Telset.id, Jakarta – Rencana Kementerian Kominfo untuk menurunkan tarif interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris ditentang oleh sejumlah pengamat dan ekonom. Alasannya, turunnya biaya interkoneksi justru membuat operator malas membangun jaringan, dan akan berpotensi menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Pakar Telekomunikasi, Hasnul Suhaimi. Menurutnya, penurunan tarif interkoneksi penting agar tidak ada batasan bagi setiap orang untuk melakukan panggilan dari satu operator ke operator lainnya.
“Secara prinsip, interkoneksi itu diupayakan agar serendah mungkin supaya tidak ada batasan orang untuk menelpon dari satu operator ke operator lainnya. Sekarang kalau kita lihat, orang telpon ke sesama operator itu murah, tapi ketika ke operator lain mahalnya minta ampun,” ujar pria yang pernah menjabat Direktur Utama Indosat dan XL Axiata.
[Baca juga: Tarif Interkoneksi Turun, Operator Makin Malas Bangun Jaringan]
Hasnul menambahkan, penurunan tarif interkoneksi menjadikan industri telekomunikasi di Indonesia menjadi sehat, karena tidak adanya subsidi silang antar operator ketika melakukan panggilan dengan operator lainnya.
Lebih lanjut, pria asal Bukittinggi, Sumatera Barat ini memaparkan jika memang ada tarif tambahan ketika menelepon ke operator lainnya, setidaknya tidak terlampau jauh dibandingkan dengan sesama operator, agar lebih murah.
“Jika dilihat dari prinsipnya, semakin kecil tarif interkoneksi akan semakin baik sehingga tidak ada batas bagi seseorang untuk melakukan panggilan,” ucap Hasnul.
Hal senada juga diungkapkan Heru Sutadi, Pakar Telekomunikasi yang pernah menjabat anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) . Ia berujar bahwa interkoneksi perhitungannya berdasarkan data pemilik jaringan dan seharusnya tidak memberatkan operator.
“Apalagi metodenya masih pakai LRIC yang memperhitungkan legacy cost. Metode ini sudah absulete karena terlalu menguntungkan pemilik jaringan dan menghambat persaingan. Harusnya sekarang pakai cost+ saja sebagaimana dipakai dibanyak negara. Selain itu teknologi circuit switch kan juga sudah usang dan diganti IP based, yang biayanya lebih murah,” ujar Heru.
Sementara itu, General Manager Corporate Communication PT XL Axiata Tbk, Tri Wahyuningsih menuturkan bahwa pihaknya sangat mengapresiasi keputusan pemerintah atas penurunan tarif interkoneksi.
“Tentunya semakin besar penurunannya akan membawa industri semakin efisien lagi. Menurut kami baik operator maupun pelanggan akan diuntungkan dengan penurunan interkoneksi ini. Bagi operator, artinya biaya menjadi lebih kecil, sehingga efisiensi dapat terjadi,” papar wanita yang akrab disapa Ayu.
Dengan penurunan tarif interkoneksi artinya juga operator akan dapat menawarkan tarif offnet (telp ke operator lain) yang lebih kompetitif, dengan demikian akan lebih banyak operator yang dapat menawarkan layanannya di suatu daerah, dan akhirnya pelanggan akan mendapatkan tarif yang lebih murah sehingga tidak perlu lagi menggunakan nomor yang berbeda untuk memanggil nomor operator lain.
Jika ditanya siapa yang diuntungkan dari penurunan tarif ini, sejatinya end user lah yang akan mendapatkan keuntungan paling besar. Pasalnya, dengan turunnya tarif interkoneksi tadi tentunya berimbas pada penurunan tarif retail ke konsumen.
Untuk industri telekomunikasi, sejatinya penurunan ini akan memberikan persaingan yang lebih sehat, karena operator tidak melulu harus memberikan subsidi kepada para pelanggannya. (HZ)