filosofi yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan.

Fifi menambahkan, “Melalui kegiatan belajar bahasa isyarat ini, kami ingin membangun jembatan komunikasi yang lebih inklusif.” Kata “jembatan” yang digunakan Fifi sangat tepat – menggambarkan fungsi bahasa isyarat sebagai penghubung antara dua dunia yang selama ini terpisah: dunia dengar dan dunia tuli.

Donor Darah: Solidaritas yang Mengalir dalam Nadi

Tak berhenti pada edukasi bahasa isyarat, Kemkomdigi juga menggelar kegiatan donor darah di Plaza Kori TMII, Jakarta Timur. Dua kegiatan yang tampaknya berbeda ini sebenarnya memiliki benang merah yang sama: solidaritas sosial. Jika bahasa isyarat adalah solidaritas dalam bentuk komunikasi, donor darah adalah solidaritas dalam bentuk aksi nyata.

Fifi mengapresiasi antusiasme yang ditunjukkan oleh para pegawai Kemkomdigi, pengelola museum di TMII, serta masyarakat luas yang dengan sukarela mendonorkan darahnya. “Partisipasi ini membuktikan bahwa nilai kebersamaan dan rasa peduli sesama masih terjaga dengan baik, bahkan semakin menguat di tengah tantangan zaman,” ujar Fifi.

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa di era digital yang sering dituduh membuat manusia individualis, justru semangat kebersamaan dan kepedulian bisa tumbuh subur ketika diwadahi dengan tepat. Donor darah di ruang publik seperti TMII bukan sekadar mengumpulkan kantong darah, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya berbagi.

Museum Penerangan: Lokasi Strategis untuk Revolusi Komunikasi

Pemilihan Museum Penerangan (Muspen) sebagai lokasi acara bukan tanpa alasan. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Museum Penerangan Mashuri Nur menjelaskan bahwa lokasi ini sangat strategis karena sejalan dengan visi pembangunan Muspen sebagai ruang publik untuk mengenal komunikasi secara luas.

“Acara-acara ini juga dapat menjadi pemantik untuk lebih banyak masyarakat berkomunikasi dengan beragam cara dan membuatnya semakin inklusif,” kata Mashuri. Pernyataannya ini menggarisbawahi bahwa inklusivitas dalam komunikasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan yang perlu terus dipupuk.

Mashuri menambahkan, “Hari ini bukan hanya soal belajar bahasa isyarat, tetapi juga langkah awal menjadi orang yang peduli, mau belajar, dan berdiri bersama komunitas tuli dalam membangun komunikasi yang setara dan inklusif.” Kata “setara” di sini sangat penting – mengingatkan kita bahwa inklusivitas tanpa kesetaraan hanyalah ilusi.

Teknologi dan Inklusivitas: Sinergi yang Tak Terelakkan

Dalam konteks yang lebih luas, langkah Kemkomdigi ini sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin memperhatikan aspek inklusivitas. Berbagai inovasi teknologi telah muncul untuk mempermudah komunikasi dengan komunitas tuli, mulai dari sarung tangan khusus yang bisa menerjemahkan bahasa isyarat hingga aplikasi-aplikasi pintar yang mampu menjembatani komunikasi antara dunia dengar dan tuli.

Namun, teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah perubahan mindset dan kesadaran sosial – sesuatu yang coba dibangun oleh Kemkomdigi melalui kegiatan edukasi bahasa isyarat ini. Teknologi bisa mempermudah, tetapi pemahaman dan empati manusialah yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif.

Semangat kesetaraan, kepedulian, dan kebersamaan yang ditumbuhkan dari kegiatan ini diharapkan dapat terus menyebar dan memberikan dampak positif yang luas bagi masyarakat. Bukan hanya untuk komunitas tuli, tetapi untuk semua pihak yang percaya bahwa komunikasi adalah hak fundamental setiap manusia.

Di usia ke-24, Kemkomdigi telah menunjukkan bahwa kematangan sebuah institusi tidak diukur dari besarnya perayaan, tetapi dari kedalaman dampak yang diciptakan bagi masyarakat. Edukasi bahasa isyarat dan donor darah mungkin terlihat seperti kegiatan sederhana, tetapi maknanya jauh lebih dalam: sebuah deklarasi bahwa dalam komunikasi, tidak ada yang boleh tertinggal.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI