Telset.id – Tren “ChatGPT Wrapped 2025” membanjiri media sosial, menawarkan rangkuman akhir tahun ala Spotify Wrapped untuk percakapan pengguna dengan chatbot AI. Namun, berbeda dengan layanan musik, fitur ini bukan produk resmi OpenAI melainkan kreasi mandiri pengguna yang memanfaatkan prompt tertentu.
Unggahan berisi statistik percakapan, topik obrolan favorit, hingga kebiasaan unik pengguna bersama ChatGPT selama setahun terakhir ini banyak ditemui di platform seperti TikTok. Pengguna membuatnya dengan menyalin prompt spesifik ke ChatGPT, lalu membagikan tangkapan layar hasilnya yang sering diiringi lagu-lagu populer seperti “Va Va Voom” dari Nicki Minaj.
Hasil yang muncul beragam dan kerap menghibur. Beberapa pengguna menemukan topik utama mereka seputar karier dan produktivitas, sementara yang lain “ketahuan” lebih sering membahas percintaan, kesehatan mental, atau hal-hal sepele yang berulang. Fenomena ini menyoroti bagaimana pengguna mempersonalisasi interaksi dengan AI, sekaligus memicu diskusi tentang privasi data.
Prompt Kunci dan Kebebasan Berkreativitas
Inti dari tren ini terletak pada sebuah prompt yang disebarluaskan. Pengguna cukup menyalin dan menempelkan teks berikut ke ChatGPT untuk mendapatkan rangkuman gaya Wrapped mereka sendiri:
“Make me ‘ChatGPT Wrap 2025’, a Spotify Wrapped-style year-end summary of all my conversations with you this year, highlighting my top recurring topics, most-discussed hobbies or projects, any memorable conversations, and quirky patterns in what I ask or how I talk. Present it in a fun, Spotify Wrapped-style format with headings like ‘Top 5 Topics,’ ‘Most Unexpected Question,’ ‘Biggest Obsession,’ and ‘Signature Style,’ and include a month-by-month recap that notes my biggest hyperfixation, favorite topic, or mood shift for each month. Keep the tone playful and witty, with bold headings, emojis, and short punchy commentary like Spotify does.”
Prompt tersebut meminta ChatGPT untuk menganalisis riwayat percakapan (berdasarkan data yang diingat dalam sesi obrolan tersebut) dan menyajikannya dalam format yang menarik. Pengguna juga didorong untuk berkreasi dengan menambahkan kategori sendiri, seperti estimasi total waktu ngobrol, frasa yang paling sering diketik, gaya bahasa favorit, atau kategori humor seperti “Most Repeated Line”, “Top Genre 2025”, hingga “Achievement of the Year”.
Baca Juga:
Eksposur Digital dan “Pengakuan Dosa” Pengguna
Di balik keseruan, tren ChatGPT Wrapped memunculkan reaksi campur aduk. Banyak warganet justru mengungkapkan rasa lega karena OpenAI tidak merilis fitur Wrapped resmi. Kekhawatiran utama adalah rasa “terekspos” berlebihan jika seluruh riwayat percakapan dianalisis dan dirangkum secara otomatis oleh sistem.
Kolom komentar berbagai unggahan dipenuhi candaan sekaligus kecemasan. Pengguna membayangkan rasa malunya jika ChatGPT membongkar “pertanyaan paling bodoh” yang pernah diajukan atau kesalahan yang terus diulang. Beberapa bahkan menjadikannya sebagai ruang “pengakuan dosa” digital, dengan menuliskan frasa-frasa andalan mereka saat berinteraksi dengan AI.
Frasa-frasa klasik yang sering disebut antara lain “buat jadi narasi”, “persingkat tapi jangan hilangkan poin penting”, “pakai bahasa manusia”, “is my grammar correct?”, “sumbernya mana?”, “buatin caption yang sesuai fotoku”, hingga “dia bales gini, aku balas apa”. Pola ini menunjukkan ketergantungan sekaligus pola penggunaan yang khas pada alat bantu seperti ChatGPT, yang kini semakin terintegrasi dalam workflow sehari-hari, mirip dengan bagaimana Canva diintegrasikan ke dalam ChatGPT untuk kemudahan desain.
Fenomena ini juga mengingatkan pada kompleksitas dan “kotak hitam” di balik teknologi AI. Seperti yang diakui oleh pemain lain di industri, bahkan para pembuatnya pun tidak sepenuhnya memahami bagaimana model AI tertentu bekerja secara mendalam. Kreativitas pengguna dalam memanfaatkan ChatGPT untuk hal-hal yang tidak terduga, seperti membuat Wrapped pribadi ini, adalah contoh nyata dari sifat adaptif teknologi yang masih terus dipelajari.
Tren ChatGPT Wrapped 2025, pada akhirnya, lebih dari sekadar lelucon media sosial. Ia adalah cermin digital dari kebiasaan, prioritas, dan bahkan kecemasan pengguna teknologi AI. Ia menunjukkan keinginan untuk personalisasi dan refleksi, sekaligus menyodorkan pertanyaan penting tentang batasan antara kemudahan dan privasi dalam era di mana percakapan kita dengan mesin bisa menjadi arsip yang suatu hari “dirangkum”.

