Telset.id – Bayangkan hidup sehari-hari tanpa Google, Facebook, atau smartphone. Mustahil? Itulah kekuatan Big Tech—Amazon, Apple, Alphabet (Google), Meta (Facebook), dan Microsoft—yang telah menyusup ke setiap aspek kehidupan kita, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga politik. Namun, siapa yang mengawasi raksasa-raksasa ini ketika mereka terus melangkah lebih cepat daripada regulasi?
Alexandra Schwinges, peneliti dari University of Amsterdam, meneliti peran media dalam mengawasi Big Tech. Hasilnya? Jurnalisme perlu “software update” untuk tetap relevan sebagai “penjaga demokrasi”.
Kesenjangan Akuntabilitas: Ketika Regulasi Tertinggal
Big Tech bukan sekadar perusahaan teknologi—mereka adalah penyedia layanan yang hampir tak tergantikan. Lobi mereka yang kuat dan jangkauan global membuat pemerintah kesulitan mengatur aktivitas mereka. Schwinges menyebut ini sebagai “accountability gap”, di mana kekuatan sosial perusahaan jauh melampaui pengawasan hukum.
“Kita baru benar-benar menyadari skala kekuatan Big Tech belakangan ini,” kata Schwinges. “Kehadiran CEO Big Tech di pelantikan Donald Trump dan peran Elon Musk dalam pemerintahan AS membuka mata banyak orang.”
Media vs Big Tech: Pertarungan Narasi
Media diharapkan menjadi pengawas, tetapi kenyataannya lebih rumit. Publik menuntut jurnalisme yang kritis, namun kepercayaan terhadap media menurun ketika harapan ini tak terpenuhi. Di sisi lain, jurnalis menghadapi tantangan besar: ketergantungan pada sumber ahli, kompleksitas topik, dan prioritas editorial.
“Sulit bagi jurnalis,” jelas Schwinges. “Mereka harus memahami teknologi dan kebijakan secara mendalam, sementara waktu dan sumber daya terbatas.”
Big Tech juga pandai membentuk narasi. Mereka memposisikan diri sebagai “penjaga kepentingan publik” dengan jargon seperti “hak dasar atas internet”. Sayangnya, media sering mengulang framing ini, memperkuat citra positif mereka.
Baca Juga:
Jurnalisme Abad 21: Kolaborasi atau Kalah
Schwinges menyarankan tiga langkah penting:
- Data Journalism: Lebih banyak pelaporan berbasis data untuk mengungkap praktik tersembunyi Big Tech.
- Kolaborasi Lintas Batas: Media nasional harus bekerja sama menghadapi perusahaan global.
- Kemitraan Multipihak: Jurnalis, akademisi, dan pembuat kebijakan perlu bersinergi.
Tanpa perubahan ini, demokrasi bisa terancam. Seperti yang terjadi dalam kasus penggunaan teknologi pengenalan wajah di sekolah, teknologi tanpa pengawasan berisiko melanggar privasi.
Di Indonesia, di mana penetrasi digital meningkat pesat seperti dibahas dalam artikel IoT Merubah Inovasi Dunia Usaha, peran media sebagai pengawas semakin krusial. Apakah jurnalisme siap menjalankan tugas barunya?