Telset.id – Jika Anda berpikir algoritma media sosial adalah satu-satunya penyebab polarisasi politik dan sosial, penelitian terbaru dari Universitas Amsterdam akan membuat Anda tercengang. Studi ini mengungkap bahwa bahkan AI chatbot—tanpa campur tangan algoritma—secara alami membentuk ruang gema (echo chamber) dan memperkuat pandangan partisan.
Para peneliti menciptakan simulasi platform media sosial sederhana tanpa iklan atau algoritma rekomendasi, lalu melepaskan 500 chatbot berbasis GPT-4o mini dengan berbagai afiliasi politik. Hasilnya? Chatbot-chatbot tersebut secara konsisten mengikuti akun yang sejalan dengan keyakinan politik mereka dan lebih sering membagikan konten partisan ekstrem.
Eksperimen yang Menggugah Kesadaran
Dalam lima eksperimen berbeda, masing-masing melibatkan 10.000 interaksi, chatbot menunjukkan kecenderungan yang mirip dengan manusia: konten paling partisan mendapat engagement tertinggi. “Temuan ini tidak menggambarkan kita dengan baik,” tulis para peneliti dalam preprint yang dipublikasikan di arXiv. Bagaimanapun, chatbot dilatih berdasarkan data interaksi manusia di dunia yang sudah didominasi algoritma.
Yang lebih mengkhawatirkan, berbagai intervensi seperti feed kronologis, menyembunyikan jumlah follower, atau memperkuat pandangan berlawanan hanya menghasilkan perubahan maksimal 6% dalam pola engagement. Bahkan, menyembunyikan profil pengguna justru memperlebar polarisasi dan meningkatkan perhatian pada konten ekstrem.
Baca Juga:
Struktur Media Sosial: Masalah Fundamental?
Penelitian ini mempertanyakan apakah struktur media sosial itu sendiri—bukan hanya algoritmanya—yang secara inheren memperkuat kecenderungan terburuk manusia. “Media sosial adalah cermin rumah hantu bagi kemanusiaan; ia memantulkan kita, tetapi dalam bentuk yang paling terdistorsi,” tulis AJ Dellinger dalam laporannya.
Fenomena ini juga relevan dengan perkembangan fitur-fitur baru di platform seperti Instagram yang berusaha meningkatkan koneksi sosial. Namun, apakah upaya tersebut cukup untuk mengatasi polarisasi yang sudah mengakar?
Di Indonesia, isu ini semakin relevan menyusul rencana Kemkomdigi memblokir iklan rokok di media sosial. Langkah ini menunjukkan kesadaran akan pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik, meski solusi teknis mungkin tidak cukup.
Seperti yang ditunjukkan oleh protes musisi terhadap Spotify, teknologi dan platform digital kini berada di persimpangan jalan antara kemajuan dan tanggung jawab sosial. Pertanyaannya: bisakah kita merancang ulang media sosial untuk mempromosikan pemahaman, bukan perpecahan?
Studi Amsterdam ini tidak memberikan jawaban optimis, tetapi setidaknya memberi kita cermin untuk melihat masalah secara lebih jernih. Mungkin langkah pertama adalah mengakui bahwa algoritma hanyalah amplifikasi dari kecenderungan yang sudah ada dalam diri kita semua.