Telset.id – Bayangkan sebuah platform digital yang dihuni oleh lebih dari 151 juta pengguna aktif harian, sebagian besar adalah anak-anak, tiba-tiba lenyap dari peta internet sebuah negara besar. Itulah yang baru saja terjadi. Rusia secara resmi memblokir akses ke Roblox, sebuah langkah drastis yang diumumkan oleh badan pengawas komunikasi negara itu, Roskomnadzor. Alasan resminya? Tuduhan penyebaran materi ekstremis dan yang lebih mencolok: “propaganda LGBT”. Namun, di balik narasi politik yang kental, tersembunyi ironi yang dalam tentang keamanan digital bagi generasi muda.
Roskomnadzor, dalam pernyataannya, menyebut bahwa Roblox “penuh dengan konten yang tidak pantas yang dapat berdampak negatif pada perkembangan spiritual dan moral anak-anak.” Pernyataan ini bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari gelombang besar tindakan keras Rusia terhadap apa yang disebutnya “gerakan LGBT internasional.” Baru-baru ini, tekanan serupa berhasil membuat aplikasi pembelajaran bahasa Duolingo menghapus referensi tentang apa yang oleh negara itu disebut “hubungan seksual non-tradisional.” Pengadilan Rusia pun rutin menjatuhkan denda kepada organisasi yang dianggap melanggar undang-undang “propaganda LGBT,” yang mengkriminalkan promosi hubungan sesama jenis. Presiden Vladimir Putin bahkan pernah menyebut perlindungan hak-hak gay dan transgender sebagai langkah “menuju satanisme terbuka.” Dalam konteks ini, blokir terhadap Roblox hanyalah batu bata lain dalam tembok sensor yang semakin tinggi.
Namun, di sinilah letak paradoksnya. Roblox, menurut banyak pengamat keamanan siber global, memang memiliki masalah serius. Platform ini telah lama dicatat sebagai surga bagi predator anak, sebuah isu yang begitu krusial hingga mendorong negara-negara lain seperti Irak dan Turki untuk juga memblokirnya. Pertanyaannya menggelitik: mengapa Rusia, yang begitu vokal melindungi “moral anak-anak” dari pengaruh LGBT, tampak kurang begitu gusar dengan ancaman nyata predator siber yang berseliweran di koridor virtual Roblox? Apakah perlindungan anak hanya selektif, bergantung pada narasi politik mana yang sedang diusung?

Untuk memberikan keadilan, perusahaan di balik Roblox tidak tinggal diam. Menyadari badai kritik yang menerpa, mereka telah mulai melakukan tindakan. Upaya penertiban terhadap konten buatan pengguna (user-generated content) diperketat, dan batasan baru berbasis usia diterapkan. Langkah-langkah ini adalah bagian dari inisiatif keamanan yang terus diperbarui, seperti yang pernah diumumkan perusahaan melalui akun resminya. Upaya serupa untuk meningkatkan pengawasan juga terlihat dalam kebijakan Mulai Desember, Roblox Perketat Akses Bagi Pengguna Muda dan penyempurnaan fitur keamanan Roblox khusus untuk pengguna di bawah 13 tahun. Bahkan, kontrol orang tua telah diperbarui untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman untuk anak. Ini menunjukkan kesadaran perusahaan akan tanggung jawabnya, meski jalan yang harus ditempuh masih panjang.
Baca Juga:
Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di balik blokir ini? Apakah murni tentang perlindungan anak, atau ada agenda politik yang lebih besar? Larangan Rusia terhadap Roblox mengangkat sebuah diskusi penting yang sering kali terdistorsi: perbedaan antara bahaya yang dirasakan (perceived danger) dan bahaya yang nyata (real danger). “Propaganda LGBT” dalam pandangan Kremlin adalah ancaman ideologis terhadap nilai-nilai tradisional negara. Sementara itu, ancaman predator anak di platform daring adalah bahaya kriminal yang konkret dan universal, yang diakui oleh banyak negara terlepas dari pandangan politik mereka. Ketika sebuah pemerintah terlihat lebih fokus memberangus yang pertama sambil mengabaikan skala yang kedua, maka motif sebenarnya patut dipertanyakan.
Blokir ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan ruang digital global yang semakin terfragmentasi. Jika setiap negara mulai memblokir platform berdasarkan interpretasi subjektif terhadap “konten yang pantas,” maka internet yang kita kenal—sebagai ruang terbuka dan terhubung—akan perlahan sirna. Rusia, dengan kebijakan “internet berdaulat”-nya, telah menjadi pelopor dalam fragmentasi ini. Keputusan terhadap Roblox adalah contoh nyata bagaimana hukum nasional yang kontroversial digunakan untuk mengatur aliran informasi global, dengan anak-anak sebagai justifikasi utamanya, meski mungkin bukan alasan satu-satunya.
Lalu, bagaimana dengan 151 juta pengguna aktif harian Roblox di seluruh dunia? Bagi mereka, platform ini lebih dari sekadar game; ia adalah taman bermain, tempat sosialisasi, dan bahkan ruang kreasi. Keputusan Rusia memutus akses jutaan anak dan remajanya dari dunia virtual itu. Namun, apakah pemutusan ini membuat mereka lebih aman? Atau justru memindahkan mereka ke platform lain yang mungkin memiliki pengawasan keamanan yang lebih lemah? Kebijakan pelarangan sering kali seperti menutup satu lubang pada sebuah bendungan yang retak-retak—air akan mencari celah lain untuk keluar, dan celah itu belum tentu lebih aman.
Pada akhirnya, kasus Roblox di Rusia adalah sebuah cermin. Ia memantulkan ketegangan abadi antara kedaulatan negara dan sifat borderless internet, antara moralitas politik dan keamanan publik yang sebenarnya. Ia mengingatkan kita bahwa dalam era digital, perlindungan anak tidak boleh dijadikan tameng untuk kebijakan sensor yang bersifat politis. Ancaman terhadap anak di dunia online nyata dan multidimensi, mulai dari eksploitasi seksual hingga perundungan siber. Membutuhkan solusi yang tulus, komprehensif, dan kolaboratif—bukan sekadar pelarangan yang didasari narasi sepihak. Roblox sendiri, dengan segala kontroversinya, sedang berusaha berbenah. Tapi pertanyaannya tetap: apakah kita, sebagai masyarakat global, lebih memilih untuk menyensor, atau membangun pengawasan yang lebih cerdas dan manusiawi?

