Telset.id,Jakarta- Untuk pertama kalinya dalam sebuah penelitian ilmiah, para peneliti berusaha mempelajari otak buaya menggunakan pemindai MRI dan musik klasik.
Mungkin terdengar aneh dan sedikit berbahaya, namun eksperimen ini akan mengungkapkan pengetahuan baru mengenai evolusi otak dan bagaimana cara mamalia serta burung memahami bunyi-bunyi kompleks.
Otak manusia merupakan produk dari jutaan tahun evolusi. Para ilmuwan sangat ingin tahu bagaimana sebagian dari otak yang paling kuno berfungsi dan berevolusi dari waktu ke waktu, tetapi itu jelas tidak mungkin.
Oleh sebab itu, para ilmuwan mencoba meneliti buaya, yang berasal lebih dari 200 juta tahun yang lalu, dan hampir tidak berubah selama ribuan tahun.
Inti dari penelitian baru ini adalah untuk menentukan bagaimana otak buaya dapat merespon suara yang kompleks, dan untuk melihat bagaimana pola otak yang dihasilkan. Kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada mamalia dan burung.
Untuk mengamati bagaimana stimulasi visual dan pendengaran yang kompleks pada otak reptil, tim yang dipimpin oleh Felix Ströckens dari Departemen Biopsikologi di Ruhr University Bochum melakukan pemindaian otak buaya Nil (Crocodylus niloticus) menggunakan MRI fungsional (fMRI) scanner.
Perangkat ini biasanya digunakan untuk melakukan diagnostik dan penelitian terhadap mamalia, misalnya anjing. Namun baru pertama kalinya hewan berdarah dingin dianalisis menggunakan mesin ini.
Hasil dari studi baru ini telah dimuat di di jurnal sains Proceedings of the Royal Society B. Eksperimen ini bukanlah eksperimen yang mudah, sehingga para ilmuwan perlu ekstra berhati-hati dan memberi perlakuan khusus.
Baca juga: Di Tangan Ilmuwan, Ponsel Bisa jadi Mikroskop
“Kesulitan dalam pemindaian buaya, sedikit berbahaya bagi para peneliti eksperimen. Mereka adalah reptil berdarah dingin,” kata Strockens kepada Gizmodo.
Misalnya, ketika ingin mengetahui sinyal otak buaya dan tingkat oksigenasi darah di area otak, hal itu sangat bergantung pada suhu tubuh hewan. Padahal berbeda dengan mamalia, buaya berdarah dingin, dan suhu tubuh buaya akan berubah ketika suhu ruangan berubah.
“Dengan demikian kami harus menemukan suhu yang memungkinkan kami untuk mengambil sinyal yang baik dan nyaman untuk hewan itu,” katanya.
“Kami juga harus menjaga agar suhu stabil ketika melakukan pemindaian karena kumparan yang digunakan untuk pemindaian juga memancarkan panas,” jelasnya.
Sementara itu, untuk memastikan buaya tidak bergerak di mesin MRI, dan mencegah menggigit para ilmuwan, para peneliti membiusnya dan dan memplester moncong buaya.
“Untungnya mereka seperti tabung pemindai dan tidak bergerak sama sekali, sehingga tidak merusak penelitian kami,” kata Ströckens.
Ia dan timnya harus sangat berhati-hati, sebab meski usia buaya baru satu tahun bisa sewaktu-waktu marah dan merusak mesin pemindai atau melukai para penelti.
Dalam percoban ini, para peneliti menggunakan lima buaya muda untuk menguji berbagai rangsangan visual dan pendengaran. Rangsangan visual terdiri dari lampu merah dan hijau yang berkedip. Sedangkan dalam rangsangan pendengaran sederhana melibatkan suara kord acak antara 1.000 Hz dan 3.000 Hz.
Pada uji rangsangan pendengaran ini, para peneliti memainkan musik dari Konser Brandenburg no 4 milik Johann Sebastian Bach. Sebelumnya musik ini juga digunakan dalam penelitian hewan lainnya, dan memberikan hasil yang baik.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan beberapa area otak buaya aktif ketika mendengar bunyi atau suara kompleks dibandingkan dengan bunyi-bunyi dasar. Dan faktanya, ini menyerupai pola ketika mamalia dan burung mendengarkan musik.
“Ini hasil yang menarik, sebab buaya adalah kelompok spesies yang relatif kuno. Bisa jadi prinsip-prinsip proses ini berevolusi jauh lebih awal dari yang kita duga sebelumnya,” katanya.
Kemampuan sensorik pada otak reptil ini dipertahankan dan diturunkan secara turun temurun, dengan asumsi, buaya saat ini memiliki struktur otak yang sama dengan nenek moyang mereka.
Baca juga: “Manusia Ikan” Suku Bajau Mampu Menyelam 70 Meter
Ströckens menambahkan, penelitian ini juga menunjukkan MRI juga dapat digunakan untuk mempelajari hewan berdarah dingin.
“Ini merupakan sebuah terobosan. Kita dapat membuktikan bahwa fMRI dapat digunakan pada reptil yang secara fisiologi berbeda dengan mamalia atau burung. Ini akan memungkinkan studi untuk menyelidiki spesies yang belum diselidiki dengan metode non-invasif ini di masa depan,” kata Ströckens kepada Gizmodo. [BA/HBS]
Sumber: Gizmodo