Telset.id, Jakarta – Pada acara diskusi awal tahun bertajuk Indonesia Digital Economy Forecast 2017 yang diadakan di Jakarta, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan bahwa agar negara bisa memiliki daya saing maka ekonomi harus efisien dan digitalisasi adalah kuncinya.
“Selama ini kontribusi dari sektor komunikasi dan informasi menyumbang sekitar 4% dari GDP. Tahun depan mudah-mudahan akan semakin besar. Pada 2020 sekitar 10-12% digital economy akan disumbang oleh sektor digital baik device, network, aplikasi hingga penyiaran digital,” katanya.
Agar target itu tercapai, perlu upaya-upaya yang tidak biasa agar industri telekomunikasi tumbuh sehat. Salah satunya dengan adanya network sharing hal ini nantinya akan berdampak pada harga yang dapat turun, pengguna makin banyak karena tarif makin terjangkau (affordable).
Namun sebenarnya network sharing dan frekuensi sharing bukanlah satu-satunya yang bisa menciptakan persaingan usaha yang sehat dan membuat industri telekomunikasi menjadi efisien.
Menurut Muhammad Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), jika pemerintah ingin menciptakan industri telekomunikasi yang efisien dan tercipta persaingan usaha sehat adalah dengan segera menetapkan biaya interkoneksi.
KPPU meminta agar dalam menetapkan biaya interkoneksi pemerintah harus berdasarkan aturan yang ada dan ditetapkan secara fair.
Selain menerapkan biaya interkoneksi yang fair bagi seluruh pelaku usaha telekomunikasi, Syarkawi meminta agar pemerintah dapat mengatur tarif off net yang diberlakukan operator telekomunikasi.
Saat ini KPPU melihat tarif on net sudah relatif lebih baik. Bahkan cenderung turun. Namun yang menjadi perhatian KPPU saat ini adalah tarif off net. Syarkawi melihat tarif off net yang saat ini ditetapkan operator bisa lima hingga 10 kali dari tarif on nett.
“Saat ini harga tarif off net masih menjadi permasalahan sendiri. Itu yang membuat biaya telekomunikasi di Indonesia mahal. Seharusnya pemerintah tidak hanya mengatur tarif interkoneksinya saja. Tetepi juga bisa menetapkan batas maksimum tarif off net,”papar Syarkawi.
Menurut Syarkawi, jika pemerintah tak segera mengatur batas atas tarif off net, maka impilikasi yang akan terjadi adalah masyarakat akan membeli kartu salah satu operator saja. Karena masyarakat mengangap tarif on net jauh lebih murah dibandingkan tarif off net.
Jika dibiarkan terlalu lama maka industri telekomunikasi di Indonesia akan tersegment oleh operator telekomunikasi.
“Menurut KPPU itu tidak baik. Yang diinginkan KPPU adalah industri telekomunikasi di Indonesia dapat terkoneksi satu sama lainnya. Sehingga pasar telekomunkasi di Indonesia semakin kompetitif,”terang Syarkawi.
Mengenai network sharing dan frekuensi sharing, KPPU juga mencium adanya potensi persaingan usaha tidak sehat. Sejak awal industri telekomunikasi dibangun, Indonesia mengenal modern licensing.
Modern licensing adalah komitmen membangun jaringan yang dikeluarkan oleh operator ketika mereka mendapatkan izin penyelenggaraan telekomunikasi.
Ada satu operator yang aktif membangun infrastruktur di berbagai daerah. Bahkan hingga pelosok dan daerah terpencil di Indonesia yang merupakan pasar yang tidak menguntungkan dari sisi bisnis.
Karena memiliki komitmen yang kuat terhadap modern licensing tersebut, Syarkawi mengatakan operator tersebut terus membangun sesuai dengan janji yang telah disepakati dengan pemerintah.
Namun di sisi yang lainnya pemerintah juga ingin mendorong utilisasi frekuensi dan infrastrktur yang dimiliki operator secara maksimal. Karena alasan tersebut pemerintah mendorong terjadinya network sharing dan frekuensi sharing.
“Melihat dinamika ini KPPU ingin agar proses network sharing dan frekuensi sharing ini juga mempertimbangkan aspek keadilan bagi operator yang sudah sejak awal telah membangun infrastruktur. Pemerintah seharusnya tidak semata-mata melihat pada aspek bisnis saja. Aspek keadilan juga harus menjadi perhatian pemerintah,”terang Syarkawi.
Jika pemerintah dengan seenaknya saja menerapkan network sharing dan tanpa mempertimbangkan aspek keadilan, KPPU melihat akan berdampak pada pembangunan infrastrktur telekomunikasi di masa mendatang.
KPPU melihat penerapan network sharing dan frekuensi sharing ini justru akan menghilangkan insentif bagi operator untuk membangun infrastrktur telekomunikasi.
Syarkawi menjelaskan, praktik network sharing di berbagai negara sangat beragam. Ada yang hanya diperbolehkan di daerah terpencil dan belum terlayani telekomunikasi. Sementara ada negara yang sama sekali tidak mengizinkan terselenggaranya network sharing dan frekuwensi sharing.
“Jika nantinya tarif network sharing dan frekuensi sharing ini diatur lagi pemerintah, KPPU melihat akan menjadi permasalahan baru yang akan muncul di industri telekomunikasi di masa mendatang,”papar Syarkawi.
Selain penerapan network sharing, KPPU ingin aspek keadilan juga diberlakukan pada penetapan tarif internet baik itu di Jawa maupun di luar Jawa. Saat ini tarif internet di luar Jawa terbilang tinggi dibandingkan dengan di Jawa. Tarifnya bisa mencapai 1,6 kali dari di Jawa.
KPPU mensinyalir perbedaan tariff yang saat ini terjadi dikarenakan jumlah pemain di luar Jawa yang masih sangat terbatas.
”Mungkin hanya ada Telkom Grup yang ada dan mau membangun di sana. Jika hanya ada satu operator saja yang disana maka tugas pemerintah untuk meregulasi agar operator lain mau membangun di sana. Atau juga bisa menerapkan regulasi degan harga tertinggi ,”terang Syarkawi.
Diharapkan dengan regulasi yang fair, dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi Indonesia. (MS)