Diskusi Gedung Putih
Caroline Buckee, seorang ahli epidemiologi di Harvard TH Chan School of Public Health, terlibat dalam diskusi Gedung Putih tentang penggunaan data smartphone pada Maret 2020. Ia sedikit mengungkap hasil diskusi tersebut.
Ia mengemukakan, diskusi di Gedung Putih bertujuan untuk menganalisis kumpulan data agregat guna mengetahui apakah intervensi jarak sosial bisa bekerja secara efektif dan apakah penutupan sekolah berdampak ke pola mobilitas.
Buckee menggunakan teknik yang sama pada 2012 silam. Ia menganalisis data dari 15 juta smartphone untuk memetakan penyebaran malaria di Kenya. Mereka melacak teks dan panggilan antara Juni 2008 sampai Juni 2009.
Hasilnya, ia menemukan fakta bahwa malaria menyebar lebih regional daripada di jalan yang banyak dilalui orang. Informasi tersebut terbukti vital selama wabah malaria pada masa depan. Namun, bisakah metode serupa berlaku di AS?
Covid Near You, kolaborasi antara peneliti di Boston Children’s Hospital dan insinyur dari Apple, Amazon, dan Alphabet, berupaya melacak virus corona dengan crowdsourcing, merekrut orang-orang di seluruh AS untuk berbagi gejala.
Program itu merupakan gagasan dari Prem Ramaswami, kepala produk di Alphabet Sidewalk Labs. Ketika sakit pada Maret 2020, ia dan istrinya tidak dapat dites virus corona. Sebab, tak ada bukti mereka kontak dengan pasien Covid-19.
Diluncurkan pada akhir Maret 2020, Covid Near You adalah upaya nyata pertama untuk melakukan metode efektif yang diterapkan di negara-negara seperti Singapura. Singapura memakai aplikasi TraceT untuk melacak pasien Covid-19.
Aplikasi tersebut dipakai atas persetujuan pengguna. TraceT akan memperingatkan siapa pun yang mungkin datang dalam kontak dekat. Berkat aplikasi itu, penanganan kasus Covid-19 di Singapura berjalan sangat efektif dan banjir pujian.
Tidak terstruktur
Ethan Zuckerman, Direktur Center for Civic Media di Massachusetts Institute of Technology, berpendapat bahwa perusahaan raksasa teknologi seharusnya tidak memberikan layanan yang biasanya diserahkan kepada pemerintah.
“Mereka tidak terstruktur untuk menyediakan layanan kepada semua warga. Meminta Apple untuk menyelamatkan nyawa orang selama pandemi sama seperti meminta New York Yankees tanggung jawab atas pemadaman api,” sindirnya.
Paul Barrett, seorang profesor NYU dan Wakil Direktur untuk Pusat Bisnis dan Hak Asasi Manusia, percaya bahwa perusahaan teknologi hanya memiliki satu tanggung jawab, yakni tidak membuat situasi mengerikan menjadi lebih buruk.
Dalam istilah praktis, katanya, hal tersebut berarti menjaga situs mereka bebas dari informasi yang salah, teori konspirasi, dan konten berbahaya lain. “Darurat nasional adalah waktu untuk menyiapkan informasi akurat,” kata Barrett.
Setidaknya, saat ini, Google, Microsoft, Facebook, Twitter, Reddit, YouTube, dan LinkedIn berjanji untuk memerangi dan membatasi informasi salah tentang virus corona, meningkatkan konten otoritatif di platform, dan berbagi pembaruan.
{Baca juga: WhatsApp Batasi Forward Pesan untuk Tekan Hoaks Corona}
Perusahaan-perusahaan raksasa teknologi telah membuat langkah. YouTube menghapus video palsu tentang penyembuhan virus corona. Twitter dan Facebook meluncurkan pusat informasi Covid-19 dengan sumber daya dan berita andal tentang pandemi.
Masalahnya, masih ada keraguan tentang pengumpulan data. Semua berakar dari keprihatinan yang sama tentang perusahaan teknologi. Satu pertanyaan melekat dalam diri mereka, “Apakah perusahaan teknologi benar-benar dapat dipercaya?”. [SN/HBS]