Ghibli Filter ChatGPT Jadi Alat Politik: Ironi di Balik Kecanggihan AI

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Ketika fitur Ghibli filter ChatGPT pertama kali diluncurkan, banyak yang menganggapnya sebagai hiburan semata. Namun, dalam hitungan hari, dunia menyaksikan bagaimana teknologi ini dijadikan alat propaganda politik oleh Gedung Putih. Apa yang awalnya lucu dan menggemaskan, berubah menjadi kontroversi yang menyoroti hubungan rumit antara AI, seni, dan kekuasaan.

Dari Hiburan ke Propaganda: Transformasi yang Mengkhawatirkan

Fitur Ghibli filter pada ChatGPT sempat menjadi tren di media sosial. Pengguna berlomba-lomba mengubah foto biasa menjadi ilustrasi bergaya Studio Ghibli—lembut, penuh warna, dan penuh kehangatan. Namun, semuanya berubah ketika akun resmi Gedung Putih memposting gambar seorang imigran tak berdokumen yang sedang ditangkap, diubah menjadi ilustrasi bergaya Ghibli. Gambar itu disertai narasi yang mengklaim perempuan tersebut sebagai pengedar fentanyl.

Postingan itu langsung memicu reaksi keras. Banyak yang mempertanyakan etika penggunaan AI untuk mempermalukan individu, apalagi oleh lembaga pemerintah. Yang lebih ironis, gaya Ghibli—yang dikenal penuh empati dan kemanusiaan—justru dipakai untuk menggambarkan situasi yang sebenarnya tragis.

AI dan Politik: Hubungan yang Semakin Erat

Ini bukan pertama kalinya teknologi AI digunakan untuk kepentingan politik. Namun, yang membuat kasus ini mencolok adalah betapa cepatnya pemerintah memanfaatkan tren terbaru untuk menyampaikan pesan mereka. OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan saat ini. CEO-nya, Sam Altman, bahkan pernah muncul dalam konferensi pers bersama Presiden Trump untuk mempromosikan proyek Stargate.

Pertanyaannya: Sejauh mana perusahaan teknologi harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan produk mereka? Delapan tahun lalu, mungkin sebuah perusahaan akan mengeluarkan pernyataan mengecam penggunaan alat mereka untuk propaganda. Tapi hari ini, tekanan politik dan bisnis membuat banyak yang memilih diam.

Seni yang Dicuri, Nilai yang Dikikis

Di balik kontroversi politik, ada masalah lain yang lebih mendasar: etika pelatihan AI menggunakan karya seni tanpa izin. Studio Ghibli, khususnya Hayao Miyazaki, terkenal dengan penolakan keras terhadap AI. Miyazaki bahkan pernah menyebut animasi berbasis AI sebagai “penghinaan terhadap kehidupan.” Namun, ChatGPT dengan leluasa meniru gaya Ghibli—mungkin dengan mempelajari ribuan frame film mereka tanpa izin.

Ini adalah contoh nyata bagaimana industri teknologi sering kali mengabaikan hak kreator asli. Alih-alih berkolaborasi dengan seniman, perusahaan AI lebih memilih mengambil alih karya mereka, mengubahnya menjadi produk, lalu menjualnya kembali kepada publik.

Masa Depan AI: Antara Potensi dan Bahaya

Kasus Ghibli filter ini hanyalah puncak gunung es. Semakin canggih teknologi AI, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya. Pertanyaannya bukan lagi apakah AI bisa melakukan sesuatu, tapi apakah seharusnya.

  • Apakah perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah penyalahgunaan produk mereka?
  • Bagaimana kita bisa melindungi hak kreator di era di mana karya seni bisa dengan mudah dijadikan data pelatihan?
  • Dan yang terpenting, bagaimana memastikan teknologi ini digunakan untuk kebaikan bersama, bukan sekadar alat kekuasaan?

ChatGPT dan AI generatif lainnya memiliki potensi besar untuk membantu manusia. Tapi tanpa regulasi dan kesadaran etis, kita hanya menciptakan monster yang suatu hari bisa berbalik menerkam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI