Telkomsel Mengaku Tak Dilibatkan Revisi Aturan Network Sharing

Telset.id, Jakarta – Ada yang menarik dari ‘kegaduhan’ soal isu network sharing yang terus digaung-gaungkan sejumlah operator seluler di Indonesia. Telkomsel sebagai operator terbesar justru mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi soal aturan network sharing.

“Kami tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi aturan soal network sharing,” kata Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah saat berbincang dengan awak media di acara buka puasa bersama, Senin (27/6/2016).

Ririek mengaku selama ini lebih banyak mengikuti kabar tentang revisi aturan network sharing dari pemberitaan di media, sehingga tidak tahu detail dari isi perubahan peraturan pemerintah itu. “Cuma baca saja dari media kalau ada perubahan, tapi gak tahu detail isinya,” ujarnya.

Saat ini pemerintah sedang menggodok soal aturan network sharing dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Telekomunikasi yang mengatur masalah frekuensi dan orbit satelit. Kabarnya revisi aturan ini sudah masuk di meja Sekretariat Kabinet, tinggal menunggu ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan sejumlah awak media, President Director & CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan sangat berharap tidak menemui hambatan dalam revisi PP 53/2000 guna memuluskan network sharing.

[Baca juga: Bos Telkomsel: Kami Besar karena Kerja Keras Bangun Jaringan]

Revisi PP No 53/2000 sangat penting untuk memuluskan aturan main network sharing yang ingin dijalankan operator telekomunikasi, khususnya dalam penggunaan frekuensi secara bersama. Dua operator yang sangat getol meneriakkan soal network sharing adalah Indosat dan XL Axiata.

Telkomsel sendiri belakangan merasa gerah karena dituding menghambat keluarnya revisi aturan network sharing. Bahkan Indosat secara terang-terangan menyerang Telkomsel yang disebutnya selalu menjegal aturan yang diusulkan oleh operator pesaingnya.

Ririek menegaskan bahwa Telkomsel tidak alergi dengan network sharing, asal tidak menjadikan kewajiban, tetapi hanya sebagai deal business to business (B2B). Karena kalau sifatnya kewajiban justru bisa menjadi bom waktu bagi pembangunan infrastruktur telekomunikasi Indonesia.

“Kalau jadi kewajiban bisa merugikan kepentingan nasional, karena nanti gak ada yang mau bangun jaringan duluan, saling tunggu-tungguan. Kalau frekuensi dikasih ke yang tak punya komitmen membangun, kasihan masyarakat akhirnya yang rugi,” ujarnya.

[Baca juga: Dituding Monopoli, Telkomsel: Cuma Kami yang Mau ke Pelosok]

Ia juga mengingatkan dalam aturan network sharing juga harus melihat pemenuhan kewajiban lisensi yang dipegang oleh operator. Jangan sampai network sharing hanya menjadi akal-akalan untuk menghindari kewajiban.

“Jangan sampai network sharing dipakai untuk mengakali kewajiban di lisensi yang mereka (operator) pegang. Kalau lisensinya nasional, ya harus bangun nasional dong. Kami saja yang konsisten belanja modalnya besar baru menjangkau 95% populasi,” sindirnya.

Menurutnya, jika operator pemegang lisensi dan memiliki frekuensi tidak mau membangun infrastruktur jaringan, maka negara yang akan dirugikan. Pasalnya, alokasi frekuensi di Indonesia sangat terbatas untuk mobile broadband.

“Spektrum frekuensi itu sumber daya terbatas, dan yang dialokasikan untuk mobile broadband di Indonesia paling sedikit yang dibuka jika dibandingkan negara lain. Gak usah dibandingkan negara maju, dengan Filipina saja, mereka sudah membuka alternatif spektrum lain untuk seluler, misalnya di spektrum 2,6 GHz,” tutur Ririek.

Orang nomor satu di Telkomsel ini menyebutkan bahwa regulasi sejatinya adalah sebagai salah satu tools untuk memengaruhi industri. Namun dalam membuta regulasi tetap harus berpatokan pada keadilan dan perhitungan matang.

[Baca juga: Pengamat: Kalah Bersaing, Indosat kok Teriak Monopoli]

“Ini kan ibaratnya seperti lari marathon dari Jakarta ke Bandung. Awalnya sudah disepakati finish di Bandung, tapi pada saat Telkomsel sudah jauh meninggalkan lawan-lawannya sampai di Cimahi, tiba-tiba peraturannya diubah finish-nya di Bekasi. Itu kan namanya gak fair,” ucapnya memberikan ilustrasi.

Intinya regulasi boleh membantu operator lain, tetapi juga harus memperhatikan fairness dan kepentingan nasional harus diperhitungkan. Ia juga mengatakan saat ini industri  telekomunikasi dinilai sedang dalam masa transisi ke layanan data.

“Harusnya ini ada peluang bagi mereka (para operator) untuk mengejar ketertinggalan, tapi mau atau gak mereka memanfaatkannya. Karena kalau gak mau investasi, ya jangan berharap bisa ada peluang,” pungkas pria asal Yogyakarta itu.[HBS]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI
ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI