Telset.id – Jika Anda berpikir transfer data pribadi ke luar negeri hanya soal efisiensi bisnis, siap-siap terkejut. Permintaan Donald Trump agar Indonesia membuka akses data warga negaranya sebagai bagian dari kesepakatan tarif impor memantik perdebatan serius tentang kedaulatan digital. Lantas, bagaimana seharusnya Indonesia menyikapi hal ini?
Pengamat keamanan siber sekaligus Chairman CISSReC, Pratama Persadha, menyoroti bahwa permintaan AS ini bukan sekadar kerja sama teknis, melainkan sinyal geopolitik yang harus diwaspadai. “Negara-negara besar telah menjadikan penguasaan data sebagai instrumen pengaruh global,” tegasnya dalam analisis eksklusif untuk CNBC Indonesia.
Data Sebagai Komoditas Strategis
Pratama menegaskan, data kini menjadi aset strategis setara dengan minyak atau mineral. Ketika data pribadi warga Indonesia mengalir ke AS—yang belum memiliki undang-undang perlindungan data setara GDPR Eropa—risiko penyalahgunaan oleh korporasi teknologi atau lembaga keamanan asing menjadi nyata. Seperti diungkap dalam analisis sebelumnya, ini bisa menjadi celah bagi pelanggaran privasi massal.
Baca Juga:
UU PDP Sebagai Tameng
Pratama menggarisbawahi bahwa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27/2022 sebenarnya sudah menyediakan kerangka hukum yang jelas. Pasal 56 UU PDP memperbolehkan transfer data lintas batas, asalkan negara tujuan memiliki standar perlindungan yang setara atau ada perjanjian internasional. Namun, seperti ditegaskan pemerintah, implementasinya membutuhkan lembaga pengawas independen (LPPDP) untuk mengevaluasi kepatuhan AS.
Peluang di Balik Tantangan
Alih-alih panik, Pratama melihat momen ini sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk memimpin standar perlindungan data global. “Kita perlu merumuskan kesepakatan bilateral yang menjamin hak digital WNI, termasuk hak untuk menghapus data atau menggugat pelanggaran privasi,” ujarnya. Pendekatan ini, menurutnya, akan menempatkan Indonesia bukan sebagai pengikut, tetapi pembentuk arus utama tata kelola data dunia.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan bahwa kesepakatan dengan AS masih dalam finalisasi. “Ini bukan penyerahan data secara bebas, melainkan kerangka hukum yang terukur,” jelasnya. Transfer data hanya akan dilakukan untuk kepentingan sah seperti layanan cloud, e-commerce, atau riset—sesuai payung UU PDP dan PP No. 71/2019 tentang Transaksi Elektronik.
Pertanyaannya kini: bisakah Indonesia menjaga keseimbangan antara menarik investasi digital dan melindungi kedaulatan data warganya? Jawabannya terletak pada konsistensi implementasi UU PDP dan ketegasan LPPDP yang akan dibentuk. Sebab, seperti kata Pratama, “Data warga adalah bahan baku ekonomi digital masa depan. Jika tidak dikelola dengan baik, kita hanya akan menjadi penyuplai bahan mentah bagi inovasi asing.”