Beranda blog Halaman 186

YouTube Music Hadirkan Fitur “Consistent Volume”, Solusi Masalah Perubahan Volume

0

Telset.id – Pernahkah Anda merasa terganggu dengan perubahan volume yang tiba-tiba saat mendengarkan lagu di YouTube Music? Jika iya, kabar baik datang dari Google. YouTube Music dikabarkan sedang menguji fitur baru bernama “Consistent Volume” yang dirancang untuk menormalisasi volume antar lagu. Fitur ini disebut-sebut sebagai solusi yang telah lama dinantikan oleh pengguna setia platform streaming musik tersebut.

Masalah perubahan volume yang tidak konsisten antara satu lagu dengan lagu lainnya memang kerap menjadi keluhan pengguna layanan musik digital. Hal ini terjadi karena perbedaan tingkat produksi audio dari berbagai konten. Untungnya, YouTube Music tampaknya sedang mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini dengan menghadirkan fitur “Consistent Volume”.

Dari YouTube ke YouTube Music

Fitur serupa sebenarnya bukan hal baru di ekosistem YouTube. Pada 2023 lalu, YouTube telah memperkenalkan opsi “Stable Volume” yang berfungsi untuk menstabilkan volume saat menonton video. Kini, fitur tersebut akhirnya merambah ke YouTube Music, meski dengan nama yang sedikit berbeda: “Consistent Volume”.

Menurut laporan dari 9to5Google, fitur ini telah terlihat di versi iOS YouTube Music. Sementara itu, pengguna Reddit dengan username DangerousDementus melaporkan bahwa fitur tersebut juga muncul di versi Android (8.15.51), meskipun masih dalam tahap uji coba atau roll-out bertahap.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Fitur “Consistent Volume” bekerja dengan menyesuaikan level volume secara otomatis di seluruh trek yang diputar. Dengan mengaktifkan opsi ini, pengguna tidak perlu lagi kaget dengan lonjakan volume saat beralih dari lagu yang direkam dengan volume tinggi ke lagu dengan volume lebih rendah, atau sebaliknya.

YouTube Music sebenarnya sudah memiliki equalizer (EQ) yang memungkinkan pengguna menyesuaikan output suara secara manual. Namun, fitur baru ini melengkapi dengan automasi yang lebih cerdas, khususnya dalam menangani perbedaan volume antar lagu.

Kapan Fitur Ini Tersedia untuk Semua Pengguna?

Saat ini, fitur “Consistent Volume” masih dalam tahap pengujian terbatas. Belum ada konfirmasi resmi dari Google mengenai timeline peluncuran lengkapnya. Namun, mengingat pentingnya fitur ini bagi pengalaman pengguna, besar kemungkinan Google akan segera merilisnya secara luas dalam waktu dekat.

Bagi Anda yang penasaran dan ingin mencoba fitur ini, pastikan aplikasi YouTube Music Anda telah diperbarui ke versi terbaru. Jika belum muncul di pengaturan, bersabarlah—fitur ini mungkin sedang dalam perjalanan ke perangkat Anda.

Dengan hadirnya “Consistent Volume”, YouTube Music semakin memperkuat posisinya sebagai pesaing serius di pasar streaming musik. Fitur ini tidak hanya meningkatkan kenyamanan pengguna tetapi juga menunjukkan komitmen Google dalam menyempurnakan pengalaman bermusik digital.

Eco-Voxel: Blok Bangunan Revolusioner untuk Konstruksi Berkelanjutan di Bumi dan Luar Angkasa

0

Telset.id – Bayangkan jika dinding rumah Anda bisa dibongkar pasang seperti Lego, terbuat dari bahan ramah lingkungan, dan bahkan cocok untuk dibawa ke Mars. Inilah visi di balik eco-voxel, blok bangunan modular terbaru yang dikembangkan para peneliti di Georgia Institute of Technology. Dalam dunia yang semakin sadar lingkungan, inovasi ini bisa menjadi jawaban atas krisis konstruksi berkelanjutan.

Konstruksi konvensional menyumbang 10% emisi gas rumah kaca global, dengan semen, baja, dan beton sebagai penyumbang utama. Eco-voxel hadir sebagai solusi: blok berbahan polimer PTT (parsial dari jagung) yang diperkuat serat karbon daur ulang dari limbah industri aerospace. Hasilnya? Material yang 40% lebih rendah jejak karbon dibanding bahan tradisional, namun tetap kuat untuk menahan beban struktural.

Mengapa Eco-Voxel Begitu Istimewa?

Kunci keunggulan eco-voxel terletak pada tiga hal: modularitas, sirkularitas, dan adaptabilitas. Blok ini dirancang untuk:

  • Dirakit dan dibongkar tanpa limbah – Cocok untuk proyek temporer seperti shelter bencana.
  • Dikonfigurasi ulang – Bentuknya bisa diubah sesuai kebutuhan, dari dinding rumah hingga komponen pesawat.
  • Meminimalkan ketergantungan pada sumber daya terbatas – Menggunakan bahan bio-based dan daur ulang.

Tim peneliti, dipimpin Christos Athanasiou, membuktikan melalui simulasi komputer bahwa eco-voxel tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga unggul dalam performa. Dinding yang dibangun dari material ini memiliki jejak karbon 30% lebih rendah daripada beton dan 20% lebih rendah daripada kayu laminasi (CLT).

Dari Bumi ke Mars: Potensi Aplikasi Eco-Voxel

Selain untuk perumahan dan infrastruktur di Bumi, eco-voxel menjanjikan revolusi dalam konstruksi luar angkasa. Bayangkan habitat di Mars atau Bulan yang bisa dibangun dalam hitungan jam menggunakan material modular ini. “Di luar angkasa, kita butuh unit ringan yang bisa dirakit cepat dengan bahan lokal,” jelas Athanasiou.

Dalam skenario darurat, seperti bencana alam, eco-voxel bisa menjadi solusi cepat untuk membangun shelter sementara. Modularitasnya memungkinkan relokasi dan rekonfigurasi tanpa menghasilkan sampah konstruksi.

Studi ini dipublikasikan di jurnal Matter, dengan detail lengkap tentang komposisi material dan analisis siklus hidup. Para peneliti yakin, eco-voxel bukan sekadar terobosan teknis, tapi langkah menuju ekosistem konstruksi yang benar-benar berkelanjutan.

Jadi, apakah eco-voxel akan menggantikan beton suatu hari nanti? Mungkin belum dalam waktu dekat. Namun, inovasi ini membuktikan bahwa masa depan konstruksi bisa lebih hijau, modular, dan bahkan interplanet.

Teknik Baru Atasi Masalah Korelasi Palsu dalam AI

0

Telset.id – Jika Anda berpikir model AI selalu membuat keputusan berdasarkan data yang relevan, pikirkan lagi. Penelitian terbaru mengungkap bahwa sistem kecerdasan buatan sering kali terjebak dalam “korelasi palsu” (spurious correlations), mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sebenarnya tidak penting—bahkan menyesatkan.

Sebuah tim peneliti dari North Carolina State University (NCSU) berhasil mengembangkan teknik inovatif yang mampu mengatasi masalah ini, bahkan ketika praktisi tidak tahu persis apa penyebab korelasi palsu tersebut. Temuan ini dipublikasikan dalam makalah berjudul “Severing Spurious Correlations with Data Pruning” di server preprint arXiv dan akan dipresentasikan di International Conference on Learning Representations (ICLR) di Singapura akhir bulan ini.

Mengapa Korelasi Palsu Berbahaya?

Korelasi palsu terjadi ketika model AI mengaitkan fitur yang tidak relevan dengan hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam pelatihan model untuk mengenali gambar anjing, AI mungkin mengandalkan keberadaan collar (kalung) sebagai penanda utama—padahal fitur ini sebenarnya tidak esensial. Akibatnya, model bisa salah mengidentifikasi kucing yang memakai kalung sebagai anjing.

“Ini adalah konsekuensi dari simplicity bias—kecenderungan AI untuk memilih fitur paling sederhana dalam data pelatihan,” jelas Jung-Eun Kim, asisten profesor ilmu komputer di NCSU dan penulis utama penelitian ini. “Masalahnya, kita sering tidak menyadari fitur apa yang digunakan AI sampai terjadi kesalahan.”

Teknik Pemangkasan Data: Solusi Tanpa Perlu Tahu Penyebabnya

Metode konvensional mengharuskan praktisi mengidentifikasi fitur palsu terlebih dahulu sebelum memperbaiki dataset. Namun, tim NCSU menemukan bahwa korelasi palsu sebenarnya berasal dari sebagian kecil data pelatihan yang “sulit dipahami”—sampel ambigu atau terlalu kompleks.

Dengan menghapus sekitar 1-5% data pelatihan yang paling sulit diproses, model AI secara otomatis berhenti mengandalkan fitur palsu. “Ini seperti membersihkan noise dari sinyal,” kata Kim. “Kami tidak perlu tahu apa penyebabnya—cukup hilangkan bagian yang berpotensi bermasalah.”

Teknik ini telah diuji pada berbagai model dan menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding pendekatan sebelumnya, bahkan ketika fitur palsu sudah diketahui. “Ini membuka pintu untuk pelatihan AI yang lebih andal di bidang seperti diagnosis medis atau kendaraan otonom, di mana korelasi palsu bisa berakibat fatal,” tambah Kim.

Implikasi untuk Masa Depan AI

Penemuan ini tidak hanya meningkatkan akurasi model AI, tetapi juga mengurangi kebutuhan akan dataset yang sangat besar dan mahal. Dengan menghilangkan sampel yang berisiko menyebabkan bias, pelatihan menjadi lebih efisien.

Varun Mulchandani, mahasiswa doktoral yang terlibat dalam penelitian, menegaskan bahwa pendekatan ini bisa diterapkan di berbagai domain. “Mulai dari pengenalan gambar hingga pemrosesan bahasa alami, prinsipnya sama: less is more,” ujarnya.

Bagi industri, temuan ini menjadi angin segar. Perusahaan seperti Google dan OpenAI telah lama berjuang melawan bias dalam model mereka. Dengan teknik pemangkasan data, proses debugging bisa lebih cepat dan hemat biaya.

Namun, Kim mengingatkan bahwa ini bukan solusi ajaib. “Kami masih perlu memastikan bahwa data yang tersisa benar-benar representatif. Tapi setidaknya, sekarang kami punya senjata baru melawan korelasi palsu.”

Jadi, apakah masa depan AI akan lebih cerah berkat teknik ini? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana komunitas penelitian dan industri mengadopsi temuan revolusioner ini.

AI Generasi Baru: Kode Lebih Akurat Tanpa Batas Bahasa

0

Telset.id – Jika Anda berpikir kecerdasan buatan (AI) hanya bisa menulis puisi atau menjawab pertanyaan sederhana, bersiaplah untuk terkejut. Peneliti MIT baru saja mengungkap terobosan yang memungkinkan AI menghasilkan kode komputer lebih akurat dalam bahasa pemrograman apa pun—tanpa mengorbankan makna atau struktur.

Dalam beberapa tahun terakhir, model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT telah membantu programmer menulis kode lebih cepat. Namun, masalahnya tetap sama: kode yang dihasilkan seringkali mengandung kesalahan sintaksis atau logika yang bisa membuat sistem crash. Solusi sebelumnya terlalu lambat atau justru mengubah maksud asli kode tersebut.

Revolusi Probabilistik dalam Pemrograman AI

Tim peneliti dari MIT dan institusi lainnya mengembangkan pendekatan baru yang menggabungkan teknik Sequential Monte Carlo dengan pengetahuan ahli. Metode ini memungkinkan AI mengalokasikan sumber daya secara efisien—fokus pada output yang paling mungkin valid dan membuang yang tidak menjanjikan sejak dini.

“Ini bukan sekadar melatih model untuk patuh pada aturan bahasa. Kami menyuntikkan pengetahuan ahli ke dalam LLM agar tetap setia pada struktur dan makna yang diinginkan pengguna,” jelas João Loula, salah satu penulis utama studi ini.

  • Efisiensi Komputasi: Pendekatan ini mengurangi beban komputasi hingga 50% dibanding metode konvensional.
  • Akurasi Tinggi: Model kecil bahkan mengungguli LLM komersial berukuran dua kali lipat dalam uji Python dan SQL.
  • Aplikasi Luas: Mulai dari bioinformatika hingga perencanaan robotika.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Bayangkan AI seperti seorang penulis yang didampingi editor ahli. Setiap kali model menghasilkan potongan kode, sistem memberikan “bobot” berdasarkan kemungkinan validitas struktural dan akurasi semantik. Hanya output dengan bobot tinggi yang diproses lebih lanjut—seperti menyaring ide buruk sebelum menjadi draf final.

“Kami tidak memaksa model mengikuti aturan secara kaku. Sebaliknya, kami membimbingnya untuk memilih jalur yang paling sesuai dengan tujuan pengguna,” tambah Vikash Mansinghka, peneliti senior dalam proyek ini.

Masa Depan: AI yang Lebih Terkendali

Terobosan ini bukan hanya untuk programmer. Dalam jangka panjang, teknologi ini bisa memungkinkan:

  1. Asisten Bisnis: Eksekutif non-teknis dapat menulis kueri database kompleks hanya dengan perintah bahasa alami.
  2. Penemuan Ilmiah: Memvalidasi struktur molekul atau eksperimen robotika secara otomatis.
  3. Pendidikan: Alat bantu belajar pemrograman yang lebih interaktif dan minim kesalahan.

Tim peneliti kini berencana mengembangkan metode ini untuk teks yang lebih panjang dan menggabungkannya dengan sistem pembelajaran mandiri. “Ini baru langkah awal menuju AI yang benar-benar memahami konteks dunia nyata,” pungkas Mansinghka.

Studi lengkap telah dipublikasikan di arXiv dan bisa diakses secara terbuka. Dengan pendekatan ini, mimpi memiliki asisten pemrograman AI yang sempurna mungkin tak lagi sejauh yang kita kira.

YouTube Music Hadirkan Fitur “Double-Tap to Like” ala TikTok

0

Pernahkah Anda merasa kesal karena harus membuka menu atau menekan tombol tertentu hanya untuk menyukai sebuah lagu di aplikasi musik? YouTube Music kini menghadirkan solusi yang mungkin sudah Anda tunggu-tunggu. Fitur “double-tap to like” yang populer di platform seperti TikTok dan Instagram Reels akhirnya merambah ke layanan streaming musik ini.

YouTube Music, layanan musik besutan Google, terus berupaya mengejar ketertinggalan dari kompetitor seperti Spotify. Dengan menggandeng YouTube Premium, platform ini memang memiliki keunggulan tersendiri. Namun, fitur-fitur kecil yang meningkatkan pengalaman pengguna sering kali menjadi pembeda. Dan kali ini, mereka meminjam kebiasaan dari dunia media sosial.

Fitur baru ini memungkinkan pengguna menyukai lagu hanya dengan mengetuk dua kali pada bagian tengah sampul album. Sebelumnya, gestur ini tidak memiliki fungsi apa pun. Kini, gestur sederhana itu akan secara otomatis menambahkan lagu ke playlist “Liked Songs” Anda. Sebuah langkah kecil yang bisa membuat perbedaan besar dalam kenyamanan bermusik sehari-hari.

Evolusi Gestur yang Mengubah Kebiasaan

Fitur “double-tap to like” bukanlah hal baru di dunia digital. Platform seperti TikTok dan Instagram Reels telah membiasakan pengguna dengan gestur ini untuk menyukai konten. YouTube Shorts pun mengadopsi mekanisme serupa. Namun, penerapannya di aplikasi musik masih terbilang langka.

Menariknya, strings atau kode untuk fitur ini sebenarnya sudah ditemukan sejak YouTube Music versi 8.03.51. Namun, baru pada versi 8.14.53A fitur ini benar-benar diaktifkan untuk pengguna. Ini menunjukkan bahwa Google memang sengaja menguji dan menyempurnakan fitur sebelum merilisnya secara luas.

Kenapa Fitur Ini Penting?

Di era di mana pengguna mengharapkan segala sesuatu bisa dilakukan dengan cepat, fitur seperti ini bukan sekadar gimmick. Bayangkan Anda sedang berkendara atau berolahraga dan ingin menyimpan lagu yang sedang diputar. Dengan gestur sederhana, Anda bisa melakukannya tanpa harus membuka menu atau mencari tombol kecil di layar.

Fitur ini juga menunjukkan bagaimana platform-platform digital mulai saling meminjam elemen yang berhasil dari satu sama lain. Apa yang berhasil di media sosial ternyata juga bisa diterapkan di layanan musik, selama memang sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Persaingan Ketat di Dunia Streaming Musik

Dengan hadirnya fitur ini, YouTube Music semakin menunjukkan keseriusannya bersaing dengan raksasa seperti Spotify. Meski masih kalah dalam hal jumlah pengguna, YouTube Music memiliki keunggulan berupa integrasi dengan YouTube Premium dan koleksi konten yang unik.

Google tampaknya berstrategi dengan menambahkan fitur-fitur kecil namun berdampak besar pada pengalaman pengguna. Sebelumnya, mereka juga telah memperbarui antarmuka dan menambahkan berbagai fitur discovery untuk membantu pengguna menemukan musik baru.

Lalu, bagaimana dengan Anda? Sudah mencoba fitur baru ini? Atau justru lebih memilih cara tradisional untuk menyukai lagu? Apapun pilihannya, yang jelas kompetisi di dunia streaming musik semakin panas, dan pengguna lah yang akhirnya diuntungkan.

Don Pettit, Astronot NASA yang Hidup di Antariksa

0

Telset.id – Bayangkan hidup di antariksa selama tujuh bulan, mengambang bebas di gravitasi nol, sambil menangkap keindahan Bumi melalui lensa kamera. Itulah keseharian Don Pettit, astronot NASA yang baru-baru ini menyelesaikan misinya di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). “Saya merasa hidup ketika berada di orbit. Seperti saya memang seharusnya ada di luar angkasa,” ujarnya dalam sebuah video yang dirilis NASA.

Pettit bukan sekadar astronot biasa. Ia adalah seorang ilmuwan, fotografer, dan seniman yang menjadikan ISS sebagai laboratorium sekaligus kanvas kreatifnya. Selama misi Expedition 72, ia tak hanya menjalankan eksperimen resmi NASA, tetapi juga menciptakan apa yang ia sebut “sains peluang”—proyek ilmiah spontan yang terinspirasi dari pengamatan sehari-hari di antariksa.

Fotografi Sains yang Memukau

Salah satu karya Pettit yang paling viral adalah eksperimen tetesan air bermuatan listrik. Dengan menggunakan jarum rajut dari bahan Teflon, ia mendemonstrasikan gaya elektrostatik di gravitasi nol. Hasilnya? Sebuah gambar abstrak yang mirip dengan perilaku partikel matahari saat bertemu medan magnet Bumi. “Ini sains murni, tapi juga seni,” katanya.

Kemampuannya menangkap momen unik di luar angkasa tidak berhenti di situ. Pettit juga memotret kristal es yang dibekukan dalam freezer khusus ISS (MELFI). Dengan filter polarisasi, ia mengungkap struktur kristal yang terlihat seperti lukisan abstrak. “Ini adalah contoh bagaimana sains dan seni bisa bersatu,” tambahnya.

Melihat Aurora dari “Kursi Terbaik”

Sebagai penghuni ISS, Pettit memiliki keistimewaan menyaksikan aurora dari atas—pemandangan yang jarang dinikmati manusia. Dalam video time-lapse yang ia buat, cahaya hijau dan merah dari aurora borealis terlihat menari-nari di atas atmosfer Bumi. “Ini seperti pertunjukan alam terhebat yang pernah ada,” ucapnya.

Tak hanya aurora, Pettit juga mendokumentasikan proses robot lengan Canadarm2 mengambil sampel eksperimen MISSE-20. Gambar-gambarnya tidak hanya bernilai ilmiah, tetapi juga estetis, membuktikan bahwa sains bisa jadi sangat fotogenik.

Seniman di Antariksa

Bagi Pettit, kamera adalah alat untuk mengeksplorasi sekaligus berbagi keajaiban antariksa. Foto-fotonya, yang sering dibagikan di platform X (sebelumnya Twitter), telah menginspirasi banyak orang di Bumi. “Saya ingin orang-orang merasakan sedikit dari apa yang kami alami di sini,” katanya.

Kini, setelah tujuh bulan di ISS, Pettit akan segera kembali ke Bumi. Namun, warisannya sebagai ilmuwan-fotografer antariksa akan terus hidup melalui gambar-gambar menakjubkan yang ia tinggalkan. Seperti yang ia katakan, “Beberapa orang terlahir untuk menjadi koboi dan menunggang kuda. Saya terlahir untuk menunggang roket dan berada di antariksa.”

Inovasi Tinta Quantum Dot: Efisiensi Tinggi dengan Biaya Lebih Rendah

0

Telset.id – Bayangkan jika panel surya masa depan bisa dicetak seperti tinta, fleksibel, dan memiliki efisiensi yang setara dengan silikon—tapi dengan biaya produksi yang jauh lebih murah. Itulah janji teknologi quantum dot (titik kuantum) yang kini mulai menemukan bentuk nyata berkat terobosan terbaru dari para ilmuwan di Soochow University, China.

Selama bertahun-tahun, sel surya berbasis colloidal quantum dots (CQDs) dianggap sebagai alternatif potensial pengganti panel surya konvensional. Partikel semikonduktor berukuran nano ini menawarkan keunggulan seperti celah pita (bandgap) yang bisa disesuaikan dan kemudahan produksi berbasis larutan. Namun, dua masalah besar menghalangi komersialisasi: efisiensi yang masih rendah dan biaya fabrikasi yang tinggi.

Masalah Klasik Quantum Dot: Mahal dan Rumit

Proses konvensional untuk membuat film CQD konduktif melibatkan dua tahap rumit: sintesis partikel dengan ligan isolator panjang (menggunakan teknik hot injection) dan pertukaran ligan menjadi rantai pendek untuk meningkatkan konduktivitas. “Metode ini tidak hanya mahal, tapi juga rentan menghasilkan film dengan cacat morfologi,” jelas Zeke Liu, salah satu peneliti dalam studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Energy.

Biaya lapisan aktif CQD bisa mencapai $0.84/Wp—jauh di atas ambang batas kelayakan komersial. Belum lagi, modul surya CQD berukuran besar (di atas 10 cm²) sebelumnya hanya mampu mencapai efisiensi 1%, jauh di bawah rekor 12% untuk perangkat skala laboratorium.

Terobosan Teknik Rekayasa Tinta

Tim peneliti multinasional ini mengusulkan pendekatan revolusioner: sintesis langsung (direct synthesis) CQD dalam pelarut polar dengan ligan ionik. “Dengan menghilangkan tahap pertukaran ligan, kami mengurangi kompleksitas dan biaya produksi secara signifikan,” ungkap Guozheng Shi, penulis utama studi.

Kunci keberhasilan terletak pada solution chemistry engineering (SCE)—strategi untuk mengontrol konfigurasi ionik dalam tinta. Hasilnya adalah tinta CQD yang stabil dengan cacat minimal, siap dicetak menjadi film konduktif dalam satu langkah. Biaya produksi pun terjun bebas menjadi di bawah $0.06/Wp.

Rekor Baru untuk Modul Surya CQD

Pendekatan ini membuahkan hasil spektakuler: modul surya CQD berukuran besar pertama di dunia dengan efisiensi bersertifikasi melebihi 10%. Untuk perangkat skala kecil, tim bahkan mencatat rekor efisiensi 13.4%—angka tertinggi yang pernah dicapai teknologi CQD.

Fleksibilitas material ini juga terbukti ketika tim berhasil mencetak film CQD pada substrat PET (polyethylene terephthalate), membuka jalan bagi aplikasi elektronik fleksibel masa depan. “Ini bukan hanya tentang sel surya,” tambah Liu. “Teknologi ini bisa diterapkan untuk sensor inframerah hingga komponen eksplorasi ruang angkasa.”

Ke depan, para peneliti berencana menyempurnakan formulasi tinta untuk mencapai efisiensi lebih tinggi sekaligus mengeksplorasi material quantum dot bebas timbal (low-toxicity). Dengan biaya produksi yang terus menurun dan performa yang kian kompetitif, mimpi tentang panel surya cetak mungkin akan segera menjadi kenyataan.

Sel Surya Fleksibel Tembus Efisiensi 24,6%, Tahan 3.000 Tekukan

0

Telset.id – Bayangkan sel surya yang bisa ditekuk hingga 3.000 kali tanpa kehilangan efisiensi. Bukan lagi khayalan, tim ilmuwan China baru saja memecahkan rekor dunia dengan menciptakan sel surya tandem fleksibel berkinerja tinggi.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Energy, para peneliti dari Chinese Academy of Sciences berhasil mengembangkan sel surya perovskite/CIGS (copper indium gallium selenide) dengan efisiensi stabil mencapai 24,6%. Angka ini menyaingi sel surya kaku terbaik di pasaran.

Revolusi di Balik Layar: Teknologi Antisolvent-Seeding

Kunci keberhasilan terletak pada strategi antisolvent-seeding yang inovatif. Permukaan CIGS yang kasar selama ini menjadi penghalang utama untuk menumbuhkan lapisan perovskite berkualitas tinggi di atasnya. Tim Prof. Ye Jichun memecahkan masalah ini dengan:

  • Memisahkan proses adsorpsi dan pelarutan SAM (self-assembled monolayer)
  • Menggunakan pelarut polaritas tinggi untuk mencegah penggumpalan SAM
  • Menerapkan lapisan benih perovskite pra-campur untuk meningkatkan kristalinitas

“Pendekatan ini seperti membangun fondasi yang sempurna sebelum mendirikan gedung pencakar langit,” jelas salah satu peneliti dalam wawancara eksklusif dengan Telset.id.

Daya Tahan yang Mengagumkan

Sel surya fleksibel ini tidak hanya efisien, tetapi juga tangguh. Setelah 320 jam operasi dan 3.000 siklus tekukan dengan radius 1 cm, perangkat masih mempertahankan lebih dari 90% efisiensi awalnya. Ini merupakan terobosan besar untuk aplikasi:

  • Pembangkit listrik portabel
  • Integrasi dengan pakaian pintar
  • Sistem energi kendaraan listrik
  • Perangkat elektronik wearable

Dr. Zhang Wei, ahli material dari Universitas Beijing yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan: “Pencapaian tim NIMTE ini membuka babak baru dalam teknologi fotovoltaik. Fleksibilitas dan efisiensi tinggi yang dikombinasikan dalam satu paket benar-benar mengubah permainan.”

Masa Depan Energi Terbarukan

Dengan sertifikasi efisiensi 23,8% dari badan independen, sel surya ini siap untuk komersialisasi. Para peneliti memperkirakan teknologi ini akan mencapai pasar dalam 3-5 tahun mendatang, dengan potensi mengurangi biaya energi terbarukan hingga 40%.

Di tengah krisis iklim global, terobosan semacam ini bukan sekadar prestasi akademis. Ini adalah harapan konkret untuk transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pertanyaan sekarang: seberapa cepat industri bisa mengadopsi teknologi revolusioner ini?

Netflix Kuasai Pasar Streaming di Tengah Perang Dagang yang Hantam Raksasa Teknologi

0

Telset.id – Di tengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump, Netflix justru mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan. Laporan kuartal pertama 2025 menunjukkan perusahaan streaming ini tetap menjadi pengecualian di tengah anjloknya nilai pasar perusahaan teknologi lainnya. Bagaimana Netflix bertahan—bahkan berkembang—di tengah badai ekonomi?

Netflix membukukan pendapatan $10,54 miliar pada kuartal pertama 2025, naik 13% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Laba bersihnya melonjak 24% menjadi $2,9 miliar, mengalahkan perkiraan analis. Angka-angka ini memperkuat posisi Netflix sebagai raksasa streaming yang tak tergoyahkan, meski perusahaan memutuskan untuk tidak lagi merilis data jumlah pelanggan per kuartal—kebijakan baru yang mulai berlaku tahun ini.

Strategi Netflix di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Netflix mengandalkan dua pilar utama untuk mempertahankan pertumbuhannya: diversifikasi pendapatan melalui iklan dan fokus pada nilai hiburan rumah. Versi beriklan dari layanannya, yang diluncurkan dengan harga $8 per bulan di AS, menjadi pendorong utama pertumbuhan pelanggan tahun lalu. “Dalam ekonomi yang sulit, nilai hiburan rumah sangat penting bagi konsumen,” ujar Ted Sarandos, salah satu CEO Netflix.

Perusahaan juga terhindar dari dampak langsung perang dagang Trump, yang sejak 2 April 2025 memberlakukan tarif impor besar-besaran. Banyak perusahaan teknologi yang bergantung pada rantai pasokan global terpukul kebijakan ini, tetapi model bisnis Netflix—yang berbasis konten digital—tidak terpengaruh. Saham Netflix pun naik 9% sepanjang tahun ini, sementara kompetitornya terjun bebas.

Ancaman di Balik Kesuksesan

Meski tampak tangguh, Netflix tidak sepenuhnya kebal. Jika perang dagang memicu resesi atau inflasi tinggi, konsumen mungkin akan memangkas pengeluaran untuk layanan streaming. Selain itu, perlambatan belanja iklan bisa menghambat ambisi Netflix untuk memperluas pendapatan non-subscription.

Namun, Greg Peters, Co-CEO Netflix, menyatakan optimisme. “Berdasarkan operasional bisnis saat ini, tidak ada tanda-tanda signifikan yang perlu dikhawatirkan,” katanya dalam konferensi pers. Netflix juga mempertahankan proyeksi pendapatan tahunan sebesar $44 miliar, tumbuh 13% dari 2024.

Andrew Rocco, analis Zacks Investment Research, menyimpulkan, “Netflix tetap menjadi bintang di tengah volatilitas sektor teknologi.” Sahamnya pun merespons positif, naik 3% dalam perdagangan setelah laporan dirilis.

Lantas, apakah Netflix benar-benar kebal dari gejolak ekonomi? Atau ini hanya ketenangan sebelum badai? Yang pasti, untuk saat ini, raksasa streaming ini masih berdiri tegak—sementara yang lain terjungkal.

Chip Radiasi-Tahan Baru dari Carnegie Mellon untuk Teknologi Luar Angkasa

0

Telset.id – Bayangkan komputer di satelit atau pesawat luar angkasa tiba-tiba error karena radiasi kosmik. Masalah ini mungkin segera teratasi berkat terobosan terbaru dari Carnegie Mellon University. Para peneliti di sana berhasil mengembangkan chip komputer yang lebih kecil, efisien, dan tahan radiasi untuk aplikasi luar angkasa.

Lingkungan luar angkasa dikenal sangat keras. Radiasi dari badai matahari atau sinar kosmik galaksi dapat mengubah sifat listrik chip komputer, terutama pada elemen penyimpanan data seperti flip-flop (FF). Jika ini terjadi, data penting bisa hilang atau sistem kritis bisa gagal beroperasi.

Tim Carnegie Mellon, bekerja sama dengan Sandia National Labs, menciptakan desain flip-flop yang tidak hanya tahan radiasi tetapi juga lebih kompak dibandingkan desain konvensional. “Dengan mengurangi ukuran FF, kami juga menurunkan biaya produksi, meningkatkan performa, dan efisiensi energi—faktor krusial untuk teknologi luar angkasa,” jelas Ken Mai, salah satu peneliti utama proyek ini.

Mengapa Desain Ini Lebih Unggul?

Desain tradisional untuk chip tahan radiasi biasanya menggunakan “triple modular redundancy,” yaitu tiga salinan sirkuit yang sama untuk memastikan operasi bebas error. Namun, pendekatan ini memakan banyak ruang di chip. Tim Carnegie Mellon menemukan cara pintar: mereka menggunakan kembali beberapa komponen dari FF dasar untuk mencapai toleransi radiasi yang sama tanpa perlu tiga salinan penuh.

“Ini seperti membangun benteng pertahanan dengan material yang ada, alih-alih mendirikan tiga tembok terpisah,” analogi Mai. Hasilnya? Chip yang lebih kecil namun tetap tangguh menghadapi radiasi tinggi.

Masa Depan Teknologi Luar Angkasa

Tim ini tidak berhenti di sini. Mereka sedang merancang prototipe system-on-a-chip (SoC) lengkap dan berencana mengujinya pada satelit mini (cubesat) pada 2026. Kolaborasi dengan Brandon Lucia dan Zac Manchester dari Spacecraft Design-Build-Fly Lab akan memastikan teknologi ini siap digunakan di luar angkasa.

Dengan biaya produksi yang lebih rendah dan efisiensi yang lebih tinggi, chip ini bisa menjadi game-changer untuk misi luar angkasa masa depan—mulai dari eksplorasi Mars hingga satelit komunikasi canggih. Jadi, kapan kita bisa melihatnya beraksi? Tunggu kabar selanjutnya di Telset.id!

Teknik Baru Percepat Pengukuran Kuantum dengan Akurasi Tinggi

0

Telset.id – Bayangkan Anda harus memilih antara kecepatan dan ketepatan dalam pengukuran kuantum—sebuah dilema yang selama ini menghantui para ilmuwan. Kini, tim peneliti dari University of Bristol telah menemukan solusi revolusioner yang mematahkan batasan tersebut. Dengan memanfaatkan qubit tambahan, mereka berhasil mempercepat pengukuran kuantum tanpa mengorbankan akurasi, sebuah terobosan yang bisa menjadi fondasi teknologi kuantum masa depan.

Quantum computing menjanjikan kemampuan komputasi yang jauh melampaui komputer konvensional. Namun, sistem kuantum sangat rapuh dan rentan terhadap gangguan, yang sering menyebabkan kesalahan dalam pengukuran. Selama ini, meningkatkan akurasi berarti memperlambat proses pengukuran—sebuah trade-off yang tidak ideal untuk aplikasi praktis. Temuan terbaru ini, yang dipublikasikan dalam jurnal Physical Review Letters, menawarkan jalan keluar elegan dengan memanfaatkan “trade-off ruang-waktu”.

Mengapa Pengukuran Kuantum Begitu Rumit?

Chris Corlett, peneliti utama dari University of Bristol, menjelaskan konsep ini dengan analogi sederhana: “Seperti membedakan dua gelas air—yang satu berisi 25 ml dan lainnya 20 ml. Jika Anda hanya melihatnya selama satu detik, Anda mungkin ragu. Tapi dengan waktu lebih lama, kepastian Anda meningkat.” Dalam skema baru ini, menambahkan qubit ekstra ibarat menggandakan volume air dalam gelas menjadi 50 ml dan 40 ml, sehingga perbedaannya lebih jelas bahkan dalam waktu singkat.

Metode ini tidak hanya berlaku untuk satu qubit tambahan. Setiap qubit baru yang ditambahkan semakin memperbesar “gap” informasi yang bisa diukur, memungkinkan pengukuran lebih cepat dengan presisi yang sama atau bahkan lebih tinggi. Tim peneliti, yang melibatkan ahli dari Oxford, Strathclyde, dan Sorbonne Université, menunjukkan bahwa pendekatan ini bisa diimplementasikan di berbagai platform hardware kuantum terkemuka.

Implikasi untuk Masa Depan Komputasi Kuantum

Dengan persaingan global untuk mengembangkan teknologi kuantum terdepan, teknik ini berpotensi menjadi standar baru dalam proses pembacaan kuantum. Kecepatan dan akurasi yang seimbang sangat krusial untuk aplikasi seperti kriptografi kuantum, simulasi material, dan algoritma machine learning berbasis kuantum.

Profesor Noah Linden, salah satu supervisor penelitian, menekankan bahwa temuan ini membuka pintu bagi eksperimen yang sebelumnya dianggap terlalu lambat atau tidak praktis. “Ini seperti memiliki mikroskop yang tiba-tiba bisa melihat detail lebih halus tanpa perlu waktu exposure lebih lama,” katanya.

Penelitian ini juga menyoroti betapa inovasi sederhana—seperti menambahkan qubit—dapat memecahkan masalah kompleks. Seperti kata Dr. Paul Skrzypczyk, “Kadang solusi terbaik datang dari melihat masalah dari sudut yang berbeda.”

Dengan paten yang sedang diajukan dan minat dari industri, teknik ini mungkin segera menjadi bagian dari toolkit standar dalam pengembangan komputer kuantum. Jadi, bersiaplah menyambut era di mana pengukuran kuantum tidak lagi harus memilih antara cepat atau tepat—kini Anda bisa mendapatkan keduanya.

Hampir Setengah Gamer Australia Rugi Akibat Desain Game Manipulatif

0

Telset.id – Bayangkan Anda sedang asyik bermain game favorit, tiba-tiba muncul pop-up yang sulit ditutup atau tawaran paket eksklusif dengan waktu terbatas. Tanpa sadar, Anda mengkliknya—dan uang pun terkuras. Inilah realitas yang dihadapi hampir separuh gamer Australia, menurut penelitian terbaru Monash University dan Consumer Policy Research Centre (CPRC).

Studi bertajuk “Playing the Player: Unfair digital gaming practices and their impact on Australians” mengungkap fakta mengejutkan: 46% pemain mengalami kerugian finansial akibat desain game yang dirancang untuk memanipulasi. “Industri game semakin mengandalkan praktik eksploitatif yang mengutamakan profit ketimbang kesejahteraan pemain,” tegas CEO CPRC Erin Turner.

Desain Gelap yang Menguras Kantong

Survei terhadap 800 gamer Australia ini mengidentifikasi sejumlah taktik manipulatif yang jamak ditemui:

  • Loot boxes dan battle passes – Mekanisme mirip judi yang memicu pembelian impulsif.
  • Mata uang berlapis – Mengaburkan nilai riil transaksi dengan sistem konversi rumit.
  • Teknik “pay to win” – Memaksa pemain beli item premium untuk bersaing.
  • Target pada anak – Iklan tidak sesuai usia atau pembelian satu klik dalam game anak-anak.

Yang lebih mengkhawatirkan, 42% korban tidak melapor meski sudah kehilangan uang. “Banyak pemain merasa tak berdaya atau tidak tahu harus mengadu ke mana,” tambah Turner.

Dampak Lebih Luas dari Monetisasi Eksploitatif

Dr. Robbie Fordyce, dosen senior Monash University, menjelaskan bahwa praktik ini tidak hanya merugikan secara finansial. “Strategi monetisasi berbahaya telah merusak pengalaman bermain dan menciptakan lingkungan game yang toksik,” ujarnya.

Data penelitian menunjukkan:

  • 95% gamer pernah menjumpai “dark patterns” dalam setahun terakhir.
  • 58% menghadapi lebih dari 10 jenis manipulasi berbeda.
  • 83% merasakan dampak negatif, mulai dari stres hingga kecanduan.

Associate Professor Brady Robards dari Monash menambahkan, “Pola desain gelap ini sengaja membingungkan dan memanipulasi—bukan hanya di game, tapi juga di platform e-commerce hingga media sosial.”

Prospek Regulasi di Australia

Laporan ini muncul di saat Australia mempertimbangkan larangan terhadap praktik bisnis tidak adil. Reformasi ini bisa menjadi terobosan penting, terutama jika dibarengi dengan penguatan perlindungan data konsumen.

Bagi Anda para gamer, waspadalah terhadap janji-janji dalam game. Seperti kata pepatah lama: “Jika sesuatu terlihat terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, mungkin memang begitu.”