Telset.id, Jakarta – Media sosial Facebook nampaknya belum membantu dalam mengurangi kekerasan di negara Myanmar. Berdasarkan laporan auditor independen, terdapat temuan bahwa Facebook belum mampu mencegah konten ujaran kebencian yang memicu kekerasan di Myanmar.
Dilansir Telset.id dari CNET, Selasa(06/11/2018) laporan yang dibuat oleh sebuah lembaga CSR tersebut menyatakan bahwa tindakan Facebook belum bisa mengatasi masalah.
Seperti misalnya menghapus akun kelompok garis keras dan akun seorang jenderal di Myanmar yang dilakukan Facebook beberapa waktu lalu belum membuat kekerasan di Myanmar berkurang.
“Laporan itu menyimpulkan bahwa sebelum tahun ini kami tidak melakukan cukup untuk membantu mencegah platform kami digunakan untuk memindahkan divisi dan memicu kekerasan offline,” ucap Alex Warofka selaku menajer kebijakan produk Facebook.
“Kami setuju bahwa kami dapat dan harus berbuat lebih banyak,” lanjut Alex.
Sebelumnya pada Maret kemarin, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan jika Facebook berperan penting dalam konflik rohingnya, Myanmar yang menyebabkan banyak umat muslim melarikan diri dari negara tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Facebook pun telah bekerja sama dengan akademisi yang memahami konflik Myanmar dan ahli informatika untuk mengatasi respon tersebut.
Selain itu Facebook juga menggunakan alat bernama CrowdTangle untuk menganalisis konten yang berpotensi berbahaya dan memahami pola penyebaran konten kekerasan di Myanmar.
Facebook juga menggunakan Artificial Intelligent (AI) untuk mengindetifikasi dan mencegah penyebaran postingan yang mengandung komentar-komentar negatif.
“Kami berkomitmen untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang terkait penyelidikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) internasional di Myanmar,” ucap Warofka.
Tetapi semua usaha Facebook belum cukup untuk mengatasi kekerasan di Myanmar dan atas saran lembaga independen, Warofkan mengatakan jika Facebook akan melihat kedalam untuk mengatasinya.
Terkait konflik di Myanmar, pejabat HAM PBB pada bulan Agustus lalu merekomendasikan bahwa para pemimpin militer Myanmar dituntut atas genosida terhadap muslim Rohingya.
Hal ini karena lebih dari 700.000 muslim Rohingya telah melarikan diri dari negara Rakhine Myanmar sejak sekarang pemberontak yang memicu serangan militer pada Agustus 2017.
Selain itu para penyelidik PBB juga telah menemukan sejumlah kejahatan lain seperti pemerkosaan, perbudakaan, pembakaran desa dan pembunuhan anak-anak. Bahkan sekitar 10.000 orang dilaporkan tewas atas kekerasan disana.