Masa Depan Suram Media Online di Tengah Hegemoni Google dan AI Generatif

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Penerbit media online semakin menghadapi masa depan yang suram di tengah dominasi Google dalam pencarian internet dan perkembangan teknologi AI generatif. Berdasarkan laporan terbaru dari Bloomberg, penerbit saat ini dihadapkan pada pilihan sulit: mengizinkan Google menggunakan konten mereka untuk menghasilkan jawaban berbasis AI dalam pencarian atau kehilangan visibilitas di mesin pencari terbesar di dunia ini.

Permasalahan utama terletak pada Googlebot, mesin perayap (crawler) Google yang memindai dan mengindeks web untuk menghasilkan hasil pencarian. Jika penerbit memblokir Google dari menggunakan konten mereka untuk jawaban AI, mereka juga kehilangan hak untuk menyertakan halaman web mereka dalam hasil pencarian standar. Ini menciptakan dilema serius bagi penerbit, yang harus memilih antara kehilangan pendapatan jangka pendek dan kehilangan daya saing jangka panjang.

CEO iFixit, Kyle Wiens, menyatakan kepada Bloomberg bahwa sementara perusahaan dapat memblokir perayap dari startup AI seperti ClaudeBot tanpa merusak bisnis mereka, memblokir Googlebot akan berdampak besar pada lalu lintas dan pelanggan mereka. “Jika kami memblokir Googlebot, kami kehilangan lalu lintas dan pelanggan,” kata Wiens.

Ketidakseimbangan Kekuasaan dalam Dunia AI

Selain tantangan ini, kombinasi antara Googlebot dan teknologi AI-nya memberikan Google keunggulan yang luar biasa dibandingkan startup AI yang lebih kecil. Google mendapatkan data pelatihan gratis (melalui konten yang di crawl) dari penerbit yang ingin tetap terlihat di hasil pencarian, sementara perusahaan AI lain harus membayar penerbit untuk akses data tersebut. Hal ini membuat Google tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kesepakatan konten, seperti yang diungkapkan oleh Alex Rosenberg, CEO startup AI Tako Inc. kepada Bloomberg. “Sekarang ada banyak perusahaan teknologi yang membayar untuk konten, mereka membayar untuk akses ke data tersebut karena mereka membutuhkannya untuk bersaing,” kata Rosenberg. “Sedangkan untuk Google, mereka tidak perlu melakukannya.”

Situasi ini membuat penerbit semakin terpojok, dengan sedikit atau bahkan tanpa daya tawar terhadap Google. Dalam laporan AdWeek pada bulan Maret, disebutkan bahwa jawaban pencarian berbasis AI dari Google dapat menyebabkan penurunan 20 hingga 60 persen dalam lalu lintas pencarian organik, sebuah ancaman serius bagi kelangsungan hidup banyak media online.

Langkah Selanjutnya: DOJ di Bawah Tekanan

Dalam kondisi yang semakin kompleks ini, Departemen Kehakiman AS (DOJ) sekarang sedang mempertimbangkan langkah-langkah untuk mengatasi dominasi Google. Menurut laporan dari The New York Times, DOJ sedang mempertimbangkan untuk meminta seorang hakim federal untuk memecah beberapa bagian dari Google, seperti Chrome atau Android, atau memaksa Google untuk berbagi data pencarian dengan pesaingnya. Opsi lain yang dipertimbangkan adalah meminta Google melepaskan kesepakatan mesin pencari defaultnya, termasuk kontrak senilai $18 miliar (sekitar Rp 276 triliun) dengan Apple.

Situasi ini menempatkan masa depan media online dan, secara lebih luas, seluruh web di persimpangan jalan. Apakah DOJ akan berhasil mematahkan dominasi Google dan menciptakan ekosistem internet yang lebih adil? Waktu yang akan menjawabnya, namun jelas bahwa para penerbit, peneliti, dan startup AI terus menaruh harapan pada langkah-langkah yang akan diambil oleh Departemen Kehakiman.

Artikel ini dilansir dari berbagai sumber, termasuk Bloomberg dan The New York Times, yang telah mengulas secara mendalam tentang isu ini. Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, masa depan media online tampaknya akan tetap penuh dengan tantangan di bawah bayang-bayang dominasi Google.

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini


ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI