SAFENet Bongkar 6 Bentuk Represi Digital Saat Demo Agustus 2025 di Indonesia

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Apa jadinya jika hak digital Anda tiba-tiba dibungkam saat menyuarakan pendapat? Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) baru saja mengungkap deretan praktik represi digital yang terjadi selama aksi demonstrasi di Indonesia sejak 25 Agustus 2025. Tidak hanya pelanggaran HAM di lapangan, ternyata ruang digital juga menjadi medan represi yang masif.

SAFENet, organisasi masyarakat sipil yang fokus pada perlindungan hak digital, menyoroti bahwa pemerintah dan platform media sosial diduga melakukan pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi. Situasi ini mengingatkan kita pada era di mana teknologi justru digunakan untuk membungkam, bukan memberdayakan. Seperti yang pernah terjadi pada smartphone Korut yang disinyalir menjadi alat pengawasan, kini represi digital hadir dalam bentuk yang lebih kompleks.

Lantas, apa saja bentuk-bentuk represi digital yang diungkap SAFENet? Mari kita telusuri satu per satu.

Kriminalisasi Aktivis dan Pengelola Medsos

Pertama, SAFENet mencatat adanya kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa Universitas Riau (UNRI) Khariq Anhar dan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP). Khariq ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada 28 Agustus 2025 setelah melakukan kampanye mengenai aksi protes melalui Instagram AMP. Penangkapan ini memicu kekhawatiran akan kebebasan berekspresi di ruang digital, terutama bagi mereka yang vokal menyuarakan kritik.

Penyebaran Kontak WhatsApp yang Menyesatkan

Kedua, beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang secara keliru dipresentasikan sebagai milik anggota DPR. Akibatnya, pemilik nomor tersebut mendapat spam, pelecehan, hingga gangguan keamanan. Tidak berhenti di situ, ancaman intimidasi secara masif juga terjadi, termasuk pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan serangan digital lainnya yang menargetkan para pengkritik.

Gangguan Akses Internet dan Informasi

Ketiga, gangguan terhadap akses internet dan informasi di ruang digital. Moderasi konten, pembatasan fitur, dan pemadaman listrik di Jakarta dan Bandung—sebagai titik sentral aksi—menghambat arus informasi dan memperbesar potensi ancaman fisik terhadap peserta demonstrasi. Bahkan, SAFENet mengungkap dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran oleh orang tak dikenal, yang berpotensi mengganggu jaringan internet. Pola ini mirip dengan gangguan akses internet pada demonstrasi-demonstrasi sebelumnya.

Pembatasan Fitur Live Streaming di TikTok

Keempat, penangguhan fitur live streaming di TikTok dengan alasan keamanan. Fitur ini sejatinya menjadi saluran alternatif untuk mendokumentasikan jalannya demonstrasi. Pembatasan ini tidak hanya membatasi akses informasi, tetapi juga berdampak pada pelaku UMKM yang mengandalkan live streaming untuk berbisnis. Keputusan ini menuai kritik karena dianggap mengorbankan hak masyarakat atas informasi.

Operasi Informasi dan Pengalihan Isu

Kelima, SAFENet menemukan indikasi operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa kepada DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas aparat. Peserta aksi juga sering dilabeli sebagai kelompok anarkis untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Yang lebih mengkhawatirkan, muncul narasi hasutan kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang mengingatkan pada peristiwa 1998.

Moderasi Konten Berlebihan oleh Platform

Keenam, pernyataan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang berencana memanggil perwakilan Meta dan TikTok pada 26 Agustus untuk membahas pemberantasan konten yang dianggap sebagai disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK). Tak lama setelahnya, terjadi moderasi konten berlebihan di Instagram, YouTube, dan TikTok. Sejumlah akun ditangguhkan dan unggahan terkait kekerasan polisi diturunkan dengan dalih ‘penghasutan dan kekerasan’. Padahal, konten-konten tersebut merupakan ekspresi yang sah.

Selain keenam poin tersebut, SAFENet juga menyoroti penyitaan, penggeledahan, dan penyedotan data paksa terhadap ponsel massa aksi di Bali oleh kepolisian. Tindakan ini semakin mengukuhkan betapa represi digital tidak hanya terjadi secara daring, tetapi juga merambah ke ranah fisik.

Represi digital selama demonstrasi ini membuka mata kita akan pentingnya perlindungan hak digital. Dalam era di teknologi semakin canggih, kolaborasi antara pihak seperti Kaspersky dan BSSN menjadi krusial untuk memastikan keamanan siber tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Namun, yang juga perlu diwaspadai adalah penggunaan teknologi untuk kepentingan represif, sebagaimana terjadi dalam kasus ini.

Apakah kita akan membiarkan ruang digital menjadi medan baru bagi pelanggaran HAM? Atau justru memanfaatkannya untuk memperkuat demokrasi? Sejarah membuktikan bahwa ruang digital bisa menjadi alat perubahan, seperti yang terjadi saat aksi demo Hong Kong berlanjut ke game GTA V Online. Namun, ketika digunakan untuk represi, dampaknya bisa sangat menghancurkan.

SAFENet telah membuka kotak Pandora ini. Sekarang, terserah pada kita semua untuk memastikan bahwa hak digital tidak menjadi korban berikutnya dalam gelombang demonstrasi.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI