Telset.id – Bagaimana rasanya menjadi produsen mobil baru yang langsung terjun ke pasar kompetitif? Tanyakan pada Xiaomi. Baru beberapa bulan meluncurkan SU7, sedan listrik andalannya, perusahaan asal China ini sudah mendapat tamparan keras. Menurut laporan terbaru dari China Automobile Quality Network, Xiaomi SU7 menempati peringkat terbawah dalam kategori sedan listrik besar (large BEV sedans) untuk kuartal pertama 2025.
Dengan 239 poin penalti—56 poin di atas rata-rata segmen—Xiaomi SU7 menunjukkan risiko tinggi terhadap potensi cacat dan rasio keluhan yang mengkhawatirkan. Ironisnya, di tengah performa buruk ini, penjualannya justru melesat: 104.454 unit terjual dari Januari hingga April 2025. Sebuah paradoks yang patut dikulik lebih dalam.
Kualitas vs. Popularitas: Dilema Xiaomi SU7
China Automobile Quality Network, platform pengaduan resmi di bawah China Market Supervision Administration, mengumpulkan laporan dari pemilik mobil terkait gangguan teknis, risiko keselamatan, dan cacat produksi. Poin penalti diberikan berdasarkan frekuensi dan tingkat keparahan masalah. Semakin tinggi poin, semakin buruk kualitasnya.
Di kategori yang sama, pesaing seperti GAC Hyptec GT meraih posisi teratas dengan 149 poin, disusul Voyah Passion (152 poin) dan Avatr 12 (153 poin). Sementara itu, Nio ET7 dan ET9 berada di tengah klasemen dengan 183 poin. Bahkan Geely Galaxy Starshine 8 EM, sedan hybrid mewah, disebut-sebut lebih unggul dalam hal keandalan.
Baca Juga:
Masalah Keamanan yang Menggantung
Kendati penjualan tinggi, Xiaomi SU7 belum lepas dari kontroversi. Insiden kecelakaan fatal pada 29 Maret 2025 sempat memicu perdebatan tentang standar keamanannya. CEO Lei Jun bahkan mengakui April sebagai “bulan tersulit” sejak perusahaan berdiri. Kini, laporan kualitas ini menambah daftar tantangan yang harus dihadapi.
Spesifikasi SU7 sebenarnya menjanjikan: panjang 4.997 mm, baterai 73,6 kWh untuk jarak 700 km (versi Standard), dan versi Max bertenaga 664 hp. Harganya? Terjangkau untuk segmennya: 215.900–299.900 yuan (sekitar Rp429 juta–Rp596 juta). Tapi, apakah performa teknis bisa menebus ketidakpercayaan konsumen?
Xiaomi bukan satu-satunya yang berjuang. Mazda EZ-60, crossover listrik baru, juga menghadapi ujian serupa di pasar global. Namun, berbeda dengan Xiaomi, Mazda punya reputasi panjang di industri otomotif.
Lalu, apa langkah Xiaomi ke depan? Perbaikan kualitas tentu jadi prioritas. Tapi, dengan waktu tunggu pengiriman SU7 Pro mencapai 11,5 bulan—seperti terlihat dalam gambar di atas—apakah mereka bisa memenuhi harapan pelanggan tanpa mengorbankan kualitas?
Pasar mobil listrik China memang keras. Seperti trend di Shanghai Auto Show, inovasi saja tak cukup. Konsumen menginginkan keandalan. Jika Xiaomi gagal membenahi diri, SU7 mungkin hanya akan jadi “smartphone beroda” yang cepat usang.