Tragedi Terra Drone: Saat ‘Emas Putih’ Berubah Menjadi Kamar Gas, dan Kegagalan Kita Melindungi Nyawa

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Jakarta – Duka mendalam menyelimuti langit Kemayoran. Tanggal 9 Desember 2025 akan dikenang sebagai hari kelabu bagi industri teknologi Indonesia. Terbakarnya fasilitas Terra Drone yang merenggut 22 nyawa bukan sekadar “kecelakaan kerja” biasa. Ini adalah wake-up call yang brutal.

Di balik narasi transisi energi dan kecanggihan teknologi drone, tersimpan realitas pahit yang jarang dibahas: kita sedang berlari kencang mengadopsi teknologi baterai litium (“emas putih”), namun regulasi keselamatan kita masih berjalan pincang.

Analisis ini tidak bertujuan mencari kambing hitam, melainkan membedah fakta saintifik dan sistemik agar tragedi serupa tidak terulang. Mengapa 22 nyawa bisa melayang begitu cepat? Jawabannya ada pada persimpangan antara ilusi keamanan energi hijau dan sains mematikan dari thermal runaway.

Paradoks Energi Hijau: Teknologi Maju, SOP Masa Lalu

Kita sering mendengar mantra “Green Energy” untuk menyelamatkan bumi. Baterai litium adalah jantung dari revolusi ini, mulai dari kendaraan listrik (EV) hingga drone. Namun, insiden Terra Drone menampar kita dengan fakta keras: Baterai litium bukanlah batu baterai biasa. Ia adalah penyimpanan energi densitas tinggi yang secara kimiawi tidak stabil jika salah penanganan.

Fakta di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan fatal. Kita mengimpor teknologi kelas dunia, tapi menyimpannya dengan standar “gudang kelontong”.

  • Densitas Mematikan: Di banyak fasilitas teknologi, baterai seringkali ditumpuk (overcrowded) demi efisiensi ruang. Dalam kasus litium, tumpukan ini adalah reaksi berantai yang menunggu pemicu.

  • Salah Kaprah Infrastruktur: Menyimpan ribuan sel baterai di ruko atau gedung perkantoran biasa tanpa sekat api (firewalls) dan ventilasi khusus B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah tindakan yang mengundang bencana.

Ironisnya, kita ingin menyelamatkan lingkungan dengan energi hijau, namun infrastruktur penyimpanannya justru menjadi ancaman bagi lingkungan kerja itu sendiri.

The Silent Killer: Bukan Api, Tapi Asapnya

Publik mungkin bertanya, “Mengapa korban tidak sempat lari?” Pertanyaan ini menyakitkan, namun jawabannya penting untuk dipahami secara forensik.

Data menunjukkan bahwa dalam kebakaran baterai litium, musuh utamanya bukanlah lidah api yang terlihat, melainkan apa yang tidak terlihat. Fenomena ini disebut Thermal Runaway.

  1. Reaksi Hitungan Detik: Saat satu sel baterai gagal, ia memanaskan sel di sebelahnya, menciptakan efek domino yang tak terhentikan dalam hitungan detik.

  2. Kamar Gas Instan: Proses ini melepaskan gas beracun dalam volume masif, termasuk Hidrogen Fluorida (HF), Karbon Monoksida (CO), dan Hidrogen Sianida.

  3. Lumpuh Sebelum Terbakar: Gas HF sangat korosif dan mematikan. Jika terhirup, ia bereaksi dengan kelembapan di paru-paru, menyebabkan kerusakan sistem pernapasan seketika.

Besar kemungkinan, banyak dari 22 saudara kita yang gugur di Terra Drone kehilangan kesadaran akibat inhalasi asap beracun ini jauh sebelum api menyentuh mereka. Mereka tidak terjebak oleh api semata, mereka terperangkap dalam gedung yang sistem ventilasinya tidak didesain untuk membuang gas kimia secepat kilat.

Mitos APAR dan Kegagalan Sistemik

Laporan menyebutkan para karyawan sempat mencoba memadamkan api dengan 5 tabung APAR (Alat Pemadam Api Ringan). Upaya heroik ini patut dihormati, namun secara sains, mereka sedang bertarung dalam pertempuran yang mustahil dimenangkan.

Ini adalah kritik keras bagi regulator dan standar keselamatan industri (K3):

  • Oksigen Mandiri: Api litium tidak butuh oksigen dari udara luar untuk menyala; ia menghasilkan oksigen sendiri saat bahan kimianya terurai. APAR konvensional yang bekerja dengan memutus oksigen (smothering) nyaris tidak berguna melawan thermal runaway.

  • False Security: Menyediakan APAR standar di gudang baterai memberikan rasa aman palsu. Hal ini justru membuat karyawan bertahan di lokasi untuk memadamkan api, padahal detik-detik berharga itu seharusnya digunakan untuk evakuasi total.

Sebuah Tuntutan untuk Perubahan

Tragedi Terra Drone di Kemayoran, yang terjadi di tahun yang sama dengan insiden gudang baterai di California, membuktikan bahwa ini adalah isu global. Namun, negara maju merespons dengan zonasi ketat dan alat pemadam khusus (seperti agen pemadam berbasis dispersi air atau pasir khusus).

Indonesia tidak boleh lagi gagap. Jangan sampai “Indonesia Emas 2045” terhambat karena kita abai pada nyawa SDM kita sendiri. Sudah saatnya regulasi penyimpanan baterai litium diperketat:

  1. Wajibkan sistem deteksi gas dini, bukan hanya deteksi asap.

  2. Larangan penyimpanan massal di gedung yang tidak memiliki jalur evakuasi gas beracun.

  3. Edukasi bahwa jika baterai mendesis, LARI, jangan coba dipadamkan dengan alat seadanya.

Kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggantikan kehilangan ini. Artikel ini ditulis bukan untuk membuka luka, melainkan untuk memastikan bahwa kepergian mereka menjadi momentum perbaikan sistem yang menyelamatkan ribuan nyawa pekerja lain di masa depan.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI