Telset.id – Jika Anda berpikir kecerdasan buatan (AI) hanya untuk analisis data atau chatbot, bersiaplah terkejut. Sistem AI generatif seperti DALL-E 2, Imagen, dan Midjourney telah membuka babak baru dalam dunia kreatif, memungkinkan siapa saja menciptakan gambar menakjubkan hanya dengan perintah teks. Tapi ini baru permulaan. Kita sedang menyaksikan “mediamorfosis”—transformasi radikal bagaimana manusia berinteraksi dengan media dan mesin.
Konsep mediamorfosis, pertama kali diperkenalkan Roger F. Fidler tahun 1990-an, kini menemukan bentuk nyata. AI memungkinkan konversi antar media dalam hitungan menit: teks jadi gambar, gambar jadi musik, gerakan tubuh jadi animasi. Meta, misalnya, telah mendemonstrasikan AI yang menghidupkan gambar anak-anak dan platform Make-A-Scene yang mengubah sketsa kasar menjadi karya visual utuh.
Demokratisasi Kreativitas
Industri kreatif bernilai $100 miliar ini sedang mengalami revolusi. Dari 50 juta kreator global, 92% adalah amatir—dan AI memberi mereka alat setara profesional. TikTok sudah mengintegrasikan AI greenscreen berbasis teks untuk satu miliar penggunanya. “Fenomena ini mirip ketika Instagram mendemokratisasi fotografi,” kata seorang analis. Bedanya, kali ini skalanya lebih besar: desain, arsitektur, bahkan laporan korporat akan berubah.
Baca Juga:
Tantangan di Dunia Kerja
Tim pemasaran harus beradaptasi dengan platform multimedia yang dipenuhi konten AI. Laporan korporat tak lagi bisa mengandalkan PDF 100 halaman—mereka perlu format interaktif berbasis suara atau AR. “Di era di mana 50% populasi global sudah menggunakan teknologi suara, visualisasi diam tak lagi cukup,” ujar pakar komunikasi.
Perusahaan juga perlu memikirkan ulang budaya kerja. Metafora “organisasi sebagai mesin” sudah usang. Seperti dalam advanced chess Garry Kasparov, masa depan adalah kolaborasi manusia-AI yang memadukan kreativitas manusia dengan presisi mesin. Nuon dan Mitratel adalah contoh pelaku yang sudah memanfaatkan transformasi ini.
Kritik tetap ada. Fred Ritchin memperingatkan risiko “dunia virtual yang mengkompensasi ketiadaan agency di dunia fisik”. Tapi sejarah membuktikan: fotografi tak membunuh lukisan, Instagram tak membunuh fotografi. Yang pasti, kita perlu memulai percakapan serius tentang etika, hak cipta, dan masa depan kerja di era AI.