Seribu Akal Distributor Nakal di Lapak Ponsel BM

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Keberadaan ponsel BM tak pernah hilang dari peredaran. Beribu macam akal distributor nakal disokong bekingan oknum pejabat, membuat entitas bisnis ponsel BM tumbuh subur. Ada permintaan, ada penawaran. Entitas bisnis “abu-abu” butuh bekingan para oknum pejabat. 

Telset.id – Pada tahun 2015 lalu, industri ponsel Indonesia dihebohkan oleh beberapa kasus kecurangan dengan modus Sertifikat Postel palsu. Saat itu kita lihat bagaimana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara tak bisa menyembunyikan rasa geramnya dengan kasus-kasus kecurangan yang dilakukan beberapa vendor dan distributor nakal.

“Ada beberapa kali diblok, ada yang jual dari marketplace ketahuan. Kami tarik, kami surati yang jualnya tidak boleh diedarkan,” kata Menkominfo Rudiantara saat itu.

Dia menyoroti adanya vendor atau importir yang menyiasati aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk perangkat smartphone 4G, dan pemalsuan sertufikat Postel. Menteri yang akrab disapa Chief RA itu berjanji akan menindak tegas vendor dan distributor nakal yang kerap menggunakan beribu macam cara untuk mengelabuhi peraturan TKDN, dan memalsukan sertifikat.

Kasus yang membuat Menkominfo Rudiantara geram tersebut adalah kasus kecurangan yang dilakukan salah satu produsen ponsel asal China, ZUK, yang memalsukan sertifikat untuk ponsel Zuk Z1 pada tahun 2015 lalu.

Saat itu, ZUK Z1 yang resmi diperkenalkan di Indonesia pada 7 Desember 2015 itu “ketangkap basah” oleh seorang blogger gadget bernama Herry SW, yang melihat kejanggalan sertifikasi yang digunakan ZUK Z1.

“Sertifikat sudah diterbitkan pada 2014. Padahal, di situs ZUK jelas-jelas disebutkan kalau merek itu lahir pada 28 Mei 2015. Sedangkan ZUK Z1 baru diperkenalkan pada Agustus 2015,” kata Herry saat itu.

Nomor sertifikat 36012 yang tercantum di kardus ZUK Z1 itu kemudian ia masukkan ke situs Ditjen SDPPI. Hasilnya cukup mengejutkan, karena sertifikat tersebut sebenarnya diterbitkan untuk ponsel Xiaomi Redmi 1S.

“Jadi, dalam kasus ini, patutlah kita mempertanyakan mengapa sertifikat SDPPI milik Xiaomi Redmi 1S bisa digunakan untuk ZUK Z1,” ujar Herry.

Pihak Kominfo sebagai pihak yang bertanggungjawab menerbitkan sertifikat SDPPI sudah memberikan keterangan soal kasus tersebut. Muhammad Budi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo mengaku sudah mengetahui soal penggunaan nomor sertifikat palsu dalam kardus ponsel Zuk Z1.

Budi memastikan bahwa tidak ada kesalahan di situs SDPPI, dan membenarkan bahwa nomor sertifikat yang tertera di kardus Zuk Z1 adalah nomor sertifikat milik Xiaomi Redmi 1S. “Kami sudah cek, itu adalah tindakan pemalsuan,” imbuhnya.

Lalu sanksi apa yang bisa dikenakan kepada Zuk? Budi mengatakan izin impor dari PT Bintang Cemerlang selaku importir bisa dicabut. “Jika terbukti benar, maka sertifikat impor perdagangan bisa dicabut, karena mendatangkan barang yg tidak comply,” katanya.

Sertifikat Bodong

Meski pihak Kominfo mengklaim akan memberikan sanksi tegas, namun kasus serupa masih terus berulang hingga saat ini, dan sang importir masih melenggang bebas hingga sekarang. Berbagai modus digunakan para importir umum atau distributor independent memasukkan ponsel illegal atau biasa dikenal dengan istilah ponsel black market alias ponsel BM.

Modus yang digunakan pun beragam, mulai dari pemalsuan sertifikat SDPPI, garansi bodong, hingga mencurangi regulasi TKDN dengan cara menurunkan status perangkat 4G menjadi perangkat 3G. Namun dari sekian banyak modus yang digunakan, akal-akalan yang paling sering dipakai adalah pemalsuan sertifikat.

Untuk diketahui, setiap vendor yang ingin memasukkan dan menjual perangkatnya ke Indonesia tidak bisa sembarangan. Ada proses pengujian perangkat yang harus dilalui. Jika lolos dari tahap pengujian, barulah perangkat tersebut dapat sertifikat, untuk kemudian bisa dijajakan ke pelanggan.

Sejatinya, pengujian yang dilakukan ini bukan sekadar untuk mengeluarkan sertifikat dan membayar biaya pengurusannya. Karena yang lebih penting adalah harus memenuhi unsur keamanan yang harus dijaga, sehingga disesuaikan dengan standarisasi UU Telekomunikasi di Indonesia.

Lembaga yang berhak memberikan sertifikasi adalah Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Semua perangkat ponsel yang dijual di Indonesia harus ada stiker label sertifikat SDPPI.

Namun peraturan sertifikasi ini ternyata masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan para importir untuk memasukkan dan menjual ponsel BM ke Indonesia. Modus pemalsuan sertifikat SDPPI ini masih cukup marak dilakukan oleh para importir atau distributor nakal hingga kini. Bahkan terkesan, Ditjen SDPPI hanya sebagai “tukang stempel”, dan sertifikat SDPPI pun hanya sekadar label jualan.

Hal itu dibuktikan dari hasil investigasi tim Telset.id, yang menemukan sejumlah merek ponsel yang dijual para importir atau distributor tidak resmi di Indonesia menggunakan sertifikat palsu. Banyak sekali ponsel dari berbagai merek yang sebenarnya tidak resmi masuk ke Indonesia, tapi bisa dengan mudah kita dapatkan di lapak-lapak toko fisik dan juga online shop. Anehnya, semua ponsel BM itu “bersertifikat”.

Salah satu merek ponsel yang dari dulu terkenal banyak ponsel BM-nya adalah Xiaomi. Menurut hasil pengamatan kami, para distributor nakal ini sangat senang memasukkan ponsel BM merek Xiaomi karena memang peminatnya banyak di Indonesia. Tak heran, ponsel BM merek Xiaomi selalu membanjiri lapak gelap, karena para distributor nakal bisa meraup untung besar.

Apakah cuma Xiaomi? Tentu saja tidak. Karena hampir semua merek ponsel ada “versi BM-nya”. Mulai dari Samsung, iPhone, Huawei, Asus, LG, Sony, dan masih banyak lagi. Bahkan, iPhone menjadi merek kedua terbanyak setelah Xiaomi yang ada di pasar gelap.

Untuk membuktikan aksi tipu-tipu para distributor ini, kami memutuskan untuk melakukan investigasi langsung ke lapangan. Dan akhirnya kami menemukan salah satu ponsel yang terindikasi ponsel BM, yakni Xiaomi 6X dan Xiaomi Mi A2. Keduanya sejatinya adalah satu produk yang sama tapi dipasarkan dengan nama yang berbeda, tergantung wilayah pemasarannya.

Khusus untuk Xiaomi 6X ini menarik, karena sejatinya tidak dipasarkan secara resmi di Indonesia, tapi bisa dengan mudah ditemukan di sentra-sentra ponsel di Jakarta, maupun di toko-toko online. Ponsel Xiaomi 6X yang kami beli, ditawarkan dengan garansi distributor “B-Cell”. Saat memutuskan untuk membelinya, kami tertarik dengan stiker sertifikat SDPPI yang tertera di kardusnya, karena terindikasi bodong alias palsu.

Indikasi sertifikatnya palsu karena kami melihat sertifikat SDPPI yang tertulis di kardusnya diterbitkan tahun 2014. Sementara Xiaomi 6X sendiri baru dirilis tahun 2018. Untuk membuktikannya, kami coba mengecek nomor sertifikat tersebut di website Ditjen SDPPI (https://sertifikasi.postel.go.id), untuk mengetahui apakah sertifikat itu resmi terdaftar atau tidak.

Dan ternyata kecurigaan kami benar, karena di situs Ditjen SDPPI tertulis bahwa sertifikat dengan nomor 35664 yang digunakan Xiaomi 6X itu ternyata atas nama LINKSYS PTE.LTD, bukan Xiaomi. Jenis perangkat yang terdaftar pun berbeda, yakni Wireless N300 Access Point with PoE dengan merk & model Linksys & LAPN300. Sertifikat ini pun sudah kadaluarsa, karena hanya berlaku hingga 23 Juli 2017.

Berdasarkan hasil penelurusan tersebut, maka kami menduga sertifikat yang “dipakai” Xiaomi 6X adalah palsu, karena bukan dikeluarkan untuk perangkat Xiaomi 6X. Dari sisi masa berlakunya pun sudah habis. Jadi dapat disimpulkan, distrubutor Xiaomi 6X ini sudah memalsukan sertifikat SDPPI.

Selain Xiaomi 6X, kami juga menemukan modus yang sama digunakan untuk smartphone Xiaomi Mi A2. Perangkat yang juga baru dirilis tahun 2018 ini kami temukan menggunakan label sertifikat SDPPI yang diterbitkan tahun 2014. Jika mengacu sertifikat yang dikeluarkan Ditjen SDPPI, maka sertifikat tersebut sebenarnya diberikan untuk ponsel Xiaomi Mi 3W.

Di sertifikat SDPPI dengan nomor 35663, yang diajukan oleh PT Global Mobile Technologie, dengan jelas ditulis sertifikat itu untuk perangkat Xiaomi dengan model/type Mi 3W, bukan Xiaomi Mi A2. Sertifikat itu diterbitkan tanggal 23 Juli 2014, dan masa berlaku sertifikat hanya sampai tanggal 23 Juli 2017. Jika melihat tanggalnya, sertifikat ini pun sudah kadaluarsa.

Sebagai informasi, PT Global Mobile Technologie bukan distributor resmi yang ditunjuk Xiaomi di Indonesia. Perusahaan ini hanya berstatus sebagai importir umum, atau distributor independent. Produk ponsel yang mereka jual biasanya menawarkan garansi “distributor B-Cell”.

Untuk memastikannya, tim Telset.id telah menanyakan status sertifikat yang tidak sesuai tersebut kepada pihak Kominfo. Menurut Kepala Seksi Data dan Informasi Perangkat Pos, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian Kominfo, Budhi Setyanto, bahwa setelah dicek, sertifikat yang digunakan itu memang palsu.

Dia menjelaskan bahwa indikasi sertifikat palsu itu dapat dilihat dari type perangkat yang tertulis di sertifikat berbeda, yakni type Mi 3W, bukan Mi A2. Selain itu, waktu berlakunya sudah kadaluarsa. Jadi, ia menduga PT Global Mobile Technologie telah menyalahgunakan sertifikat.

“Kami sudah cek dan dapat dipastikan sertifikatnya palsu karena sudah kadaluwarsa dan type-nya juga berbeda, maka ini penyalahgunaan sertifikat,” kata Budhi Setyanto kepada Telset.id via WhatsApp Messenger, Jumat (12/10/2018).

Budhi menjelaskan, bahwa sertifikat dikeluarkan hanya untuk satu type perangkat. Jadi sertifikat yang dikeluarkan tidak bisa digunakan untuk type lain, meski mereknya sama. Misalnya sertifikat untuk type Xiaomi Mi 3W tidak bisa digunakan untuk type Xiaomi Mi A2.

Sertifikat yang dikeluarkan berlaku selama 3 tahun, dan pihak distributor bisa melakukan resertifikasi kalau masa berlakunya habis. Jadi kalau dikeluarkan 2014, berarti harus di resertifikasi di tahun 2017. Tapi tetap harus dengan type yang sama.

Revisi Peraturan Sertifkasi Perangkat

Budhi Setyanto mengakui memang masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan para distributor nakal memasukkan ponsel BM ke Indonesia dengan menggunakan sertifikat palsu. Celah yang dimaksud adalah pada peraturan lama, yakni Peraturan Menteri Kominfo No.18 Tahun 2014, dimana importir dibolehkan mengajukan sertifikat untuk memasukkan ponsel di Indonesia, khususnya ponsel 3G dan 2G.

Menurut Budhi, Kominfo terus berupaya menekan kasus pemalsuan dan penyalahgunaan sertifikat SDPPI dengan membuat aturan baru lewat Peraturan Menteri Kominfo No. 7 Tahun 2018, tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Bidang Komunikasi dan Informatika.

PM Kominfo No. 7 Tahun 2018 ini merupakan revisi dari PM Kominfo No.18 Tahun 2014. Ada point penting dalam peraturan baru tersebut, yaitu hanya produsen pemilik merek dan distributor resmi yang ditunjuk oleh pemilik merek yang boleh mengajukan sertifikat.

“Jadi di peraturan baru nanti yang boleh memasukkan barang harus pemegang merek dan distributor yang ditunjuk pemegang merek dengan melampirkan MoU untuk bisa mengajukan dan mendapatkan sertifikat SDPPI,” terang Budhi.

Peraturan tersebut diharapkan dapat menambal celah yang sering dimanfaatkan para distributor untuk berbuat curang dengan memalsukan sertifikat. Karena selama ini, meski perangkat yang dijual adalah ilegal atau ponsel BM, tapi jika memiliki sertifikat SDPPI, maka ponsel itu tidak bisa disebut ponsel BM.

“Contohnya kasus ponsel yang dijual importir di toko online atau marketplace rata-rata memang ponsel BM, walaupun memang tidak semua juga bisa dikategorikan ponsel BM,” tandasnya.

Akal Bulus Distributor Langgar TKDN

Para distributor ini punya seribu satu cara untuk mengelabuhi peraturan. Pemalsuan sertifikat menjadi modus paling sering dijumpai. Aturan yang longgar, dan kekurangtegasan pemerintah selaku regulator, membuat para distributor ini bisa dengan nyaman menjual ponsel BM.

Menurut informasi yang tim Telset.id dapatkan dari seorang sumber di Kominfo yang tak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa banyak importir atau distributor yang dengan mudah memasukan ponsel BM, tapi menjualnya dengan sertifikat SDPPI asli.

Para distributor ini mengimpor sebagian produk secara resmi, tapi sebagian lagi masuk secara gelap. Ia mengatakan modus ini susah diketahui karena sertifikat berlaku untuk produk yang sama dari si pemilik sertifikat.

“Jadi misalnya importir atau distributor sudah mendapat sertifikat untuk ponsel type A, lalu mereka import resmi melalui bea cukai sebanyak 1 juta unit. Tapi kemudian mereka masukkan lagi, misalnya 3 juta unit ponsel dengan type yang sama secara ilegal dan menempelkan sertifikat yang sah, maka ponsel itu tidak bisa dibilang ponsel BM,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan, karena seri produknya sama persis, jadi susah membedakan mana yang legal dan yang illegal, karena sudah ada sertifikatnya. Sementara sertifikat yang dikeluarkan Ditjen SDPPI tidak mengikat berapa jumlah perangkat yang akan di import, karena yang menentukan kuota import adalah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

“Jadi selama mereka (distributor) punya sertifikat yang asli, dan menempelkan stiker label SDPPI, maka ponsel yang mereka jual tidak akan dikategorikan ponsel BM,” ungkapnya.

Aksi tipu-tipu para distributor nakal ini juga menggunakan modus menghindari peraturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Jika mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo No. 27 Tahun 2015, yang mengatur soal aturan TKDN, maka seharusnya para importir tidak bisa memasukkan perangkat 4G secara utuh ke Indonesia.

Karena dalam aturan TKDN tersebut mewajibkan kandungan lokal sebesar 30 persen, dan tidak boleh mengimport ponsel 4G secara utuh ke Indonesia. Untuk kasus pelanggaran aturan TKDN ini, modus yang sering digunakan adalah dengan “mengakali” ponsel 4G menjadi ponsel 3G.

Modus seperti ini pernah dilakukan oleh Infinix pada Januari 2018 lalu, yang menjual ponsel Infinix Zero 5 tidak sesuai sertifikat. Izin yang diberikan Kominfo atas nama PT Bejana Nusa Agung selaku distributor Infinix hanya untuk ponsel 3G. Tapi pada praktiknya, ponsel tersebut memiliki kemampuan teknologi 4G, sehingga tidak sesuai persyaratan teknis.

Temuan tim Telset.id pada perangkat Xiaomi 6X juga terindikasi melanggar aturan TKDN. Karena ponsel tersebut sudah menggunakan jaringan 4G, dan yang memasukan atau menjualnya di Indonesia bukan distributor resmi yang ditunjuk Xiaomi, yakni PT Teletama Artha Mandiri (TAM) dan PT Trikomsel Oke.

Terkait masalah ponsel BM ini, kami sudah menanyakan kepada pihak PT Erajaya Swasembada, selaku induk perusahaan dari PT TAM. Menurut Direktur Marketing Komunikasi PT Erajaya Swasembada, Djatmiko Wardoyo, semua seri ponsel Xiaomi dan iPhone yang masuk ke Indonesia, apalagi yang tidak resmi diluncurkan di Indonesia, maka dapat dipastikan barang tersebut adalah berstatus ponsel BM.

“Prinsipnya selama ponsel tersebut masuk (ke Indonesia) tidak melalui distributor resmi TAM, dan tidak di-cover garansi principal, ya berarti bukan barang resmi atau namanya ponsel BM,” tegas Djatmiko, saat dihubungi Telset.id.

Namun kenyataan yang dijumpai, masih banyak importir yang berbuat curang. Beberapa di antara mereka mengimport barang dari luar negeri dengan jaringan 4G, tetapi begitu masuk Indonesia berubah menjadi 3G. Hal itu dilakukan dengan cara memblokir firmware untuk 4G pada perangkat tersebut.

Pada saat pengujian di Kominfo, perangkat tersebut pun dengan mudah lolos, sebab secara teknis, perangkat tersebut memang hanya bekerja di jaringan 3G. Tapi begitu beredar di pasaran, perangkat tersebut bisa “disulap” menjadi ponsel 4G. Biasanya mereka melakukan upgrade, supaya 4G-nya bisa digunakan di Indonesia.

Cegah Ponsel BM dengan Validasi IMEI

Pemerintah seperti tergagap-gapap menerapkan aturan untuk menindak para distributor nakal. Berbagai peraturan telah dikeluarkan, namun semua itu seperti tak mempan. Ada satu jurus terakhir yang akan dicoba pemerintah, yakni dengan membuat aturan baru terkait IMEI.

Menurut Analis Kualitas Layanan dan Harmonisasi Standar, Subdit Kualitas Layanan dan Harmonisasi Standar Perangkat, Direktorat Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Umar Wicaksono, saat ini pemerintah sedang menggodok peraturan baru yang akan mengontrol penyebaran ponsel BM melalui IMEI.

Nantinya, jika peratuiran validasi IMEI ini sudah diterapkan, maka semua ponsel yang IMEI tidak terdaftar, akan diblokir oleh Kominfo. Dengan pemblokiran tersebut, maka semua ponsel tidak bisa digunakan di Indonesia.

“Kita (Kominfo) mau menggunakan cara terakhir untuk mengatasi peredaran ponsel BM dengan cara pengendalian IMEI,” kata Umar Wicaksono kepada Telset.id via WhatsApp Messenger, Rabu (10/10/2018).

Ia mengungkapkan, regulasi validasi IMEI diharapkan bisa rampung akhir tahun ini, tinggal menunggu persetujuan dari menteri terkait. Tetapi, menurut Umar, terbitnya regulasi ini tidak sertamerta pengendalian IMEI diterapkan, karena masih menunggu kesiapan sistem yang dibangun pemerintah dan kesiapan para operator seluler.

“Kalau semua sistem sudah siap, nanti akan ada peraturan terkait pedoman teknis pelaksanaanya atau SOP untuk menjalankan aturan validasi IMEI,” jelas Umar.

Nantinya dalam aturan validasi IMEI ini pemblokiran akan dilakukan para operator secara otomatis melalui EIR (equipment interchange receipt) mereka. Sistem di Kemenperin yang akan menganalisis dan memilah mana IMEI yang harus diblokir. Sistem akan men-generate blacklist, exception list, dan notification list. Nanti operator tinggal men-download daftarnya dari server, dan meng-upload-nya ke EIR masing-masing.

“Jadi sistem validasi IMEI ini mirip seperti filtering konten negatif, Kominfo yang menerbitkan daftar domain-nya, ISP yang memblokir berdasarkan daftar dari Kominfo,” paparnya.

Saat sistem pengendalian IMEI sudah diterapkan, maka semua perangkat existing yang sudah beredar dan digunakan masyarakat yang ditemukenali ilegal berdasarkan analisis sistem, akan masuk dalam exception list.

“Artinya, ponsel tersebut tetap bisa digunakan untuk batas waktu yang akan kita tetapkan nanti, tetapi IMEI ponsel tersebut di pairing dengan nomor SIM Card-nya (di-lock ponsel/ SIM card-nya),” kata Umar.

Pengguna ponsel tersebut tetap bisa mengganti SIM Card-nya, tapi ada prosedur unlock/ unpair yang harus dipenuhi dulu, jadi tidak bisa langsung ganti seenaknya. Sementara untuk ponsel yang IMEI nya tidak bermasalah tidak masuk dalam daftar manapun, jadi tetap bisa digunakan secara normal.

Lalu, bagaimana nasib pengguna yang membeli ponsel dari luar negeri hanya untuk dipakai, bukan untuk dijual. Apakah itu nanti akan dianggap ilegal karena tidak ada sertifikat SDPPI dan IMEI-nya tidak terdaftar?

Umar mengatakan, untuk yang beli dari luar negeri, nanti akan ada prosedur untuk mendaftarkan IMEI nya ke sistem. Lalu bagi yang roaming, selama masih kurang dari 6 bulan roaming di Indonesia tidak akan masuk di pengendalian IMEI. Setelah 6 bulan wajib mendaftar IMEI atau mengganti dengan perangkat yg dijual resmi di Indonesia.

Namun Umar mengakui, pengendalian IMEI pun tidak sertamerta memberatas penyelundupan ponsel BM, tapi setidaknya akan mengurangi secara drastis. “Terkait modus 4G yang di-unlock, mungkin tidak bisa diatasi dengan pengendalian IMEI, tapi akan kita pikirkan juga jalan keluarnya,” kata Umar.

Garansi “PHP”

Jika Anda membeli ponsel, sering mendengar istilah garansi resmi dan garansi distributor. Untuk bisa mengetahui status garansi yang diberikan, paling mudah bisa dilihat dari stiker yang ada diluar dus dan kartu garansi.

Di sana, Anda bisa melihat status distributor yang menjual produk tersebut di pasar Indonesia, apakah masuk kategori distributor resmi atau hanya distributor independen. Biasanya distributor resmi adalah yang ditunjuk menjadi mitra vendor atau produsen pemilik merek, yang memberikan garansi resmi. Sedangkan distributor independen bukan mitra vendor ponsel, yang tidak memberikan garansi resmi.

Untuk distributor resmi, biasanya terdapat stiker atau kartu garansi perusahaan, seperti Teletama Artha Mandiri (TAM) atau Erajaya, Trikomsel dan Setia Utama Distrindo (SUD), Surya Citra Multimedia (SCM), PT. Bintang Cemerlang, dan PT Bangun Persada Tata Makmur (BPTM).

Sementara itu, WII, B-Cell, Bless, T-Cell, The One dan Platinum menjadi garansi distributor independen atau bukan garansi resmi, sehingga segala kerusakan tentu saja tidak ditangani langsung oleh mitra dari produsen ponsel yang disebutkan di atas.

Dengan mengetahui garansi apa yang diberikan saat membeli ponsel, maka Anda akan “memahami” segala risiko yang diterima jika ada masalah kerusakan. Namun harus diingat juga, bahwa untuk garansi resmi pun biasanya tidak semua distributor merangkap sebagai layanan purna jual atau service center.

Bagi para konsumen, masalah garansi dianggap sangat penting dan menjadi perhatian utama saat membeli ponsel baru. Bahkan, pertanyaan soal garansi biasanya menjadi pertanyaan nomor satu bagi calon pembeli kepada si penjual. Tak heran jika masalah garansi sering menjadi kegalauan tersendiri bagi para konsumen.

Ironisnya, kegalauan para pembeli itu justru sering dimanfaatkan oleh para distributor nakal untuk melancarkan aksi tipu-tipunya dengan menawarkan “jaminan” garansi distributor. Apesnya, jika si pembeli kurang jeli atau tidak tahu perbedaan garansi resmi dan garansi distributor, maka mereka akan dengan mudah tergoda, apalagi diiming-imingi harga yang jauh lebih murah.

Perbedaan harga ponsel dari distributor resmi dan importir memang sangat menggoda. Dari hasil penelusuran tim Telset.id, perbedaan harganya bisa berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 400.000. Makanya di dunia jual-beli ponsel, Anda jangan pernah berpikir “bayar dan pasti dapat barang-bagus”.

Karena meskipun produk bergaransi tak resmi status unitnya baru, tapi kompabilitas dengan operator selular di Indonesia tidak terjamin. Ada beberapa kasus yang dijumpai, produk ponsel 4G yang dimasukkan ke Indonesia secara illegal oleh distributor atau importir tidak bisa dipakai di jaringan operator yang ada di Indonesia.

Masalah lain yang sering dijumpai adalah ROM yang digunakan bukan untuk versi global. Biasanya ini banyak terjadi pada perangkat Xiaomi, yang masih menggunakan ROM MIUI dari China, yang akan  berpengaruh pada layanan Google. Karena ROM official untuk China tidak terdapat layanan Google, yang memang tidak beroperasi di China. Meski memang saat ini ada beberapa distributor yang sudah mengubah ROM-nya ke versi global saat masuk ke Indonesia.

Tapi jika konsumen mendapat ponsel BM yang ROM nya belum diubah ke versi global, maka pengguna akhirnya tidak bisa menggunakan aplikasi-aplikasi dari Google, seperti Gmail, Google Play Store, Google Maps, Google Hangout dan lainnya. Memang pengguna bisa saja mendapatkan layanan Google, tapi mereka butuh “tenaga ekstra” untuk mengopreknya agar bisa menikmati layanan Google tersebut. Masalahnya, tidak semua orang bisa atau ngerti ngoprek, bukan.

Kenakalan para distributor ini juga sering kita jumpai soal garansi. Dari banyak kasus yang ditemui, ‘garansi distributor’ tak ubahnya seperti PHP alias pemberi harapan palsu. Pasalnya, para distributor ini tidak mengutamakan kepuasan konsumen, terkesan acuh terhadap komplain, bahkan terkadang menolak garansi dengan alasan yang mengada-ada.

Misalnya pernah ada kasus yang menurut kami lucu, karena ada distributor yang menolak garansi dengan alasan karena pengguna memasang screen protector yang dianggap “aksesoris tidak resmi”.  Padahal apa hubungannya screen protector “tak resmi” dengan kerusakan mesin? Aneh, tapi itu nyata terjadi dialami konsumen.

Itu sebabnya, sebagai konsumen wajib untuk mengetahui produk yang akan dibeli. Mulai dari status garansi resmi atau bukan, siapa distributor dan pengelola garansi resminya. Sebagai konsumen tak usah takut untuk meminta pengecekan secara menyeluruh, dengan meminta si penjual untuk membuka segel dus ponsel dan melihat kartu garansi resmi. Jika tidak sesuai, konsumen berhak membatalkan pembelian.

Bekingan Kuat

Konsumen di Indonesia memang akhirnya harus mandiri “memproteksi” dirinya untuk menghadapi akal bulus para distributor nakal, agar tidak tertipu membeli produk abal-abal. Memang sangat disayangkan, pemerintah selaku regulator seakan tutup mata dengan aksi tipu-tipu para distributor nakal di Indonesia.

Kominfo yang seharusnya menjadi wasit, hanya bersikap pasif. Jika tidak ada laporan pemalsuan atau penipuan yang dilakukan para distributor dari masyarakat, Kominfo merasa semua baik-baik saja, tidak ada kesalahan di lapangan.

Padahal kalau mau lebih aktif, Kominfo harusnya bisa menjaring ponsel-ponsel BM yang masih banyak beredar bebas di Indonesia, baik yang dijual di toko fisik maupun via toko online. Karena meskipun sudah membuat banyak peraturan, tapi kalau fungsi pengawasan dari pemerintah lemah, maka jangan harap bisa memberantas peredaran ponsel BM di Indonesia.

Masalah ini semakin diperparah karena adanya indikasi kongkalikong antara para distributor dengan pejabat-pejabat di pemerintahan selaku regulator. Sehingga yang terjadi, seperti ada pembiaran dari pemerintah, dan tidak ada sanksi tegas bagi distributor nakal yang melanggar aturan. Faktor adanya “orang kuat” yang mengatur distribusi barang illegal ini bahkan membuat peredaran ponsel BM seperti tak tersentuh pihak berwajib.

Hal ini diakui oleh sumber Telset.id di Kominfo yang tak ingin disebutkan namanya, yang mengatakan bahwa memang banyak fungsi pengawasan pemerintah yang tidak jalan, atau sengaja tidak dijalankan karena tekanan berbagai pihak.

Dia mengungkapkan, sulitnya bagi regulator adalah melawan swasta dengan bekingan yang kuat. Karena yang terjadi adalah pejabat takut kehilangan jabatannya, karena sering ada perintah penghentian sesuatu dari pejabat yang di atasnya.

Informasi yang diberikan seorang sumber di Kominfo tadi sejalan dengan pernyataan seorang petinggi di perusahaan importir yang memasukkan ponsel BM kepada tim Telset.id. Dia mengatakan bahwa “permainan” ini sebenarnya bukan hanya dilakukan mereka (importir), tapi juga dilakukan oleh para distrubutor resmi.

Tangan-tangan kuat yang tak kelihatan inilah yang mengatur semua permainan dengan para oknum pejabat pemerintah selaku regulator. Tak heran jika hingga saat ini para distributor nakal masih aman-aman saja, meski secara terang benderang mereka telah melanggar aturan. Mereka ini bahkan menjual ponsel BM seperti tanpa ada rasa takut, karena Kominfo hanya bersikap pasif, menunggu laporan dari masyarakat.

Sementara para distributor resmi yang katanya merasa dirugikan, tapi nampak enggan untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para importir atau distributor tidak resmi. Permainan antara oknum pejabat dan para distributor nakal ini memang ibarat (maaf) kentut, “tercium baunya, tapi tak kelihatan sumbernya”.

Keberadaan para oknum pejabat di pemerintahan dalam sebuah entitas bisnis ponsel BM sudah muncul sejak industri ponsel tumbuh di Indonesia. Ada permintaan, ada penawaran. Untuk melanggengkan modusnya, entitas bisnis “abu-abu” ini butuh bekingan para oknum pejabat. [Tim Telset.id]

Baca juga artikel terkait Sengkarut Ponsel BM: Modus Baru Masalah Lama, dan tulisan In-Depth lainnya

Reporter: Naufal Mamduh, Maulia Salamuddin
Penulis: Bayu Sadewo
Editor: Bayu Sadewo

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI