Talenta Digital Diklaim Kunci Tersembunyi di Balik Target Ekonomi 8% Indonesia

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan ini: Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029, level yang belum pernah dicapai dalam tiga dekade. Tapi tahukah Anda bahwa di balik angka ambisius itu, ada satu faktor krusial yang sering luput dari perhatian? Bukan sekadar investasi infrastruktur atau regulasi, melainkan talenta digital—manusia-manusia terampil yang akan menggerakkan mesin digitalisasi nasional.

Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan target tersebut melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029. Sasaran ini bukan main-main; ia menjadi penopang utama visi Indonesia Emas 2045. Namun, pertanyaan besarnya: siapkah kita dengan sumber daya manusia yang mumpuni? Di tengah gegap gempita sinergi lintas industri, kebutuhan akan talenta digital justru menjadi tantangan tersendiri yang memerlukan perhatian serius.

Mulyadi dari Kementerian ATR/BPN mengakui hal ini dengan jujur. “Di Kementerian, kita butuh talenta digital dan untuk memindahkan orang yang mumpuni harus ada nota dinas dan terkadang nota dinas ini lama balasannya,” ujarnya. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan birokratis, melainkan cerminan dari realitas yang dihadapi banyak institusi di Indonesia. Bagaimana mungkin transformasi digital bisa berjalan lancar jika proses perpindahan ahli saja memakan waktu berbulan-bulan?

Langkah Konkret Menjawab Kebutuhan Talenta

Meski tantangan ada, bukan berarti tidak ada solusi. Mulyadi menyebutkan bahwa pihaknya telah membuka lowongan CASN dan menggandeng konsultan untuk memaksimalkan talenta digital. Bahkan, CASN yang lolos seleksi diberi kesempatan untuk menambah ilmu melalui sekolah khusus. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pembangunan talenta tidak bisa hanya mengandalkan rekrutmen eksternal, tetapi juga peningkatan kapasitas internal.

Di sektor swasta, perusahaan seperti Agate mengambil pendekatan yang lebih kreatif. Shieny Aprilia, Co-Founder & CEO Agate, mengungkapkan bahwa mereka memperbanyak keterlibatan anak muda dalam proyek-proyek kolaborasi. “Saat bersinergi, misalnya saja dengan Astra, mereka meminta kami membuatkan game untuk proses rekrutmen. Game ini tentang pemecahan masalah sehingga yang terpilih nantinya benar-benar kompeten di bidangnya,” jelasnya. Pendekatan gamifikasi ini tidak hanya menarik minat generasi muda, tetapi juga memastikan bahwa talenta yang direkrut benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri.

Sinergi lintas industri, seperti yang dibahas dalam artikel sebelumnya, memang menjadi kunci. Namun, sinergi tersebut akan sia-sia tanpa dukungan talenta yang memadai. Bayangkan jika Telkomsel punya alat canggih untuk membantu ritel membuka toko baru, tetapi tidak ada ahli data yang mampu menganalisis informasi tersebut. Atau jika ZTE berkolaborasi dengan sektor pertambangan dan otomotif, tetapi tidak ada insinyur yang memahami integrasi teknologi lintas sektor.

Regulasi dan Infrastruktur: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Pembahasan tentang talenta digital tidak bisa dipisahkan dari konteks regulasi dan infrastruktur. Muhammad Arif dari APJII menekankan pentingnya regulasi untuk memastikan sinergi antar-ISP tidak justru menciptakan persaingan tidak sehat. Namun, regulasi saja tidak cukup. Jika internet masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali, bagaimana mungkin talenta digital di daerah lain bisa berkembang? Di sinilah perlunya pemerataan akses dan peluang.

Pemerataan talenta digital juga menjadi isu krusial. Jangan sampai kita hanya mencetak ahli-ahli teknologi di kota-kota besar, sementara daerah lain kekurangan sumber daya manusia yang kompeten. Program pelatihan dan pendidikan harus menjangkau seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya pusat-pusat ekonomi tradisional. Seperti yang terjadi pada Indosat Ooredoo pasca-merger, pertumbuhan yang pesat harus diimbangi dengan distribusi talenta yang merata.

Lalu, bagaimana dengan peran media dan big tech dalam mencetak talenta digital? Seperti dibahas dalam artikel terkait, dunia jurnalisme juga perlu beradaptasi dengan era digital. Talenta digital tidak hanya dibutuhkan di sektor teknologi murni, tetapi juga di bidang content creation, data journalism, dan digital marketing.

Masa Depan Talenta Digital: Antara Peluang dan Tantangan

Mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% bukanlah tugas mudah. Butuh lebih dari sekadar investasi fisik; butuh investasi pada manusia. Talenta digital adalah aset tak ternilai yang akan menentukan apakah Indonesia bisa memanfaatkan peluang digitalisasi secara maksimal.

Pertanyaannya sekarang: sudah siapkah kita? Sudah siapkah sistem pendidikan kita menghasilkan lulusan yang tidak hanya menguasai teori tetapi juga praktik? Sudah siapkah perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan karyawan? Dan yang paling penting, sudah siapkah generasi muda Indonesia untuk mengambil peran ini?

Jawabannya mungkin belum sepenuhnya ya. Tapi seperti kata pepatah, perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah. Langkah-langkah konkret yang diambil oleh berbagai pemangku kepentingan—dari pemerintah hingga swasta—menunjukkan bahwa kita sedang dalam proses yang benar. Tinggal bagaimana kita menjaga konsistensi dan mempercepat laju perubahan.

Jadi, lain kali Anda mendengar tentang target ekonomi 8% atau sinergi lintas industri, ingatlah bahwa di balik semua angka dan strategi itu, ada manusia-manusia berbakat yang menjadi tulang punggung transformasi digital. Merekrut, melatih, dan mempertahankan mereka bukanlah opsi—itu adalah keharusan jika kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI