Telset.id – Bayangkan Anda menghabiskan bertahun-tahun menulis buku, hanya untuk melihat perusahaan teknologi melahap karya itu tanpa izin—lalu menciptakan mesin yang bisa menghasilkan konten serupa dalam hitungan detik. Inilah inti pertarungan hukum antara Meta dan sejumlah penulis ternama, termasuk Sarah Silverman dan Ta-Nehisi Coates, yang bisa menjadi preseden bagi masa depan hak cipta di era AI.
Di ruang sidang Pengadilan Distrik AS, Hakim Vince Chhabria menghabiskan berjam-jam menguji argumen kedua belah pihak. Meta, raksasa media sosial pemilik Facebook dan Instagram, menghadapi tuntutan karena diduga menggunakan buku-buku para penulis ini—yang diunduh dari “perpustakaan bayangan” seperti LibGen—untuk melatih model AI generatif mereka. Uniknya, Meta tidak menyangkal fakta ini, tetapi bersikeras bahwa tindakan mereka dilindungi oleh doktrin “penggunaan wajar” (fair use) dalam undang-undang hak cipta AS.
Pertanyaan Kunci: Apakah AI Meta Menggerus Pasar Penulis?
Chhabria menekankan bahwa inti persoalan bukan sekadar soal pembajakan, melainkan dampak ekonomi. “Jika Anda menghancurkan pasar untuk karya seseorang, lalu berargumen bahwa Anda tidak perlu membayar lisensi—bagaimana itu bisa disebut penggunaan wajar?” tanyanya kepada pengacara Meta, Kannon Shanmugam. Hakim bahkan membuat analogi tajam: Bagaimana jika lagu Taylor Swift diumpankan ke AI yang kemudian membanjiri pasar dengan miliaran lagu tiruan? “Lalu bagaimana dengan ‘Taylor Swift berikutnya’ yang belum terkenal?”
Meta berkilah bahwa klaim penulis hanyalah “spekulasi”. Namun, seperti dilaporkan dalam artikel sebelumnya Telset.id, ini bukan pertama kalinya perusahaan teknologi menghadapi gugatan serupa. Kasus ini menjadi bagian dari puluhan litigasi serupa yang menguji batas hukum seputar AI generatif.
Baca Juga:
Meta dan Dilema “Shadow Libraries”
Meski Chhabria mengakui praktik unduh buku dari situs seperti LibGen “terlihat tidak etis”, ia menekankan bahwa pertanyaannya adalah apakah ini melanggar hukum. “Pengadilan selalu mengingatkan: yang penting bukan apakah sesuatu terlihat salah, tapi apakah itu pelanggaran hak cipta,” ujarnya. Di sisi lain, tim hukum penulis—dipimpin pengacara kondang David Boies—berargumen bahwa Meta sengaja mencari jalan pintas dengan memanfaatkan konten bajakan.
Pertarungan ini terjadi di tengah gebrakan besar-besaran Meta di bidang AI. Dalam konferensi pendapatan terbaru, CEO Mark Zuckerberg menegaskan bahwa AI adalah “fondasi segala inisiatif kami”. Namun, seperti diungkap dalam artikel Telset.id tentang fitur AI WhatsApp, ambisi ini harus berhadapan dengan tantangan regulasi yang semakin ketat.
Dampak Jangka Panjang: Lebih Besar dari Meta
Keputusan dalam kasus Kadrey v. Meta ini bisa menjadi batu loncatan bagi industri. Sebelumnya, pengadilan sudah memenangkan Thomson Reuters dalam gugatan melawan startup AI Ross Intelligence—tapi kasus itu tidak melibatkan model bahasa besar (LLM) seperti yang digunakan Meta. Jika Chhabria memutuskan mendukung penulis, ini bisa memaksa perusahaan teknologi untuk membayar lisensi konten atau bahkan mengubah cara mereka melatih AI.
Namun, hakim juga menyiratkan keraguan: Apakah penulis benar-benar bisa membuktikan bahwa AI Meta telah atau akan merugikan mereka? “Anda meminta saya berspekulasi bahwa pasar untuk memoar Sarah Silverman akan terdampak,” katanya kepada Boies. “Itu tidak terlihat jelas bagi saya.”
Seperti pertarungan antara DeepSeek dan OpenAI, kasus ini menggarisbawahi ketegangan abadi antara inovasi teknologi dan perlindungan hak kreator. Chhabria sendiri mengakui kompleksitasnya: “Saya akan butuh waktu lebih lama untuk memikirkannya,” ujarnya di akhir sidang—dengan canda khas yang menyiratkan betapa berat keputusan ini.
Satu hal yang pasti: Apapun putusannya, gelombang dampaknya akan terasa jauh melampaui ruang sidang—mulai dari meja penulis, papan dewan perusahaan teknologi, hingga layar gadget Anda.