Bayangkan data kesehatan, riwayat keuangan, dan informasi pribadi Anda yang paling sensitif tiba-tiba bocor ke tangan yang salah. Bukan karena peretasan spektakuler, melainkan akibat sistem kecerdasan buatan yang Anda percayai untuk mengurus klaim asuransi. Inilah paradoks modern yang dihadapi industri asuransi Indonesia saat ini.
Di tengah transformasi digital yang tak terelakkan, industri asuransi semakin bergantung pada teknologi AI untuk efisiensi operasional. Mulai dari analisis penentuan premi, persetujuan klaim, hingga layanan pelanggan otomatis—semua mengandalkan algoritma yang haus data. Namun, di balik kemudahan ini tersembunyi risiko besar yang sering diabaikan: kerentanan perlindungan data pribadi konsumen.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria secara khusus mengingatkan industri asuransi tentang ancaman ini. Dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, dia menekankan bahwa industri asuransi kerap menjadi target utama serangan siber yang berpotensi menyebabkan kebocoran data pribadi dan merusak reputasi perusahaan. Peringatan ini datang tepat ketika DPR RI telah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi sebagai payung hukum yang jelas.
AI dalam Asuransi: Efisiensi dengan Harga Mahal?
Nezar mengakui bahwa otomatisasi proses klaim dan layanan pelanggan dengan memakai teknologi AI dapat meningkatkan efisiensi secara signifikan. Industri asuransi kini menggunakan AI untuk menganalisis pola risiko, menentukan premi yang lebih akurat, bahkan menjadi agen virtual yang melayani nasabah 24/7. Namun, dia mengingatkan bahwa ada tantangan besar yang perlu diantisipasi.
“Sistem AI membutuhkan data pribadi dalam volume yang masif untuk pelatihan model yang berpotensi meningkatkan risiko kebocoran data dan penyalahgunaan,” kata Nezar. Pernyataan ini mengungkap dilema fundamental: semakin canggih AI, semakin banyak data pribadi yang harus dikumpulkan dan diproses.
Yang lebih mengkhawatirkan, hasil dari proses perhitungan oleh AI tidak selalu akurat. Adanya kesalahan dalam data yang digunakan untuk melatih AI dapat membuat hasil menjadi bias. Bayangkan jika sistem AI salah menilai risiko kesehatan Anda berdasarkan data yang tidak lengkap—premi bisa melambung tanpa alasan yang jelas.
Baca Juga:
Regulasi dan Implementasi: Perlindungan Data sebagai Budaya
Regulasi tentang pelindungan data pribadi sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Saat ini, pemerintah sedang menyusun aturan turunan dalam bentuk Peraturan Presiden untuk memastikan implementasi yang efektif. Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong pengawasan dan penegakan UU PDP bisa berlangsung seperti yang diharapkan, termasuk soal penanganan insiden kebocoran, investigasi, dan sanksi administratif bagi pelanggaran yang dilakukan.
Nezar berharap regulasi UU PDP dapat mendorong industri asuransi untuk menjadikan pelindungan data pribadi sebagai budaya dalam perusahaan. “Kita jadikan pelindungan data pribadi ini bukan hanya sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, tetapi kita jadikan dia sebagai core values, nilai inti, dan menjadi keunggulan kompetitif yang membedakan industri asuransi Indonesia di mata dunia,” ucapnya.
Pendekatan ini sejalan dengan upaya pemerintah membentuk satgas perlindungan data pribadi yang bertugas mengawasi implementasi regulasi di berbagai sektor, termasuk asuransi. Komitmen serupa juga ditunjukkan oleh perusahaan teknologi global seperti Google yang menyatakan akan mematuhi RUU Perlindungan Data Pribadi.
Tantangan Implementasi di Era AI
Implementasi perlindungan data pribadi di industri asuransi menghadapi tantangan unik di era AI. Sistem machine learning membutuhkan akses ke dataset yang besar dan beragam untuk menghasilkan analisis yang akurat. Namun, setiap kali data pribadi nasabah diproses, risiko kebocoran meningkat.
Industri asuransi juga menghadapi tekanan kompetitif yang mendorong adopsi AI secara cepat. Dalam perlombaan efisiensi ini, pertimbangan keamanan data kadang terabaikan. Padahal, sekali terjadi kebocoran data, kerugian tidak hanya finansial tetapi juga reputasi yang sulit dipulihkan.
Pertanyaannya: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan efisiensi melalui AI dengan kewajiban melindungi data pribadi nasabah? Jawabannya mungkin terletak pada pendekatan “privacy by design” di mana perlindungan data diintegrasikan sejak awal pengembangan sistem AI, bukan sebagai tambahan belaka.
Transformasi digital industri asuransi tidak bisa dihindari, tetapi harus dilakukan dengan bijak. Perlindungan data pribadi bukan lagi sekadar compliance, melainkan menjadi diferensiasi kompetitif di pasar global. Seperti yang diingatkan Nezar Patria, masa depan industri asuransi Indonesia tergantung pada kemampuan menyeimbangkan inovasi teknologi dengan tanggung jawab melindungi hak-hak dasar konsumen.

