Telset.id, Jakarta – Robot perang cerdas berbentuk manusia, seperti yang terdapat di film Terminator nampaknya bukan sekedar hayalan lagi. Dalam beberapa tahun kedepan, mungkin angkatan bersenjata memiliki pasukan robot pintar tersebut untuk menggantikan peran manusia.
Inilah yang dilakukan Institut Sains dan Teknologi Korea Lanjutan (KAIST) di Korea Selatan (Korsel). Perguruan tinggi itu membuka laboratorium senjata dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Tentu saja langkah kontroverial ini sontak menuai protes dari sekitar 50 pakar robot. Mereka memboikot KAIST untuk mencegah “Robot Terminator” direalisasikan.
Seperti dilansir Engadget, Jumat (6/4/2018), para pakar robot khawatir laboratorium senjata itu akan memicu perlombaan senjata generasi berikutnya. Ini juga mungkin bisa memicu perang sesungguhnya dengan tetangganya Korea Utara.
Baca Juga: Ribuan Karyawan Minta Google Keluar dari Proyek AI Pentagon
KAIST dilaporkan telah menjalankan empat percobaan di Pusat Penelitian untuk Konvergensi Pertahanan Nasional dan Kecerdasan Buatan (RCCNDAI) sejak Februari lalu.
Keempat percobaan tersebut antara lain sistem perintah dan keputusan berbasis AI, algoritma navigasi untuk drone bawah air, sistem pelatihan pesawat pintar (dengan AI) dan pelacakan objek dan teknologi pengenalan berbasis AI.
Yang perlu menjadi perhtian adalah bahwa KAIST juga bermitra dengan perusahaan senjata Korsel, yakni Hanwha Systems. Perusahaan induk Hanwha rupanya masuk daftar hitam PBB karena membuat klaster amunisi.
“Kami akan memboikot semua kolaborasi yang melibatkan bagian apapun KAIST sampai presiden KAIST memberikan jaminan yang belum kami terima, bahwa pusat laboratorium tidak akan mengembangkan senjata otonom tanpa kontrol manusia.” ujar pernytaan boikot tersebut.
Teknologi seperti ini diperkirakan dapat menyebabkan perang akan lebih besar, namun waktu bertempur lebih cepat. Pembicaraan tentang tindak lanjut senjata otonom mematikan ini dijadwalkan dilakukan awal pekan ini di Jenewa.
Terhadap aksi boikot itu, KAIST mengaku tidak bermaksud membuat robot pembunuh dan merasa sedih karena mendadak mendapat respon negatif.
Mereka beralasan robot buatannya dirancang untuk meningkatkan kesempatan hidup di medan perang dan meminimalkan korban dalam situasi seperti deteksi ranjau darat atau menjinakkan bahan peledak.
“Sebagai institusi akademis, kami menghargai standar hak asasi manusia dan etika hingga tingkat yang sangat tinggi,” kata presiden KAIST Shin Sung-chul
“KAIST telah berusaha untuk melakukan penelitian untuk melayani dunia dengan lebih baik. Saya menegaskan sekali lagi bahwa KAIST tidak akan melakukan kegiatan penelitian untuk melawan martabat manusia termasuk senjata otonom yang tidak memiliki kendali manusia.” imbuh dia.
Profesor yang menggerakkan boikot dari Universitas New South Wales Toby Walsh mengatakan bahwa respon cepat itu menyebabkan konsesi yang signifikan dan kesepakatan untuk tidak mengembangkan senjata otonom yang tidak memiliki akses kontrol manusia.
Sebelumnya, KAIST telah mengembangkan robot bipedal yang mampu mendekati kecepatan cheetah dan robot yang dapat mengemudikan pesawat dalam simulator. [WS/HBS]
Sumber: Engadget