Bayangkan sebuah pesawat ruang angkasa yang meluncur jauh melampaui orbit Pluto, menjelajahi wilayah antarbintang yang gelap dan dingin. Bagaimana mungkin pesawat tersebut tetap berfungsi selama puluhan tahun tanpa sumber energi konvensional seperti panel surya? Jawabannya terletak pada teknologi yang mungkin terdengar menakutkan bagi sebagian orang: tenaga nuklir. Namun, bukan sembarang nuklir—ini adalah Radioisotope Thermoelectric Generator (RTG), sebuah “baterai nuklir” yang telah menjadi tulang punggung misi luar angkasa terjauh manusia.
Mengapa Panel Surya Tak Cukup untuk Misi Luar Angkasa?
Di Bumi, sinar matahari terasa begitu intens sehingga panel surya menjadi solusi ideal untuk menghasilkan listrik. Namun, di luar angkasa, ceritanya berbeda. Semakin jauh dari Matahari, intensitas cahayanya semakin melemah. Misalnya, di Mars, sinar matahari hanya sekitar 43% dari yang diterima Bumi. Sementara itu, di Pluto, intensitasnya hanya 0,06%. Dengan kondisi seperti ini, panel surya menjadi tidak efektif untuk menghasilkan energi yang cukup.
Inilah mengapa misi luar angkasa yang menjelajahi wilayah terluar tata surya membutuhkan sumber energi yang lebih andal. Dan di sinilah RTG berperan. Teknologi ini, yang dikembangkan sejak 1960-an, memanfaatkan prinsip fisika yang ditemukan dua abad lalu: efek Seebeck. RTG tidak bergantung pada reaksi kimia seperti baterai biasa, melainkan pada peluruhan radioaktif elemen seperti plutonium-238 untuk menghasilkan panas dan listrik.
Bagaimana RTG Bekerja?
RTG pada dasarnya adalah “baterai nuklir” yang mengubah panas menjadi listrik. Plutonium-238, elemen radioaktif yang digunakan dalam RTG, mengalami peluruhan alami dan menghasilkan panas. Panas ini kemudian diubah menjadi listrik melalui efek Seebeck, di mana perbedaan suhu antara material penghantar menghasilkan arus listrik.
Proses ini sangat sederhana namun efektif. Plutonium-238 ditempatkan dalam wadah yang dilapisi bahan isolasi termal. Di sekitarnya, terdapat termokopel—perangkat yang mengubah panas menjadi listrik. Satu sisi termokopel terkena panas dari plutonium, sementara sisi lainnya menghadap ke ruang hampa yang dingin. Perbedaan suhu inilah yang menghasilkan listrik.
Keunggulan RTG terletak pada konsistensinya. Peluruhan radioaktif plutonium-238 terjadi secara konstan, menghasilkan panas dan listrik selama puluhan tahun tanpa perlu perawatan. Bahkan setelah 90 tahun, hanya setengah dari plutonium yang akan meluruh, membuat RTG menjadi solusi energi yang sangat tahan lama.
RTG dalam Aksi: Misi Luar Angkasa Legendaris
RTG telah menjadi bagian integral dari beberapa misi luar angkasa paling ikonik. Salah satunya adalah misi Voyager, yang diluncurkan pada 1977. Kedua pesawat ruang angkasa Voyager 1 dan Voyager 2 dilengkapi dengan tiga RTG masing-masing, menghasilkan total 470 watt daya saat peluncuran. Hampir 50 tahun kemudian, kedua pesawat ini masih aktif dan terus mengirim data ke Bumi, meskipun telah berada di wilayah antarbintang yang jauhnya mencapai miliaran kilometer.
Selain Voyager, RTG juga digunakan dalam misi Mars seperti Curiosity dan Perseverance. Di planet merah ini, suhu ekstrem dan debu yang menutupi panel surya membuat RTG menjadi pilihan yang lebih andal. Bahkan, New Horizons, pesawat ruang angkasa yang mengunjungi Pluto pada 2015, juga mengandalkan RTG untuk menjelajahi wilayah terluar tata surya.
Keberhasilan misi-misi ini membuktikan bahwa RTG bukan sekadar teknologi eksperimental, melainkan solusi yang telah teruji dan dapat diandalkan untuk eksplorasi luar angkasa.
Masa Depan RTG dan Tantangannya
Meskipun RTG telah membuktikan keandalannya, teknologi ini bukan tanpa tantangan. Salah satunya adalah ketersediaan plutonium-238, bahan bakar utama RTG. Produksi plutonium-238 membutuhkan proses yang rumit dan mahal, dan saat ini pasokannya terbatas. NASA dan Departemen Energi AS telah bekerja sama untuk meningkatkan produksi plutonium-238, tetapi ini tetap menjadi kendala utama.
Selain itu, RTG memiliki keterbatasan dalam hal output daya. Meskipun dapat menghasilkan listrik selama puluhan tahun, daya yang dihasilkan relatif kecil—hanya beberapa ratus watt. Ini cukup untuk menjalankan instrumen sains dan sistem komunikasi pesawat ruang angkasa, tetapi tidak cukup untuk aplikasi yang membutuhkan daya besar.
Namun, dengan perkembangan teknologi, para ilmuwan terus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi RTG dan mengembangkan alternatif energi yang lebih efektif untuk misi luar angkasa di masa depan.
RTG mungkin tidak sepopuler panel surya atau baterai lithium-ion, tetapi perannya dalam eksplorasi luar angkasa tidak bisa diabaikan. Tanpa teknologi ini, misi-misi ikonik seperti Voyager, Curiosity, dan New Horizons mungkin tidak akan pernah terwujud. RTG adalah bukti nyata bagaimana prinsip fisika dasar dan inovasi teknik dapat membawa manusia menjelajahi batas-batas alam semesta yang sebelumnya tak terjangkau.