Telset.id, Jakarta – Facebook tidak menghapus postingan kontroversial Presiden AS Donald Trump di Facebook. Sikap ini mendapat cibiran dari para mantan pegawai Facebook, dengan menyebut Mark Zuckerberg pengecut.
Para mentan pegawai yang dimaksud ini adalah mereka yang ikut membangun dan membesarkan Facebook sejak awal berdirinya raksasa jejaring sosial itu.
Tak heran jika mereka kini bersuara lantang mengungkapkan rasa kekecewaan mereka pada mantan bosnya di Facebook. Zuckerberg dianggap tidak peka dengan aksi demo yang menuntut keadilan atas kematian George Floyd.
{Baca juga: Bos Facebook “Galau” Hapus Postingan Kontroversial Donald Trump}
Para mantan pegawai itu mengatakan bahwa Facebook yang dulu mereka bangun, kini “sudah berbeda”. Mereka bahkan merasa sudah tidak mengenali Facebook yang sekarang, karena seperti sudah kehilangan arah.
‘Barisan para mantan’ ini bukan pegawai biasa, karena mereka pernah menduduki posisi penting di Facebook. Beberapa diantaranya adalah Meredith Chin, mantan Corporate Communication Manager, Adam Conner, mantan Public Policy Manager dan Natalie Ponse, mantan Marketing Manager.
“Kami merasa hancur melihat sesuatu yang kami bangun dan sesuatu yang kami yakini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, kini sudah kehilangan arah,” tulis para mantan pegawai Facebook.
Mereka mengatakan, Zuckerberg seharusnya juga menerapkan aturan review pada kata-kata atau tulisan postingan yang dibuat para pemimpin politik atau melakukan cek fakta, sama seperti yang diterapkan pada pengguna Facebook biasa.
“Perusahaan tempat kami dulu bergabung memberikan semua individu suara yang sama keras seperti pemerintah mereka, melindungi yang tidak berdaya ketimbang yang berkuasa,” lanjut mereka.
Rasa kecewa yang begitu besar karena sikap Zuckerberg yang tidak bereaksi apa-apa terhadap ucapan Trump, membuat mereka menyebut Mark Zuckerberg pengecut.
“Pendekatan Facebook saat ini bukanlah membela kemerdekaan. Tindakan mereka tidak sejalan, dan bahkan lebih buruk lagi, seperti seorang pengecut,” ketus para mantan.
“Di era marak penembakan yang disiarkan langsung saat ini, Facebook seharusnya tahu isi dari tulisan Trump itu sangat berbahaya,” tambah mereka.
Sebelumnya, Zuckerberg banyak diprotes oleh netizen dan bahkan pegawainya sendiri karena tidak mau menghapus postingan Trump yang dianggap kontroversial menghadapi aksi demontrasi insiden Floyd.
Postingan kontroversial Donald Trump di Facebook yang berbunyi “when the looting starts, the shooting starts”, atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai”.
Menariknya, postingan Trump ini disikapi berbeda oleh Twitter. Jika Facebook membiarkan postingan kontroversial itu, Twitter memutuskan untuk membatasinya.
{Baca juga: Twitter dan Facebook Beda Sikap Terkait Unggahan Donald Trump}
Twitter membatasi unggahan Trump karena dianggap sebagai glorifikasi kekerasan karena mengandung unsur mendukung tindakan kekerasan. Karena itulah, Twitter perlu membatasinya untuk mengurangi dampak buruk kepada netizen.
“Tweet ini melanggar kebijakan kami mengenai glorifikasi kekerasan berdasarkan konteks historis dari baris terakhir, hubungannya dengan kekerasan, dan risiko yang dapat menginspirasi tindakan serupa hari ini,” tulis @Twittercomms.
Sikap “keras kepala” Zuckerberg ini juga mendapat perlawanan dari para karyawannya. Dikabarkan bahwa karyawan Facebook melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes terhadap postingan Trump, dan sikap manajemen Facebook yang tidak menghapusnya.
Mogok kerja yang dilakukan oleh karyawan Facebook cukup unik. Karyawan meminta waktu istirahat di luar kantor, dan mengirimkan protes melalui email.
Seperti telah diberitakan, postingan Donald Trump diposting pada Kamis (28/05/2020). Melalui Facebook dan Twitter. Presiden kontroversial itu tidak tinggal diam dengan aksi protes yang terjadi di Kota Minneapolis.
{Baca juga: Karyawan Facebook Mogok Kerja Gegara Postingan Donald Trump}
Trump juga akan mengerahkan militer untuk menindak orang-orang yang melakukan protes tersebut. Unggahan tersebut menjadi kontroversial karena menganggap orang-orang yang melakukan protes adalah preman. [HBS]