Akhir dari Perjalanan Singkat Path

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Tangerang nampak asyik menggulir layar smartphone-nya. Mahasiswi program studi Film dan Televisi itu menatap linimasa media sosial yang dipadati dengan lokasi-lokasi yang dikunjungi teman-temannya dan lagu-lagu yang sedang didengarkan.

Remaja berusia 19 tahun itu nampak menyimpan layar tampilan gawainya. Kemudian, perempuan berkerudung bernama Nanda Salsabilaviani itu membuka akun Instagram dan memasukkan gambar tadi ke fitur story.

“Thank you udh nemenin gw disetiap blan puasa~ Bai path”. Tulisan dengan huruf berwarna merah itu ia sematkan ke gambar tadi sebelum ia unggah untuk dilihat oleh teman-temannya.

Nanda merupakan satu dari banyak pengguna Path yang merespons pengumuman penutupan media sosial yang sempat “ngehits” itu dengan mengunggah tangkapan layar linimasa Path dan mengucapkan kata perpisahan lewat story Instagram.

Path telah mengeluarkan pernyataan akan menutup media sosial yang telah berdiri selama delapan tahun itu di situs resminya pada 17 September lalu. Dan tanggal 1 Oktober nanti, aplikasi Path sudah tidak tersedia di iTunes maupun Google Play. Path akan menutup aksesnya di tanggal 18 Oktober dan pada tanggal 15 November layanan pelanggan yang berkaitan dengan Path akan diputus.

Melesat Sejak Awal Peluncuran

Path diluncurkan bulan November 2010 oleh mantan manajer sekaligus ‘investor malaikat’ (angel investor) Facebook, Dave Morin bersama dua rekannya, yakni Shawn Fanning dan Dustin Mierau di San Fransisko, Amerika Serikat.

Fitur-fitur yang disajikan Path pada awalnya tidak jauh berbeda dengan Facebook. Pengguna Path dapat mengunggah gambar, membagikan lokasi, dan menandai teman. Selain itu, Path juga memungkinkan penggunanya untuk membagikan judul lagu yang sedang didengarkan, film yang sedang ditonton, dan buku yang sedang dibaca di linimasanya.

Namun berbeda dengan Facebook, di versi awalnya Path hanya membatasi setiap penggunanya dengan maksimal 50 teman. Di laman blog mereka, Path menjelaskan bahwa ada alasan di balik angka tersebut.

“Kami terinspirasi oleh Profesor Robin Dunbar dari Universitas Oxford yang penelitiannya menggali tentang jumlah hubungan kepercayaan antarmanusia yang dapat dipertahankan seumur hidup. Kita memiliki tendensi untuk mempunyai 5 sahabat, 15 teman baik, 50 teman dekat dan keluarga, dan 150 total teman,” tulis Path.

Baca juga: Ini Dia Topik Paling Ngehits di Path 2015

Keterbatasan ‘teman’ yang dimiliki pengguna di Path menantang standar media sosial pada umumnya yang kebanyakan bertujuan untuk berbagi konten ke banyak orang. Namun, karakteristik Path itu rupanya disenangi oleh warganet.

Terbukti, hanya dalam waktu tiga minggu setelah diluncurkan, Path telah diunduh sebanyak 1,5 juta kali. Popularitas Path mencapai puncaknya ketika Google menawarkan 100 juta dolar AS atau setara Rp 1,5 triliun untuk membeli Path, tiga bulan setelah diluncurkan. Namun, Dave Morin tak bergeming, dan memilih untuk menolaknya.

Seakan menunjukkan bahwa Path baik-baik saja setelah mengabaikan tawaran Google, Path akhirnya mencapai kejayaan dengan meraup 2 juta pengguna dengan interaksi harian sebanyak 15 juta di bulan Februari 2012, atau kurang dari 2 tahun sejak diluncurkan.

Keberhasilan Path bahkan masih terus berlanjut. Selang empat bulan kemudian, Path telah mendapatkan 3 juta pengguna. Dan puncaknya, pada April 2013, pengguna Path dengan cepat menyentuh angka 10 juta pengguna di seluruh dunia.

Path dan Privasi Pengguna yang Dikhianati

Tahun 2012, Path dianggap melakukan kesalahan fatal. Seorang pengguna sekaligus programmer Arun Thampi menulis di laman blognya bahwa ia menemukan seluruh daftar kontak (termasuk nama lengkap, alamat e-mail, dan nomor telepon) dikirim ke Path. Thampi menambahkan bahwa ia tidak merasa Path pernah meminta izinnya untuk mengambil data-data sensitif di daftar kontaknya.

Merespons postingan Thampi, Morin menulis bahwa daftar kontak tersebut digunakan untuk mempermudah pengguna mencari dan terhubung dengan teman-teman dan keluarga. Morin juga menambahkan bahwa Path telah meminta izin dari pengguna Android untuk mengunggah daftar kontak, tapi fitur tersebut memang belum diberlakukan bagi pengguna iPhone.

CEO Path itu kemudian meminta maaf dan mengaku telah menghapus semua daftar kontak yang telah dikumpulkan. Versi baru Path untuk pengguna iPhone pun diluncurkan, kini disertai dengan permintaan izin bagi pengguna sebelum mengunggah daftar kontak ke server.

Baca juga: Tak Ingin Bernasib Seperti Facebook, Path Permak Aplikasi

Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika pun menindak kasus itu. Selain karena telah mengumpulkan informasi pengguna tanpa izin, Path juga dikenai sanksi akibat mengoleksi data anak di bawah umur secara ilegal tanpa izin orang tua mereka. Jejaring sosial yang baru berusia tiga tahun itupun dikenakan denda sebesar 800 ribu dolar AS atau sekitar Rp 12 miliar.

Dalam laman blognya, Path menuliskan bahwa di awal peluncuran, anak-anak berusia di bawah 13 tahun masih bisa membuat akun karena sistem mereka saat itu tidak secara otomatis menolak pembuatan akun bagi pengguna di bawah usia 13 tahun.

Path kemudian menyatakan bahwa mereka telah menghapus akun-akun terkait. FTC juga mewajibkan Path untuk menghapus informasi-informasi yang telah mereka kumpulkan dari pengguna berusia di bawah 13 tahun .

Bakrie dan Dinamika Bisnis Path

Masalah yang menimpa Path rupanya tidak mempengaruhi popularitas Path di Indonesia. Di tahun 2013, Kominfo menyebutkan Path sebagai salah satu media sosial yang paling sering dipakai di Indonesia dengan pengguna sebanyak 700 ribu orang.

Angka tersebut meningkat drastis ketika Dave Morin menyebutkan Indonesia sebagai pengguna terbanyak Path dengan jumlah mencapai 4 juta pengguna, melampaui pengguna Path di negara asalnya, Amerika Serikat. Saat itu, Path telah memiliki 20 juta pengguna aktif di seluruh dunia.

Pertumbuhan Path di Indonesia dilirik oleh Bakrie Global Group (Bakrie Telecom). Di tahun 2014, perusahaan keluarga Bakrie tersebut menginvestasikan dana sebesar 25 juta dolar AS atau sekitar Rp 373 miliar. Walaupun pihak Bakrie mengklaim mereka memiliki saham mayoritas di media sosial tersebut, Path mengklarifikasi bahwa Bakrie tidak memegang saham lebih dari satu persen.

Dave Morin tampak menyadari kesempatan Path untuk tumbuh besar di Indonesia. Dari 23 juta pengguna Path di dunia saat itu, seperlimanya adalah pengguna Indonesia. Path bahkan berencana untuk membuka kantor di Jakarta pada awal tahun 2015.

Peminat Path menurun di AS dan Eropa menurun drastis, tapi Path bertahan di Asia, khususnya di Indonesia. Tanda-tanda kehancuran Path sudah mulai nampak, dengan pengguna harian global hanya 5 juta orang.

Baca juga: Kakao Talk Resmi Akuisisi Path

Melihat gelagat buruk itu, Morin memutuskan untuk menjual jejaring sosialnya pada Daum Kakao, perusahaan asal Korea Selatan yang meluncurkan aplikasi Kakao Talk. Strateginya adalah agar Daum Kakao mendapat lebih banyak pengguna di Indonesia untuk menyaingi rivalnya, yaitu aplikasi chatting asal Jepang, LINE.

Namun rencana itu tidak berjalan mulus. Akuisisi Daum Kakao dan pilihan Path untuk memfokuskan targetnya di Indonesia rupanya tidak membawa keuntungan yang berarti. Di tahun 2017, survei yang dilakukan oleh JakPat menunjukkan bahwa Path masih menjadi media sosial keempat yang paling banyak digunakan di Indonesia dengan persentase sebesar 24 persen.

Meski begitu, masa depan Path di Indonesia dinilai tidak begitu cerah, karena harus bersaing dengan para rival-rivalnya yang semakin besar. Seperti misalnya aplikasi berbasis foto lainnya, Instagram, yang kokoh berada di posisi kedua dengan tingkat penetrasi sebesar 70 persen.

‘The Last Goodbye’

Di tahun kedelapan, Path akhirnya lempar handuk alias menyerah. Path pada akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal kepada penggunanya. Pengumuman yang dirilis di situs resminya membawa para pengguna Path di Indonesia pada nostalgia.

Banyak yang mengunduh kembali aplikasi Path dan memandang linimasa akun mereka, mengenang masa ketika media sosial tersebut masih ramai digunakan. Namun, ada pula yang masih memiliki aplikasi Path di gawai mereka, walaupun kini sudah tidak mereka gunakan lagi.

Nanda merupakan salah satunya. Ia mengaku tidak menggunakan Path sehari-hari, tapi jejaring sosial tersebut telah menemaninya di tiap bulan Ramadan sejak tahun 2012. “Iya, pokoknya tiap bulan puasa aku pakai Path,” sebutnya.

Nanda menjelaskan bahwa ia senang menggunakan fitur di Path yang memungkinkan penggunanya untuk membagikan waktu saat ia tidur dan kapan ia bangun di linimasa.

Alvin Filbert (19) juga masih menyimpan Path di gawainya. Ia bercerita bahwa teman-temannya yang membuatnya bergabung ke media sosial Path di tahun 2013. Mahasiswa program studi Akuntansi ini mengaku bahwa ia terakhir kali membuka Path di tahun 2017.

Baca juga: Delapan Tahun Berjuang, Path Akhirnya “Pamitan”

“(Tidak aktif lagi) karena yang lain juga udah jarang update, kan,” terangnya. “Ngapain lagi ngeliatin (linimasa) yang sama terus,” sambung Alvin menjelaskan alasannya meninggalkan Path.

Baik Nanda maupun Alvin menyayangkan tutupnya media sosial yang pernah mereka gunakan dalam waktu lama. Namun, mereka berpendapat bahwa kegagalan Path diakibatkan karena fitur-fiturnya yang tidak berkembang dan kalah bersaing dengan aplikasi-aplikasi pesaingnya.

Kedua mahasiswa ini sama-sama menyebutkan Instagram sebagai aplikasi saingan yang telah mengalahkan Path. Mereka menilai fitur-fitur Instagram yang terus bertambah sebagai keunggulannya.

“Instagram sekarang lagi hits banget tuh, update-nya lagi bagus-bagus juga kan. Mungkin karena itu (Path) kalah, karena fitur dan perkembangannya kurang,” tutur Alvin.

Nanda turut mengamini pendapat Alvin. “Karena fiturnya (Path) gitu-gitu doang, makanya aku mainnya di bulan Ramadan doang,” ucap Nanda.

“Yang ngebosenin (karena) gitu-gitu doang fiturnya. Kayak enggak ada berkembangnya. Kalau Instagram kan sekarang bisa IGTV, tiba-tiba story-nya bisa di-zoom,” tambah Nanda, menyebut berapa kelebihan aplikasi pesaing Path.

Begitupun Livyani (20), mahasiswi program studi Manajemen ini memiliki pendapat yang hampir-hampir mirip. Dia mengatakan pernah menggunakan Path selama dua tahun, dan menganggap bahwa banyaknya fitur tidak menjadi standar popularitas suatu media sosial.

“Path itu (perlu) inovasi. Walaupun sedikit fitur, paling enggak ada keunikan sendiri. Sayangnya enggak ada inovasi. Snapchat aja walaupun (hampir) sama kayak Instagram, ada keunikan sendiri, kan? Kalau dia (Path) enggak. Mau gimana?” terangnya.

Kurang Inovasi dan Kurang Duit

Kabar tutupnya Path juga mendapat perhatian dari sejumlah pengamat media sosial di Tanah Air. Nukman Luthfie adalah salah satu pengamat yang banyak dimintai pendapatnya soal penyebab Path akhirnya ditinggalkan penggunanya.

Menurut Nukman Luthfie, masalah tutupnya Path ada pada masalah finansial dan karakteristik Path yang berubah. “Awalnya Path membatasi hanya 150 teman. Ketika ditambah menjadi 500, apa bedanya dengan Facebook?” ujar Nukman kepada tim Telset.id.

Pria berusia 53 tahun itu juga menambahkan bahwa di awal peluncurannya, orang-orang beralih ke Path karena mencari kenyamanan dari Facebook. Keterbatasan jumlah teman di Path menjadikan media sosial itu lebih eksklusif dan privat, sehingga pengguna bisa leluasa untuk memposting gambar maupun status di antara teman-teman dekatnya.

“Sudah produk (Path) lari dari fitrah awal, muncul pesaing baru yang lebih menarik, yaitu Instagram,” tuturnya.

Nukman menjelaskan, media sosial yang kini digunakan oleh warganet di Indonesia terbagi tiga kelompok besar, yakni Facebook, Instagram, dan Twitter, dan ketiganya memiliki karakteristik masing-masing.

Facebook yang berbasis pertemanan memungkinkan pengguna untuk memiliki teman sebanyak-banyaknya. Sementara itu, pengguna Instagram dan Twitter yang berbasis informasi dalam bentuk gambar (Instagram) dan teks (Twitter) dapat mengikuti (follow) pengguna lain dengan bebas.

“Orang Indonesia itu cerewet dan mereka mencari media sosial yang bisa menampung kecerewetan mereka,” sebut Nukman, menggambarkan karakteristik pengguna media sosial di Indonesia.

Ia menyebutkan, saat ini Facebook, Instagram, dan Twitter mampu memfasilitasi pengguna-penggunanya dengan baik, termasuk dari Indonesia, dengan interaksi dan percakapan lewat status maupun komentar.

Mulanya, kata Nukman, Path telah memenuhi syarat itu. Keterbatasan teman membuat pengguna Path hanya berjejaring dengan orang-orang terdekatnya saja dan mereka bisa berinteraksi dengan lebih nyaman.

Namun sayangnya, karena ingin menanggapi desakan pengguna di Indonesia, Path kemudian menambah batasannya menjadi 500 teman. “Path mengambil langkah yang salah,” tandas Nukman.

Selain melanggar “fitrah awal”, kejatuhan Path juga dianggap karena kesalahan me-manage keuangan. Michael Carney, lewat tulisannya di Pando.com, bahkan sudah mencemaskan kejatuhan Path di tahun 2014, karena masalah keuangan.

Kala itu, Path masih mendapat kucuran dana dari banyak investor. Carney berpendapat bahwa Path tidak berkembang akibat eksekusi yang buruk, fokus berlebih pada desain dibandingkan kegunaan, dan pengeluaran yang “terlampau mewah”.

Hal tersebut tercermin dari tim awal Path dengan rasio desainer dan pengembang aplikasi sebesar 1 banding 2 ketika rata-rata seharusnya adalah 1 banding 20. Path juga dinilai menggunakan uangnya dengan berlebihan untuk kantornya yang disebut-sebut pernah memakan biaya 2,5 juta dolar AS (setara Rp 37 miliar) per bulan.

Well, kini nasib Path sudah menjadi bubur. Aplikasi yang sempat digadang-gadang akan menjadi pesaing berat Facebook itu akhirnya tersungkur dan tak bisa bangkit lagi. Kesalahan manajemen keuangan dan kurangnya inovasi, membuat Path harus gulung tikar dan tinggal nama.

“Kurang inovasi, kurang pelanggan, kurang duit,” ujar Livyani menyimpulkan alasan kegagalan Path dengan singkat dan padat. [AU/HBS]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini


ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI