Telset.id, Jakarta – Rendahnya penetrasi perbankan Syariah di tanah air, khususnya bila dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk muslim besar lainnya, disebut CEO dan Founder Alami Dima Djani sebagai peluang tersendiri bagi perusahaan teknologi finansial (fintech).
Apalagi, saat ini nilai aset perbankan Syariah di Indonesia pun hanya sebesar US$30 miliar atau sekitar Rp437 Triliun. Bukan jumlah yang sangat besar, apalagi mengingat itu hanya 7 persen dari nilai aset perbankan Syariah di kawasan Asia Tenggara.
“Peluang mengembangkan fintech syariah di Indonesia masih sangat besar. Apalagi sekarang anak muda atau generasi milenial banyak yang mulai menerapkan gaya hidup Syariah atau yang disebut hijrah, yang salah satunya menggunakan perbankan atau pembiayaan Syariah,” ujar Dima dalam acara konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Selain itu, gaya hidup masyarakat di Indonesia juga disebutnya mendukung perkembangan model bisnis tanpa bunga tersebut. Contohnya adalah negara ini merupakan negara kedua yang penduduknya paling banyak berdonasi di dunia, yang menggambarkan kearifan budaya lokal pendukung model bisnis tersebut.
Kendati demikian, Dima mengaku masih banyak kendala yang dihadapi untuk mengembangkan pembiayaan Syariah. Penyebabnya adalah rendahnya literasi syariah masyarakat, pangsa pasar yang rendah dan sentimen negatif masyarakat terhadap kepatuhan Syariah.
“Sampai sekarang masih banyak kontroversi di masyarakat mengenai institusi keuangan Syariah, karena ada yang bilang masih terkait Bank Indonesia dan sebagainya. Jadi belum semua masyarakat yang benar-benar yakin keabsahan institusi yang ada sekarang,” ungkap Dima.
Untuk menggaet minat masyarakat, lanjut dia, institusi fintech syariah bisa mengandalkan efisiensi dan menyasar target UKM yang belum tergarap perbankan konvensional. Dia juga meenyarankan supaya mereka tidak memberikan pembiayaan untuk tujuan konsumtif, seperti membeli kendaraan atau belanja karena dampak dari sisi jangka panjang masih diperdebatkan.
Alami disebutnya telah berhasil menerapkan kebijakan tersebut. Selain itu, hasil pembiayaan juga sebagian dialokasikan untuk donasi bagi masyarakat yang membutuhkan, katakana saja orang miskin dan anak-anak yatim.
“Prinsip-prinsip islami ini sesuai dengan program pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan oleh PBB. Kami juga ada diskusi dengan perusahaan-perusahaan lain untuk bantu anak-anak yatim. Dengan ini kami temukan hastag #GoodnessInYou karena masih ada sisi kebaikan di setiap orang,” imbuh dia.
Tak hanya itu, untuk terus berkembang, perusahaan rintisan atau startup ini juga menggandeng BPR-Syariah yang memiliki model bisnis serupa. Tujuannya tak lain untuk mengembangkan pasar syariah hingga mencapai Rp20 Triliun, yang saat ini hanya Rp12 Triliun.
“Saat ini kami masih fokus ke UKM, tapi nantinya akan buka obligasi syariah dan juga ke pasar modal syariah. Tapi yang penting nilai-nilainya dulu di-share supaya menarik masyarakat,” pungkas dia. [WS/IF]