Telset.id – 20 tahun yang lalu, juara catur dunia, Garry Kasparov kalah bermain catur saat tanding dengan sebuah komputer rancangan IBM yang diberi nama Deep Blue. Dan di awal 2017, empat orang jagoan bermain poker, harus bertekuk lutut saat diadu dengan komputer bernama Libratus, setelah bermain marathon selama 20 hari. Padahal 2 tahun sebelumnya team manusia memenangi pertarungan yang sama.
Tidak berapa lama kemudian, AlphaGo, komputer rancangan Google, mengalahkan juara catur Go, Ke Jie dari China, setelah tahun sebelumnya AlphaGo juga mengalahkan Lee Sedol dari Korea. Permaina catur Go, yang sudah ada sejak 2.500 tahun lalu di China ini terlihat sederhana, dengan bidak hanya berwarna putih dan hitam berbentuk seperti permen mentos. Permainan catur Go walau terlihat sederhana, ternyata lebih rumit dibandingkan catur internasional yang kita kenal.
Siapakah Deep Blue, Libratus, dan AlphaGO?
Deep Blue adalah cikal bakal AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan, dimana “mesin” bisa menjalankan pekerjaan yang biasanya membutuhkan kepandaian manusia. AI ini sering kita dengar juga dengan istilah machine learning. Liberatus dan AlphaGO adalah versi machine learning tingkat lanjut, yang sering disebut deep mind atau deep learning.
Mendengar istilah mesin yang bisa belajar, kemungkinan banyak orang, apalagi penggemar film fiksi, menganggap era robot Terminator sudah dimulai, dan dunia mungkin diambil dari umat manusia oleh komputer.
Walau ide tersebut menarik, sekarang ini era machine learning baru seperti anak-anak belajar mengenal dunia. Untuk mesin bisa belajar, sama dengan anak-anak belajar hal dasar, misal seperti apa bentuk dasar kotak, seperti apa bentuk lingkaran, segitiga, dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya, mengerti dasar bentuk sebuah benda, misalnya bola bentuk dasarnya adalah lingkaran, boks sepatu bentuk dasarnya kotak, sampai yang lebih lagi sepotong pizza adalah gabungan bentuk dasar segitiga dan lingkaran.
Sama seperti anak-anak belajar, semakin lama pengenalan anak-anak lebih baik karena semakin banyak benda yang mereka lihat, demikian juga dengan machine learning. Untuk membuatnya segera pintar adalah dengan menyediakan data referensi yang luar biasa banyak.
Demikian juga dengan Libratus dan AlphaGo, untuk komputer tersebut bisa menang melawan manusia, tersedia database besar tentang langkah-langkah permainan poker atau catur yang pernah ada, sehingga komputer memiliki referensi bagaimana harus melakukan langkah berikutnya dan menjalankan strategi dengan database yang tersedia untuk bisa mengalahkan manusia.
Dengan deep learning, sang mesin memiliki analisa jika melakukan kesalahan langkah, kalah, dan memperbaikinya di pertandingan berikutnya. Jadi secara global deep learning ini seperti manusia belajar mengambil keputusan dari data dan pengalaman.
Apa kelemahan dari Deep Blue, Libratus dan AlphaGo? Mereka hanya di desain untuk melakukan satu keahlian, bermain catur, poker dan catur GO. Lebih dari itu mereka tidak bisa melakukannya, untuk bisa memainkan ular tangga atau monopoli, database dan algoritma mereka harus diubah.
Mungkin tanpa sadar kita sebenarnya sudah seringkali berinteraksi dengan Artificial Intelligence. Smartphone kita sekarang diperkuat oleh AI.
“Ok Google”, “Hi Siri”, “Alexa”, “Cortana”, “ Hello Bixby”, dan asisten pintar lainnya semua smart assistant ini adalah AI.
Saat pertama Ok Google diperkenalkan, hanya mengerti perintah-perintah sederhana, seperti pertanyaan jam berapa sekarang, apakah hari ini akan hujan, siapa presiden Amerika, dan sebagainya. Asisten ini terhubung dengan database Knowledge Graph, seperti layaknya kita memiliki eksiklopedi lengkap untuk menjawab banyak pertanyaan umum yang berulang.
Sekarang ini Ok Google mengenal konteks pembicaraan yang lebih kompleks, seperti setelah bertanya misal: “Siapa Presiden Amerika?” kemudian setelah dijawab dilanjutkan dengan, ”Siapa istrinya?”. Pada pertanyaan ke-2 sang asisten langsung mengerti kalau yang dimaksud istri ini adalah istri dari Presiden. Sebelumnya jika pertanyaan dilanjutkan, Ok Google tidak akan mengenali konteks kalimat yang hanya: “Siapa istrinya?”, tetapi harus lebih lengkap, “Siapa istri presiden Amerika sekarang?”.
Bahasa manusia selain banyak, juga rumit dengan padanan kata dan tata bahasa. Apalagi ketika sudah saling timbal balik bercakap-cakap, di dalamnya ada, perbedaan cara mengucapkan, dialek, konteks, padanan kata, istilah, maksud yang tersamar, dan banyak lagi.
Untuk menguasai konteks lebih banyak, AI membutuhkan data yang sangat banyak untuk mengerti maksud perintah. Contohnya perintah sederhana yang kita tahu smartphone kita bisa melakukannya:
“Telepon si A”, maka asisten AI akan langsung mencari data si A di kontak. Ternyata di kontak si A ada beberapa nomor telepon, ada telepon rumah, kantor, dan mobile phone. Telepon mana yang harus asisten dial? sang asisten AI akan bertanya lebih lanjut,
“Nomor telepon yang mana, rumah, kantor, atau mobile?”
Dengan deep learning, asisten akan belajar, ketika kita beberapa kali menghubungi si A, ternyata kita lebih banyak memilih mobile phone, maka saat berikutnya perintah yang sama diberikan, asisten AI akan memilih untuk langsung men-dial nomor mobile phone. Tetapi suatu saat asisten AI akan tetap mengerti jika diberi perintah lebih spesifik:
“Telepon si A di rumah”.
Nah sekarang bagaimana jika si A ini sebenarnya adalah sang istri, maka ketika kita memberikan perintah:
“Telepon istri saya”
Asisten AI mungkin akan bingung dan mencari di database tidak ada nomor kontak dengan nama istri. Untuk itu masih dibutuhkan deep learning yang lebih jauh, agar AI tahu siapa istri si pemberi perintah, disinilah kita mengenal istilah neural network.
Neural Network
Istilah deep learning atau deep mind, bertalian dengan istilah AI lain yang akan sering kita dengar, yaitu Neural Network. Ini adalah proses mesin belajar memimik cara otak kita bekerja. Otak manusia terdiri dari kurang lebih 10 milyar neuron, seperti node atau simpul-simpul yang saling berhubungan. Pada machine learning konfigurasi neural network ini menjadikannya bisa mencari data secara berjenjang.
Misalnya melanjutkan perintah: “Telepon istri saya”
Dengan neural network, sang asisten AI bisa coba mencari data kita ke jenjang yang lain, misal media sosial, dan melihat profil kita, siapa istri kita, dan menyamakan datanya dengan data kontak kita. Dengan neural network ini, asisten pintar belajar lebih dalam untuk mencari data, dan mengetahui kalau si A adalah istri kita.
Deep learning dengan memanfaatkan neural network ini membuat AI akan semakin pintar jika sering digunakan. Makanya kita sering mendengar saran, semakin kita sering menggunakan sang asisten AI, semakin pintar AI ini mengetahui keinginan kita, karena belajar semakin dalam.
Deep learning ini selain membutuhkan data yang besar, saling terhubung, membutuhkan algoritma yang dinamis, sehingga AI bisa belajar dengan cepat, atau dalam pandangan kita semakin pintar. Masih banyak jenjang yang harus AI pelajari, misalnya jika istilah istri adalah istilah umum, bagaimana kalau istilah tersebut diganti dengan istilah yang lain yang lebih personal? Misalnya, “Telepon bunda” atau “Telepon yayang..”
Self Learning
Kelebihan manusia daripada makhluk lain yang sering kita dengar adalah manusia bisa belajar sendiri untuk mengerti dan semakin pandai, dan manusia juga bisa belajar dari sesamanya. Demikian juga cita-cita dari artificial intelligence atau machine learning, untuk membuatnya segera pandai, mereka harus bisa belajar sendiri, tanpa harus selalu mendapat input algoritma dari manusia.
Sepertinya self learning membuat perkembangan AI belakangan ini sangat pesat. Belum lama ini, kita mendengar Facebook memperlihatkan kalau sesama AI yang sedang mereka kembangkan ternyata bisa saling berkomunikasi dengan bahasa baru, yang sulit dimengerti manusia. Hubungan mesin yang cepat ini tidak membutuhkan tata bahasa baku, bahkan secara tata bahasa tidak dimengerti oleh kita, tetapi membuktikan mesin bisa bercakap-cakap dengan bahasa mereka sendiri.
Tentu saja ini membuat gempar banyak orang, kita kembali lagi kepada kemungkinan kisah Skynet pada film fiksi Terminator benar akan terjadi, ketika robot dengan kecerdasan buatan mengambil alih dunia.
Tetapi tidak demikian pandangan dari para ahli AI, mereka melihat kecepatan pertumbuhan kemampuan AI ini akan membantu kehidupan manusia. Kita sudah melihat self driving car, atau mobil yang tidak membutuhkan supir, mereka lebih taat peraturan lalulintas dan tidak mudah ceroboh seperti manusia, yang mungkin mengantuk saat menyetir, atau terdistraksi ketika menyetir sambil menggunakan handphone.
Pada bidang medis, data yang cukup membuat AI bisa memberikan saran lebih tepat tentang sebuah penyakit, bahkan melakukan operasi lebih presisi.
Mungkin tanpa kita sadari, banyak aplikasi yang terilhat remeh dan sering kita gunakan sekarang di smartphone, sebenarnya sudah diperkuat AI. FaceApp yang bisa membuat foto orang berganti mulut dan tertawa, sudah menggunakan AI. Prisma, aplikasi yang bisa mengubah foto kita menjadi lukisan bergaya bak artis terkenal juga menggunakan AI.
Bahkan sebentar lagi teknologi kamera smartphone dari Google, akan menggunakan database dari para ahli fotografi, untuk menghasilkan foto-foto yang berkelas seperti mereka.
Asisten AI akan membuat smartphone bisa dikuasai banyak orang tanpa perlu menghafal banyak menu. Sekarang saja perangkat seperti Google Home hanya berupa speaker dengan perintah suara tanpa membutuhkan papan ketik atau layar sentuh
Saat ini jangan khawatir, era Terminator dan Skynet belum akan terjadi, tetapi para ahli mengatakan, ada potensi AI beberapa tahun ke depan akan mengambil alih beberapa pekerjaan manusia yang sifatnya pekerjaan berulang, seperti misalnya buruh perakit komponen di pabrik, teller di bank, juga supir kendaraan.
Tetapi belum akan sampai mengambil alih pekerjaan yang membutuhkan tingkat kepintaran manusia yang lain, yang membutuhkan kreatifitas, seni, imaginasi, dan kepemimpinan, yang berarti juga belum sampai pada kemampuan manipulasi, untuk mengambil alih dunia dari manusia. [LS/HBS]