Telset.id – Bayangkan Anda baru lulus kuliah dengan segudang prestasi, siap melamar pekerjaan impian. Tapi tahukah Anda? Lapangan kerja untuk lulusan baru di AS justru mencapai titik terendah dalam sejarah—dan kecerdasan buatan (AI) diduga menjadi salah satu biang keladinya.
Data terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) mengungkapkan fakta mengejutkan: generasi muda yang baru menyandang gelar sarjana kesulitan mendapatkan pekerjaan. Menurut laporan The Atlantic, fenomena ini tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang berperan, termasuk maraknya penggunaan generatif AI yang perlahan menggantikan peran manusia di sektor administratif.
AI vs. Lulusan Baru: Siapa yang Menang?
“Jika Anda berpikir dari prinsip dasar tentang apa yang bisa dilakukan AI generatif, dan pekerjaan apa yang bisa digantikannya, itu adalah hal-hal yang biasa dilakukan lulusan baru di kantor,” jelas David Deming, ekonom Harvard, kepada The Atlantic. “Mereka membaca dan mensintesis informasi, menghasilkan laporan, serta membuat presentasi.”
Namun, situasinya tidak hitam putih. Penurunan lapangan kerja tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada AI. Kebijakan ekonomi yang tidak stabil di era pemerintahan Donald Trump turut memicu ketidakpastian. Beberapa ahli bahkan memprediksi AS akan mengalami stagflation—kondisi langka di mana inflasi melonjak sementara pasar kerja melemah.
Baca Juga:
Masa Depan Kerja di Bawah Bayang-Bayang AI
Meski demikian, AI tetap menjadi faktor yang tak terbantahkan. McKinsey memproyeksikan bahwa 30% pekerjaan di AS bisa terotomatisasi pada 2030. Bahkan, Goldman Sachs memperkirakan angka tersebut bisa mencapai 50% pada 2045. Namun, tidak semua sepakat dengan prediksi suram ini.
Sebuah eksperimen unik dari Carnegie Mellon University mencoba menjalankan perusahaan perangkat lunak palsu dengan staf sepenuhnya berupa agen AI. Hasilnya? Kekacauan total. Ini membuktikan bahwa AI belum tentu bisa menggantikan manusia sepenuhnya.
“Anda tidak bisa berasumsi bahwa lebih banyak data dan komputasi berarti AI lebih cerdas,” tegas Yann LeCun, kepala ilmuwan AI Meta. Dengan kata lain, meski beberapa pekerjaan rentan digantikan, AI masih kesulitan mengisi banyak peran lain—sedikit harapan bagi manusia di tengah pasar kerja yang semakin sulit.
Selain AI, kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi COVID-19 juga turut berkontribusi. Gelar sarjana kini tidak lagi menjadi jaminan seperti 15 tahun lalu. Namun, dengan industri teknologi yang terus menggelontorkan dana besar untuk pengembangan AI, perubahan besar di pasar kerja sudah mulai terasa.
“Anda tidak perlu berspekulasi tentang dampak AI terhadap pasar kerja,” kata Deming. “Investasi di AI sudah mengubah distribusi pekerjaan dalam ekonomi.”