Pernahkah Anda merasa media sosial kini lebih mirip mesin pencari ketimbang tempat berinteraksi dengan teman? Mark Zuckerberg ternyata sepakat dengan anggapan itu. Dalam kesaksian kontroversial di persidangan antimonopoli AS pekan lalu, CEO Meta itu justru membongkar perubahan fundamental bisnis media sosial—dengan TikTok sebagai aktor utamanya.
Rabu (16/4/2025) menjadi hari penting bagi sejarah persaingan digital. Di hadapan hakim FTC, Zuckerberg secara gamblang mengakui bahwa TikTok bukan sekadar kompetitor, melainkan “ancaman eksistensial” yang memaksa Meta berubah total. Pengakuan ini muncul di tengah upaya pemerintah AS membuktikan dominasi monopoli Meta di industri sosial media.
Fakta menariknya: Zuckerberg justru menggunakan keberhasilan TikTok sebagai senjata pembelaan. Bagaimana platform video pendek asal Tiongkok itu mengubah peta persaingan—dan mengapa keputusan strategis Meta justru bisa berbalik menghantam mereka sendiri?
TikTok: Disrupsi yang Memaksa Meta Berinovasi
“Kami mengamati pertumbuhan melambat secara drastis seiring popularitas TikTok,” ujar Zuckerberg seperti dikutip Bloomberg. Pernyataan ini mengkonfirmasi apa yang selama ini menjadi rahasia umum: algoritme TikTok berhasil merebut perhatian generasi muda yang sebelumnya menjadi basis loyal Facebook dan Instagram.
Data menunjukkan titik kritis terjadi pada 2018 saat ByteDance (perusahaan induk TikTok) mengakuisisi Musical.ly dan menggabungkannya dengan TikTok. Dalam waktu singkat, platform itu melesat menjadi fenomena global dengan 1 miliar pengguna aktif bulanan pada 2021—pencapaian yang butuh 8 tahun bagi Facebook.
Meta merespons dengan strategi dua ujung:
- Meluncurkan Reels sebagai jawaban langsung terhadap format video pendek TikTok
- Menghentikan pelaporan jumlah pengguna Facebook per kuartal, beralih ke metrik “keluarga aplikasi” yang mencakup Instagram dan WhatsApp
Taktik kedua ini, menurut analis, merupakan upaya menyamarkan fakta bahwa pertumbuhan inti bisnis Meta mulai stagnan.
Efek Jaringan vs. Konten Viral: Pertaruhan Baru Industri Sosial Media
Zuckerberg mengungkapkan perubahan paradigma yang lebih dalam: “Aplikasi kini berfungsi sebagai mesin penelusuran. Orang-orang membawa konten ke platform perpesanan.” Pernyataan ini mengkonfirmasi pergeseran dari model jejaring sosial tradisional (berbasis koneksi personal) menuju model discovery platform (berbasis konten viral).
Perubahan ini menjelaskan mengapa:
- Reels kini menyumbang 30% waktu penggunaan di Instagram
- Algoritme Instagram terus mengurangi ekspos konten dari akun yang di-follow, mengutamakan konten rekomendasi
- WhatsApp mulai mengintegrasikan fitur mirip Stories dan Channel broadcast
Meta seolah terjebak dalam dilema: mempertahankan model bisnis lama yang mulai usang atau mengadopsi sepenuhnya logika TikTok yang berisiko mengikis diferensiasi produk mereka.
Antimonopoli atau Perlindungan Pasar? Dua Sisi Kasus FTC vs. Meta
Persidangan ini bukan sekadar tentang TikTok. FTC menuduh Meta melakukan praktik monopoli dengan mengakuisisi Instagram (2012) dan WhatsApp (2014). Jika kalah, Meta bisa dipaksa melepas kedua platform tersebut—skenario yang disebut Zuckerberg sebagai “bencana” bagi perusahaan.
Ironisnya, justru kehadiran TikTok menjadi argumen terkuat tim hukum Meta. Mereka bersikukuh bahwa pasar sosial media tetap kompetitif dengan adanya YouTube, iMessage, LinkedIn, dan khususnya TikTok sebagai penantang serius.
Pakar hukum antimonopoli Gregory Day dari University of Georgia memberi catatan: “Kasus ini akan menjadi preseden apakah regulator melihat kompetisi secara tradisional (berbasis fitur) atau modern (berbasis perhatian pengguna).”
Di balik semua ini, satu hal jelas: TikTok telah memaksa seluruh industri—termasuk raksasa seperti Meta—untuk menulis ulang aturan main di era dimana konten lebih berharga daripada koneksi.