Beranda blog Halaman 203

Trump Beri TikTok Tambahan Waktu 75 Hari untuk Bertahan di AS

Presiden Donald Trump memberikan TikTok tambahan waktu 75 hari untuk mencari solusi agar tetap beroperasi di Amerika Serikat. Langkah ini diambil setelah negosiasi jual beli platform media sosial tersebut mengalami kebuntuan. Trump mengumumkan keputusannya melalui unggahan di Truth Social, menyatakan bahwa pemerintahannya telah bekerja keras untuk menyelamatkan TikTok.

Eksekutif Order Baru untuk TikTok

Dalam postingannya, Trump menegaskan bahwa negosiasi jual beli TikTok membutuhkan waktu lebih lama untuk memastikan semua persetujuan terkait terpenuhi. “Administrasi saya telah bekerja sangat keras untuk membuat kesepakatan guna MENYELAMATKAN TIKTOK, dan kami telah membuat kemajuan besar,” tulisnya. “Kesepakatan ini membutuhkan lebih banyak pekerjaan untuk memastikan semua persetujuan yang diperlukan ditandatangani, itulah mengapa saya menandatangani Perintah Eksekutif untuk menjaga TikTok tetap berjalan selama 75 hari tambahan.”

Latar Belakang Larangan TikTok di AS

Larangan terhadap TikTok di AS bermula dari kebijakan yang ditandatangani oleh mantan Presiden Joe Biden pada April 2024. Aturan tersebut memaksa ByteDance, perusahaan induk TikTok yang berbasis di China, untuk menjual aplikasi tersebut kepada pembeli AS atau menghadapi larangan total di toko aplikasi dan platform hosting web Amerika.

Setelah melalui berbagai perdebatan hukum, Mahkamah Agung AS akhirnya menegakkan larangan tersebut dan menyerahkan pelaksanaannya kepada pemerintahan Trump. TikTok sempat tidak dapat diakses, tetapi Trump kemudian mengeluarkan perintah eksekutif yang menunda pelaksanaan larangan selama 75 hari untuk memberi waktu lebih bagi TikTok mencari pembeli.

Tarif Dagang dan Masa Depan TikTok

Unggahan Trump juga menyiratkan bahwa paket tarif baru yang diberlakukan terhadap mitra dagang AS, termasuk China, dapat membantu mempercepat proses kesepakatan. Namun, belum jelas apakah langkah ini akan mengubah motivasi para calon pembeli atau pemerintah China.

Beberapa perusahaan dan kelompok telah menyatakan minat untuk membeli atau berinvestasi di TikTok, termasuk raksasa e-commerce Amazon. Namun, hingga saat ini belum ada kesepakatan yang memuaskan ByteDance maupun pemerintah China. Jika Departemen Kehakiman Trump terus menunda penegakan larangan, situasi ini bisa berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.

Dengan tambahan waktu 75 hari ini, TikTok memiliki kesempatan lebih besar untuk menemukan solusi yang memenuhi semua persyaratan hukum dan politik. Namun, tantangan utama tetap ada pada negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat, terutama mengingat sensitivitas geopolitik antara AS dan China.

Meta Hentikan Program Fact-Checking di AS, Ganti dengan Fitur Baru

Dalam langkah kontroversial yang menandai perubahan kebijakan besar, Meta—perusahaan induk Facebook, Instagram, dan Threads—resmi menghentikan program fact-checking (pemeriksaan fakta) untuk pengguna di Amerika Serikat. Keputusan ini diumumkan oleh Joel Kaplan, kepala kebijakan Meta, melalui postingan di X (sebelumnya Twitter). “Mulai Senin sore, program fact-checking kami di AS secara resmi berakhir,” tulis Kaplan. “Artinya, tidak ada pemeriksaan fakta baru dan tidak ada lagi fact-checker.”

Perubahan Besar di Tengah Kritik

Meta telah lama menjadi sorotan karena kebijakan moderasi kontennya. Awal tahun ini, Mark Zuckerberg menyatakan bahwa program fact-checking dinilai terlalu “mengarah pada sensor” di platform mereka. Sebagai gantinya, perusahaan memperkenalkan sistem baru bernama Community Notes, yang mengandalkan partisipasi publik untuk memverifikasi informasi.

Community Notes sendiri bukanlah konsep baru. Fitur ini pertama kali diperkenalkan oleh X (Twitter) dan memungkinkan pengguna untuk menambahkan konteks atau koreksi pada postingan yang menyesatkan. Meta mulai menguji coba sistem ini awal April 2025, dengan algoritma yang sama seperti yang digunakan di X. Namun, hingga kini, hasil fact-checking berbasis komunitas ini belum terlihat secara publik.

Tanpa Hukuman, Tapi Masih Banyak Tanda Tanya

Kaplan menegaskan bahwa Community Notes akan diterapkan secara bertahap di Facebook, Instagram, dan Threads—tanpa disertai sanksi bagi akun yang menyebarkan misinformasi. “Catatan komunitas pertama akan mulai muncul perlahan di seluruh platform kami, tanpa penalti,” jelasnya.

Namun, keputusan Meta menuai kritik dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap penyebaran disinformasi. Beberapa negara, seperti Brasil dan Uni Eropa, telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Pasalnya, Meta belum memberikan kejelasan apakah fitur ini akan menggantikan fact-checking profesional di wilayah lain di luar AS.

Pergeseran Kebijakan yang Kontroversial

Langkah Meta menghentikan fact-checking di AS tidak terjadi dalam ruang hampa. Kebijakan ini muncul bersamaan dengan sejumlah perubahan lain yang dianggap sebagai “pergeseran ke kanan” oleh banyak pengamat. Beberapa kebijakan kontroversial tersebut termasuk:

  • Pembubaran program DEI (Diversity, Equity, and Inclusion) internal
  • Pelonggaran perlindungan terhadap ujaran kebencian
  • Penunjukan sekutu dekat mantan Presiden Donald Trump ke dewan direksi Meta

Perubahan ini terjadi di tengah pemerintahan baru Donald Trump, yang kembali menjabat sebagai presiden AS awal tahun ini. Apakah keputusan Meta akan berdampak pada ekosistem informasi global? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Bagi pengguna media sosial, kini tantangannya lebih besar: bagaimana memilah informasi yang valid di tengah banjir konten—tanpa adanya fact-checker profesional yang selama ini menjadi penjaga gawang.

Samsung Galaxy S25 Edge Bocor: Tanggal Rilis Baru & Spesifikasi Canggih!

Jika Anda menantikan kehadiran Samsung Galaxy S25 Edge, bersiaplah untuk sedikit penantian lebih lama. Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa peluncuran ponsel flagship ini mengalami penundaan dari rencana awal. Namun, kabar baiknya—spesifikasinya justru semakin menggoda!

Perubahan Jadwal Peluncuran Galaxy S25 Edge

Menurut laporan terbaru dari SamMobile, Samsung Galaxy S25 Edge diprediksi meluncur pada 13 Mei mendatang—hampir sebulan lebih lambat dari rumor sebelumnya yang menyebut tanggal 15 April. Alasan penundaan ini masih menjadi misteri, meski spekulasi mengarah pada persiapan pemasaran atau penyesuaian produksi.

Sumber internal mengungkapkan bahwa Samsung kemungkinan akan menggelar acara peluncuran secara daring, dengan format yang mungkin berbeda di tiap wilayah. Langkah ini terkesan lebih efisien dibandingkan acara global skala besar, sekaligus menyesuaikan dengan tren industri yang semakin mengandalkan platform digital.

Spesifikasi yang Bikin Penasaran

Sebuah gambar bocoran dari tipster CID memberikan gambaran jelas tentang apa yang bisa diharapkan dari Galaxy S25 Edge:

  • Layar: 6.6-inch AMOLED 2K dengan refresh rate 120Hz dan sensor sidik jari di bawah layar
  • Desain: Hanya setebal 5.84mm dengan bobot 162 gram, menggunakan rangka titanium alloy dan sertifikasi IP68
  • Kamera: Sensor utama 200MP dengan OIS, kamera ultra-wide 12MP, dan kamera depan 10MP
  • Performa: Ditenagai Snapdragon 8 Elite for Galaxy, RAM 12GB, dan penyimpanan hingga 512GB
  • Baterai: Kapasitas 3.900mAh dengan dukungan fast charging 25W

Yang menarik, perangkat ini kemungkinan akan menjalankan Android 15 dengan antarmuka One UI 7. Samsung juga dikabarkan akan memberikan dukungan update sistem operasi dan keamanan selama 7 tahun—komitmen yang sama seperti seri flagship S25 lainnya.

Pilihan Warna dan Harga

Galaxy S25 Edge diprediksi tersedia dalam tiga varian warna elegan: Titanium Silver, Titanium Jetblack, dan Titanium Icyblue. Untuk konfigurasi penyimpanan, Samsung kemungkinan menawarkan dua opsi:

  • 12GB RAM + 256GB penyimpanan
  • 12GB RAM + 512GB penyimpanan

Di pasar Eropa, harga diperkirakan mulai dari 1.249 euro. Samsung dilaporkan mempersiapkan produksi hingga 3 juta unit, menunjukkan keyakinan tinggi terhadap permintaan pasar.

Dengan kombinasi desain ultra-tipis, material premium, dan spesifikasi top-tier, Galaxy S25 Edge siap menjadi pesaing kuat di segmen flagship 2024. Pertanyaannya sekarang—apakah Anda bersedia menunggu hingga pertengahan Mei untuk memilikinya?

Stop SMS Spam Pinjol di iPhone dengan 2 Cara Mudah Ini

0

Pernahkah Anda merasa terganggu dengan deretan SMS spam dari layanan pinjaman online (pinjol) yang tiba-tiba membanjiri iPhone? Tak hanya mengganggu, SMS spam ini kerap berasal dari nomor asing yang tidak jelas—bahkan berpotensi merugikan. Kabar baiknya, Anda bisa menghentikannya dengan dua langkah sederhana.

Mengapa SMS Spam Pinjol Harus Diwaspadai?

SMS spam pinjol bukan sekadar gangguan. Layanan pinjaman online ilegal sering kali menggunakan taktik agresif, seperti mengirim pesan beruntun tanpa izin. Lebih buruk lagi, beberapa di antaranya mungkin mengandung tautan phishing atau upaya penipuan. Jika Anda tidak membutuhkan layanan mereka, langkah terbaik adalah memblokir nomor-nomor tersebut secepat mungkin.

2 Cara Efektif Menghentikan SMS Spam Pinjol di iPhone

Apple menyediakan fitur bawaan yang memungkinkan Anda mengontrol pesan yang masuk. Berikut dua metode yang bisa Anda terapkan:

  1. Blokir Nomor Pinjol Manual
    • Buka aplikasi Pesan di iPhone.
    • Cari SMS dari pinjol yang ingin diblokir.
    • Ketuk nomor pengirim di bagian atas obrolan.
    • Pilih opsi Info, lalu gulir ke bawah dan tekan Block Caller.

    Dengan ini, nomor tersebut tidak akan bisa mengirim pesan atau menelepon Anda lagi.

  2. Aktifkan Filter SMS Spam Otomatis
    • Buka Pengaturan > Pesan.
    • Gulir ke bawah dan nyalakan opsi Filter Pesan Tidak Dikenal.

    Fitur ini akan memindahkan SMS dari nomor yang tidak tersimpan di kontak ke folder terpisah, mengurangi gangguan di inbox utama.

Kedua cara di atas tidak memerlukan aplikasi tambahan dan bisa dilakukan dalam hitungan detik. Namun, jika SMS spam masih muncul dari nomor berbeda, laporkan ke layanan operator atau aplikasi pelaporan spam resmi.

Tips Tambahan: Hindari membalas atau mengklik tautan dalam SMS pinjol, bahkan sekadar untuk berhenti berlangganan. Beberapa layanan ilegal justru menggunakan respons Anda sebagai konfirmasi bahwa nomor tersebut aktif.

Pengguna Media Sosial Indonesia 2025: YouTube vs TikTok, Siapa Juaranya?

0

Indonesia terus memantapkan posisinya sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Data terbaru dari Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social dan Meltwater mengungkapkan bahwa pada Januari 2025, terdapat 143 juta identitas pengguna media sosial aktif di Tanah Air. Angka ini setara dengan 50,2% dari total populasi Indonesia yang mencapai 285 juta jiwa. Namun, siapa yang mendominasi pasar media sosial di Indonesia? Mari kita telusuri lebih dalam.

YouTube: Raja Konten Video dengan 143 Juta Pengguna

YouTube masih menjadi platform terbesar di Indonesia dengan 143 juta pengguna di awal 2025. Data ini bersumber dari alat periklanan Google, meskipun perlu dicatat bahwa angka ini belum tentu mencerminkan pengguna aktif bulanan. Yang menarik, potensi jangkauan iklan YouTube meningkat 4 juta (+2,9%) dari awal 2024 hingga awal 2025. Ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik platform ini bagi pemasar dan kreator konten.

TikTok vs Instagram: Pertarungan Sengit Konten Singkat

TikTok mencatatkan 108 juta pengguna berusia 18+ di awal 2025, meskipun mengalami penurunan jangkauan iklan sebesar 19,1 juta (-15,1%) dalam setahun terakhir. Sementara itu, Instagram tetap solid dengan 103 juta pengguna, tumbuh 2,5 juta (+2,5%) dari tahun sebelumnya. Perlu diingat, data TikTok hanya mencakup pengguna dewasa, sehingga angka sebenarnya mungkin lebih tinggi.

Facebook masih bertahan dengan 122 juta pengguna, meskipun Meta (perusahaan induknya) telah mengubah metodologi pelaporan. LinkedIn, platform profesional, justru mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 26,9% menjadi 33 juta pengguna. Ini mencerminkan semakin banyaknya profesional Indonesia yang memanfaatkan media sosial untuk networking dan karier.

Di sisi lain, X (dulu Twitter) dan Snapchat berada di posisi yang lebih niche. X memiliki 25,2 juta pengguna dengan pertumbuhan minimal, sementara Snapchat hanya menjangkau 1,69 juta pengguna di Indonesia.

Laporan ini juga mengingatkan bahwa data periklanan tidak selalu mencerminkan pengguna aktif bulanan. Beberapa platform seperti TikTok dan LinkedIn memiliki batasan pelaporan yang perlu dipertimbangkan dalam analisis tren.

3 Rahasia Bikin Android Anda Kembali Secepat Baru

Pernahkah Anda merasa frustasi dengan performa ponsel Android yang semakin melambat seiring waktu? Aplikasi yang dulu terbuka dalam sekejap kini butuh waktu lebih lama, animasi mulai tersendat, dan multitasking terasa seperti menyiksa. Jangan buru-buru berpikir untuk mengganti ponsel atau melakukan reset pabrik—solusinya lebih sederhana dari yang Anda bayangkan.

Mengapa Android Semakin Lambat?

Seperti komputer, performa ponsel Android bisa menurun karena beberapa faktor:

  • Aplikasi latar belakang yang memakan RAM secara diam-diam
  • Proses sistem tidak penting seperti logging berlebihan
  • Animasi visual yang indah tapi memperlambat responsivitas
  • Fitur penghemat baterai yang membatasi kecepatan prosesor

Aktifkan Mode Pengembang: Pintu Masuk ke Performa Maksimal

Android menyembunyikan berbagai pengaturan performa canggih di balik Mode Pengembang—menu khusus yang sebenarnya ditujukan untuk para developer aplikasi. Berikut cara mengaktifkannya:

  1. Buka Pengaturan (ikon gir)
  2. Scroll ke bawah dan pilih Tentang Telepon (pada beberapa merek disebut Tentang Perangkat atau Informasi Perangkat Lunak)
  3. Cari Nomor Build (pada Samsung mungkin ada di dalam Software Information)
  4. Ketuk Nomor Build 7 kali berturut-turut hingga muncul pesan “Anda sekarang menjadi pengembang!”
  5. Kembali ke menu Pengaturan utama, sekarang akan muncul opsi Opsi Pengembang (biasanya di bawah Sistem atau Pengaturan Tambahan)

3 Trik Rahasia untuk Performa Maksimal

1. Kurangi Ukuran Buffer Logger (Bebaskan RAM Tersembunyi)

Sistem Android terus mencatat aktivitas untuk keperluan debugging. Log ini berguna bagi developer tapi bisa menumpuk dan menghabiskan sumber daya.

Cara mengaturnya:

  1. Buka Opsi Pengembang
  2. Cari Logger Buffer Sizes (mungkin disebut Logging pada beberapa perangkat)
  3. Pilih opsi terkecil (biasanya 64K atau 128K)
  4. Restart ponsel untuk perubahan berlaku maksimal

2. Nonaktifkan Animasi untuk Responsivitas Instan

Android menggunakan tiga jenis animasi yang memperlambat interaksi:

  • Window Animation Scale (saat aplikasi buka/tutup)
  • Transition Animation Scale (saat berpindah layar)
  • Animator Duration Scale (animasi dalam aplikasi)

Cara mematikannya:

  1. Di Opsi Pengembang, cari ketiga pengaturan di atas
  2. Atur masing-masing ke Animation off atau 0.5x jika masih ingin animasi minimal

3. Batasi Proses Latar Belakang (Hentikan Pemborosan RAM)

Terlalu banyak aplikasi yang berjalan di latar belakang bisa membuat ponsel Anda lambat.

Cara membatasinya:

  1. Di Opsi Pengembang, cari Background Process Limit
  2. Pilih At most 2 atau 3 processes

Tips Bonus: Bersihkan Cache untuk Performa Tambahan

Jika ponsel masih terasa lambat:

  1. Buka Pengaturan > Penyimpanan
  2. Pilih Cache Data
  3. Ketuk Hapus Cache

Dengan menerapkan trik-trik ini, ponsel Android Anda akan kembali responsif seperti baru. Jika suatu saat ingin mengembalikan pengaturan, cukup buka Opsi Pengembang dan reset sesuai kebutuhan.

OpenAI vs Anthropic: Perang Gratis AI untuk Mahasiswa

Dua raksasa kecerdasan buatan, OpenAI dan Anthropic, sedang berperang diam-diam di kampus-kampus. Bukan dengan senjata atau strategi militer, melainkan dengan tawaran fitur AI gratis untuk mahasiswa. Pertarungan ini bukan sekadar persaingan bisnis biasa—ini adalah pertarungan untuk menentukan siapa yang akan menjadi “wajah AI” bagi generasi berikutnya.

Perang Pengumuman: Saling Mendahului di Kampus

Seperti dua siswa yang saling pamer nilai ujian, Anthropic dan OpenAI berlomba mengumumkan inisiatif pendidikan mereka pekan ini. Anthropic memulai dengan peluncuran Claude for Education pada Rabu pagi, disusul OpenAI yang merespons dengan tawaran serupa tepat 24 jam kemudian. Pola ini semakin mengukuhkan dinamika persaingan ketat di antara keduanya.

Bagi Anthropic, ini merupakan langkah besar pertama mereka di dunia akademik. Mereka tidak hanya meluncurkan versi khusus chatbot Claude untuk universitas, tetapi juga menjalin kemitraan dengan:

  • Northeastern University
  • London School of Economics (LSE)
  • Champlain College

Kolaborasi dengan Internet2 dan Instructure (pembuat platform Canvas) juga menjadi bagian dari strategi mereka untuk meningkatkan akses terhadap alat-alat AI di lingkungan kampus.

Mode Belajar: Bukan Sekadar Memberi Jawaban

Anthropic membawa pendekatan unik melalui fitur Learning Mode yang dirancang untuk mengasah kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Alih-alih langsung memberikan jawaban, Claude akan memandu dengan pertanyaan-pertanyaan Sokrates seperti:

  • “Bagaimana Anda akan mendekati masalah ini?”
  • “Bukti apa yang mendukung kesimpulan Anda?”

Presiden LSE, Larry Kramer, menyambut positif inisiatif ini: “Sebagai ilmuwan sosial, kami berada di posisi unik untuk memahami dan membentuk bagaimana AI dapat mentransformasi pendidikan secara positif.”

OpenAI Tak Mau Kalah: Dari ChatGPT Edu Hingga Akses Gratis

OpenAI bukanlah pendatang baru di dunia pendidikan. Sejak Mei 2024, mereka telah meluncurkan ChatGPT Edu dan membentuk NextGenAI Consortium dengan komitmen dana $50 juta untuk penelitian AI di 15 perguruan tinggi. Februari lalu, mereka juga bekerja sama dengan California State University untuk menyebarkan ChatGPT Edu di semua kampus CSU.

Tanggapan terbaru OpenAI? Mereka menawarkan ChatGPT Plus—yang biasanya berbayar $20 per bulan—secara gratis untuk semua mahasiswa di AS dan Kanada hingga Mei. Fitur premium seperti unggahan file besar, Deep Research, dan kemampuan voice canggih kini bisa dinikmati tanpa biaya.

“Mahasiswa saat ini menghadapi tekanan besar untuk belajar lebih cepat, menyelesaikan masalah lebih rumit, dan memasuki dunia kerja yang semakin dipengaruhi AI,” kata Leah Belsky, Wakil Presiden Pendidikan OpenAI.

Mengapa Mahasiswa Jadi Rebutan?

Persaingan sengit ini mengungkapkan nilai strategis mahasiswa sebagai calon profesional masa depan. Perusahaan-perusahaan AI tidak hanya ingin membantu proses belajar—mereka ingin membentuk kebiasaan penggunaan AI sejak dini. Siapa pun yang berhasil menjadi alat utama di kampus hari ini, besar kemungkinan akan mendominasi pasar kerja besok.

Pertanyaannya sekarang: Akankah pendekatan pembelajaran aktif Anthropic lebih memikat dibandingkan fitur-fitur canggih OpenAI? Atau justru akses gratis ChatGPT Plus yang akan memenangkan hati mahasiswa? Jawabannya mungkin akan menentukan masa depan industri AI dalam dekade mendatang.

AV1: Kodec Video Masa Depan yang Masih Belum Mendominasi

Ketika Anda menonton video di YouTube atau Netflix, ada banyak hal rumit yang terjadi di balik layar. Data video harus diunduh, di-decode, dan ditampilkan dengan lancar di perangkat Anda. Selama bertahun-tahun, standar kompresi video seperti H.264 (AVC) dan H.265 (HEVC) mendominasi industri streaming. Namun, sejak 2015, raksasa teknologi seperti Netflix, Google, Amazon, dan Meta bersatu untuk mengembangkan AV1—kodec video yang dijanjikan lebih efisien dan bebas royalti. Lalu, mengapa AV1 belum sepenuhnya menggantikan pendahulunya?

AV1: Solusi Canggih dengan Banyak Tantangan

AV1 diklaim 30% lebih efisien dibandingkan HEVC dan VP9, sehingga bisa menampilkan video berkualitas tinggi dengan bandwidth lebih rendah. Selain itu, AV1 bersifat royalty-free, artinya pengembang tidak perlu membayar lisensi untuk menggunakannya. Namun, meski didukung oleh perusahaan besar, adopsi AV1 masih belum merata. Layanan streaming seperti Max, Peacock, dan Paramount Plus masih belum mengimplementasikannya.

Dukungan Perangkat dan Hambatan Teknis

Salah satu tantangan utama AV1 adalah dukungan perangkat keras. Untuk memutar video AV1 dengan lancar, perangkat harus memiliki dekoder khusus. Dalam lima tahun terakhir, beberapa perangkat seperti TV, smartphone, dan Amazon Fire TV Stick 4K Max telah mendukung AV1. Bahkan, Apple memasang dekoder AV1 di iPhone 15 Pro dan seluruh seri iPhone 16. Namun, tidak semua produsen bersemangat mengadopsinya—Roku pernah menuduh Google memaksakan dukungan AV1 yang bisa menaikkan harga perangkat.

“Untuk mendapatkan fitur terbaik AV1, Anda harus menerima kompleksitas encoding dan decoding yang lebih tinggi,” kata Larry Pearlstein, profesor teknik elektro di College of New Jersey. Artinya, perangkat lama atau kelas menengah mungkin kesulitan menjalankan AV1 tanpa membebani baterai atau performa.

Persaingan dengan VVC dan Isu Royalti

AV1 bukan satu-satunya kodec baru di pasar. VVC (H.266) yang dikembangkan MPEG menawarkan efisiensi 50% lebih baik daripada HEVC—lebih tinggi dari AV1. Namun, VVC tidak bebas royalti, membuat AV1 lebih menarik bagi banyak pihak. Meski demikian, klaim bebas royalti AV1 juga tidak sepenuhnya mulus. Beberapa pool paten mulai mengklaim hak atas teknologi yang digunakan AV1, menciptakan ketidakpastian hukum.

Uni Eropa bahkan sempat menyelidiki kebijakan lisensi AV1 pada 2022, khawatir hal itu bisa menghambat inovasi. Meski investigasi ditutup tahun berikutnya, isu ini tetap menjadi bayangan bagi adopsi AV1 yang lebih luas.

Masa Depan AV1 dan Generasi Selanjutnya

Meski ada tantangan, AV1 terus berkembang. Netflix sudah meng-encode 95% kontennya dengan AV1, sementara YouTube baru mencapai 50%. “Ini seperti masalah ayam dan telur,” kata Hari Kalva dari Florida Atlantic University. “Siapa yang harus membangun teknologi sebelum konten AV1 ada, atau apakah sudah cukup pemutar yang mendukung?”

Pierre-Anthony Lemieux dari AOMedia mengungkapkan bahwa anggota mereka sedang mengerjakan penerus AV1. “AV1 akan tetap ada untuk waktu lama, tapi kami juga sedang menyiapkan terobosan baru,” katanya. Jadi, meski belum mendominasi, AV1 tetap menjadi kandidat kuat untuk masa depan streaming.

iOS 19 Bakal Hadir dengan Desain VisionOS? Ini Bocoran dan Daftar iPhone yang Kompatibel

Apple selalu berhasil mencuri perhatian dengan pembaruan sistem operasinya. Tahun ini, rumor kuat menyebutkan bahwa iOS 19 akan menjadi pembaruan paling revolusioner dalam beberapa tahun terakhir. Konferensi pengembang Apple (WWDC) yang digelar Juni mendatang diprediksi menjadi panggung peluncuran sistem baru ini, dengan desain yang terinspirasi dari VisionOS—sistem operasi eksklusif untuk Vision Pro.

Desain Baru yang Mengadopsi Elemen VisionOS

Menurut bocoran terbaru, iOS 19 akan menghadirkan perubahan visual signifikan, jauh berbeda dari pendahulunya, iOS 18. Apple dikabarkan akan mengadopsi gaya antarmuka VisionOS yang dikenal dengan elemen transparan, sudut melengkung, dan tampilan “glassy” yang futuristik. Tujuannya? Memberikan pengalaman pengguna yang lebih imersif dan konsisten di seluruh ekosistem Apple.

Beberapa aplikasi inti seperti Safari, Mail, dan ikon sistem lainnya juga diprediksi akan mengalami transformasi desain, dengan sudut yang lebih bulat dan efek kedalaman yang lebih menonjol. Jika rumor ini akurat, pengguna iPhone akan merasakan nuansa baru yang lebih dekat dengan pengalaman augmented reality (AR) ala Vision Pro.

Daftar iPhone yang Mendapat Pembaruan iOS 19

Sayangnya, tidak semua pengguna iPhone bisa menikmati pembaruan ini. Beberapa model lawas, termasuk iPhone XR, iPhone XS, dan iPhone XS Max (rilis 2018), dikonfirmasi tidak akan kompatibel dengan iOS 19. Perangkat-perangkat ini hanya akan bertahan di iOS 18, mengakhiri dukungan pembaruan mayor setelah enam tahun.

Berikut daftar lengkap iPhone yang diprediksi akan mendapatkan pembaruan iOS 19:

  • iPhone 16, iPhone 16e, iPhone 16 Plus, iPhone 16 Pro, iPhone 16 Pro Max
  • iPhone 15, iPhone 15 Plus, iPhone 15 Pro, iPhone 15 Pro Max
  • iPhone 14, iPhone 14 Plus, iPhone 14 Pro, iPhone 14 Pro Max
  • iPhone 13, iPhone 13 Mini, iPhone 13 Pro, iPhone 13 Pro Max
  • iPhone 12, iPhone 12 Mini, iPhone 12 Pro, iPhone 12 Pro Max
  • iPhone 11, iPhone 11 Pro, iPhone 11 Pro Max
  • iPhone SE (generasi kedua dan selanjutnya)

Mengapa Apple Membawa Elemen VisionOS ke iPhone?

Langkah ini bukan sekadar perubahan kosmetik. Dengan mengintegrasikan elemen desain VisionOS ke iOS, Apple tampaknya sedang mempersiapkan landasan untuk pengalaman AR/VR yang lebih terpadu di masa depan. Apakah ini pertanda bahwa iPhone akan semakin erat bersinergi dengan Vision Pro? Spekulasi ini semakin kuat mengingat Apple dikenal gemar menciptakan ekosistem yang saling terhubung.

Bagi Anda yang masih menggunakan iPhone lawas, mungkin inilah saat yang tepat untuk mempertimbangkan upgrade. Dengan desain baru dan fitur-fitur canggih yang diprediksi hadir di iOS 19, pengalaman menggunakan iPhone akan terasa lebih segar dan futuristik.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda menantikan perubahan desain ini, atau justru lebih menyukai tampilan iOS yang sekarang? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

TikTok Dihukum €500 Juta karena Bocorkan Data Pengguna Eropa ke China

Dunia digital kembali diguncang skandal privasi. TikTok, platform media sosial yang digandrungi miliaran pengguna, dikabarkan akan dikenai denda lebih dari €500 juta (sekitar Rp8,5 triliun) oleh regulator Irlandia. Sanksi ini dijatuhkan setelah investigasi selama empat tahun membuktikan transfer data pribadi pengguna Eropa ke China tanpa izin.

Pelanggaran Berat di Bawah Payung GDPR

Badan Perlindungan Data Irlandia (DPC), yang bertindak sebagai pengawas operasi ByteDance (perusahaan induk TikTok) di Uni Eropa, menemukan bukti kuat pelanggaran aturan General Data Protection Regulation (GDPR). Regulasi ketat ini dirancang untuk melindungi privasi warga Eropa, dengan ancaman denda maksimal 4% dari pendapatan global perusahaan pelanggar.

Menurut laporan eksklusif Bloomberg, investigasi mengungkap bahwa data pengguna—termasuk informasi sensitif—dipindahkan ke China dan diakses oleh tim engineering di sana. Padahal, TikTok selalu bersikeras bahwa data pengguna Eropa disimpan di Amerika Serikat.

Kegelisahan di Balik Tirai Teknologi

“TikTok menyatakan data EU ditransfer ke AS, bukan China. Namun kami menemukan kemungkinan insinyur pemeliharaan dan AI di China mengakses data tersebut,” ujar Helen Dixon, mantan Komisaris Perlindungan Data Irlandia, saat memulai penyelidikan pada Maret 2021.

China memang dikenal dengan sistem pengawasan berbasis teknologi yang masif. Kabar ini tentu memicu kekhawatiran baru tentang keamanan data di platform yang digunakan 150 juta warga Amerika dan puluhan juta pengguna Eropa.

  • Denda €500 juta menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah GDPR
  • Irlandia memimpin investigasi karena kantor pusat ByteDance untuk Eropa berlokasi di Dublin
  • Jumlah akhir denda dan tanggal pengumuman resmi masih bisa berubah

Badai Ganda untuk TikTok

Masalah hukum ini datang di saat kritis bagi TikTok. Platform tersebut sedang menghadapi ancaman larangan di AS jika tidak menemukan pembeli sebelum tenggat waktu 5 April. Beberapa opsi yang beredar termasuk akuisisi oleh raksasa seperti Amazon atau pembentukan entitas independen baru oleh investor AS.

Dengan dua krisis besar berbarengan—denda Eropa dan ancaman ban AS—masa depan TikTok sebagai platform global benar-benar diuji. Bagaimana ByteDance merespons akan menentukan nasib salah satu media sosial paling berpengaruh di dunia.

Nintendo Switch 2 Resmi Dukung DLSS, Grafis 10x Lebih Kuat!

Nintendo akhirnya memberikan secercah cahaya tentang kemampuan grafis Switch 2 melalui kolaborasi dengan NVIDIA. Dalam blog resmi yang dirilis Kamis lalu, NVIDIA mengonfirmasi bahwa konsol generasi terbaru ini akan dibekali teknologi Deep Learning Super Sampling (DLSS)—sebuah lompatan signifikan yang menjanjikan peningkatan performa grafis hingga 10 kali lipat dibanding pendahulunya.

DLSS: Senjata Rahasia Switch 2

Teknologi DLSS memungkinkan game dirender dalam resolusi lebih rendah, lalu menggunakan AI dan Tensor Cores khusus untuk “menyempurnakan” detail gambar secara real-time. Hasilnya? Kualitas visual yang tajam tanpa membebani hardware. NVIDIA juga menyebut dukungan ray tracing berkat RT Cores, yang menghadirkan pencahayaan, bayangan, dan refleksi lebih realistis.

Meski klaim “10x lebih kuat” terdengar bombastis, hands-on dari Engadget menunjukkan hasil menjanjikan. Versi Switch 2 dari Street Fighter 6, Cyberpunk 2077, dan Civilization 7 disebut berjalan “sangat mulus” dalam uji coba singkat. Namun, performa sebenarnya masih perlu diuji lebih lanjut di berbagai judul game.

Spesifikasi Teknis: Docked vs. Handheld

Switch 2 menawarkan fleksibilitas dengan dua mode utama:

  • Docked Mode: Mendukung 4K/60fps atau 1440p/1080p dengan refresh rate 120fps.
  • Handheld Mode: Layar 7.9-inch beresolusi 1080p dengan teknologi G-Sync (refresh rate hingga 120Hz).

Fitur tambahan seperti AI-powered face tracking dan background removal juga disematkan untuk pengalaman streaming atau video chat yang lebih imersif.

Apa Artinya Bagi Gamers?

Dengan DLSS dan ray tracing, Switch 2 berpotensi menyaingi konsol generasi saat ini seperti PlayStation 5 dan Xbox Series X dalam hal visual—tentu dengan portabilitas sebagai nilai tambah. Namun, tantangan utamanya adalah optimisasi game dan daya tahan baterai di mode handheld.

Nintendo dan NVIDIA sepertinya sedang bermain aman dengan belum mengungkap detail chipset atau kapasitas penyimpanan. Tapi satu hal pasti: Switch 2 siap membawa pengalaman gaming ke level baru.

YouTube Shorts Perbarui Editor Video, Siap Saingi TikTok dan Reels

0

YouTube tak mau ketinggalan dalam persaingan platform video pendek. Baru-baru ini, raksasa streaming ini mengumumkan pembaruan besar pada editor video untuk Shorts—fitur andalannya yang dirancang untuk menyaingi TikTok dan Instagram Reels. Dengan tambahan fitur presisi dan sentuhan AI, YouTube berambisi membuat kreasi konten semakin mudah dan menarik.

Editor Baru yang Lebih Canggih dan Intuitif

YouTube memperkenalkan sejumlah peningkatan signifikan pada editor Shorts. Kini, pengguna bisa melakukan penyesuaian lebih presisi terhadap durasi setiap klip dengan fitur zooming dan snapping. Tak hanya itu, opsi dasar seperti mengatur ulang atau menghapus footage tetap tersedia. YouTube juga memastikan bahwa penambahan musik dan teks yang sesuai waktu (timed text) menjadi lebih mudah, sementara fitur preview memungkinkan Anda melihat hasil editan kapan saja selama proses kreatif berlangsung.

Sentuhan AI yang Akan Datang

Yang lebih menarik, YouTube mengisyaratkan kedatangan fitur berbasis AI yang akan meluncur dalam waktu dekat. Salah satunya adalah kemampuan editor untuk secara otomatis menyinkronkan klip dengan lagu pilihan Anda. Selain itu, “pada musim semi ini,” YouTube akan menghadirkan fitur pembuatan stiker dari galeri foto atau melalui generator gambar AI bawaan. Ini jelas menjadi langkah besar untuk memperkaya kreativitas pengguna.

Penyederhanaan Template dan Dukungan untuk Kreator

YouTube juga menyederhanakan penggunaan template di Shorts. Kini, kreator yang membuat template akan secara otomatis mendapatkan kredit ketika karyanya digunakan oleh orang lain. Tak hanya itu, template juga bisa dilengkapi dengan overlay gambar dan efek filter, memberikan lebih banyak variasi bagi pengguna.

Strategi YouTube Menyaingi TikTok dan Reels

Langkah ini jelas merupakan upaya YouTube untuk mengejar ketertinggalan dari TikTok dan Instagram Reels. Selama ini, TikTok dan editor video CapCut-nya dianggap sebagai standar emas dalam pembuatan konten pendek di ponsel. Dengan ketidakpastian masa depan TikTok di AS, YouTube berpeluang besar menjadi alternatif utama—terutama jika terus memperkaya fitur kreatifnya.

Ini bukan pertama kalinya YouTube terinspirasi dari TikTok. Pada 2024, YouTube sudah menambahkan fitur narasi teks-ke-suara robotik di Shorts, yang jelas terinspirasi dari fitur serupa di TikTok. Kini, dengan pembaruan editor yang lebih canggih dan sentuhan AI, YouTube semakin menunjukkan keseriusannya dalam bersaing di pasar video pendek.

Pertanyaannya sekarang: Apakah pembaruan ini cukup untuk membuat YouTube Shorts menjadi pilihan utama para kreator? Jawabannya mungkin tergantung pada seberapa cepat dan inovatif YouTube dalam menghadirkan fitur-fitur baru. Namun, satu hal yang pasti—persaingan di dunia video pendek semakin panas, dan pengguna yang akan menikmati manfaatnya.