Telset.id, Jakarta – Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) dianggap masih belum mampu menjamin industri ICT di Indonesia sehat. Pasalnya, PP Postelsiar masih menguntungkan pemain Over The Top (OTT) asing.
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada penghujung tahun lalu berkaitan erat dengan kecepatan melajunya industri ICT.
Hal ini dipertegas dengan kehadiran beleid turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021.
{Baca juga: Carrier Billing Bisa Jadi Solusi Polemik Operator dan OTT, Tapi…}
Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala, menyoroti beberapa kelemahan PP Postelsiar terhadap pengaturan bisnis OTT asing.
“Tidak disinggung mengenai pajak digital, yang justru menguntungkan OTT dalam menjalankan usahanya di pasar Indonesia yang besar. Negara jadi rugi, karena devisa mengalir keluar,” tegas Kamilov di acara webinar “Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar”, Rabu (24/3/2021).
Menurut Kamilov, pemerintah atau regulator seharusnya konsisten untuk menyelamatkan industri di dalam negeri dan juga konsumennya.
“Dengan tidak adanya BRTI, Kominfo sebagai penguasa tunggal tidak bisa otoriter. Harus dibangun hubungan dengan asosiasi-asosiasi telekomunikasi yang peduli terhadap perkembangan industri dan perlindungan masyarakat.” katanya.
{Baca juga: BRTI Dibubarkan, Industri Telekomunikasi akan Jadi Monopolistik}
Senada dengan Kamilov, Muhammad Ridwan Efendi, Sekretaris Jenderal Pusat Kajian dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, peranan Menkominfo sangat penting dalam menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat sesuai amanat PP Postelsiar.
“Perlu diingat bahwa kerja sama pemanfaatan infrastruktur aktif bisa dilaksanakan antar operator, namun jangan sampai menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena kerja sama itu dilakukan oleh operator yang berkompetisi di pasar yang sama,” kata Ridwan.
Atas dasar itulah, mantan Komisioner BRTI tersebut mengusulkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah dalam menyusun Peraturan Menteri yang menjadi petunjuk teknis PP Postelsiar.
Menurutnya, agar persaingan usaha yang tidak sehat bisa dihindari sebelum dilaksanakan kerja sama pemanfaatan infrastruktur, diperlukan peran Menteri dalam memberikan persetujuan.
“Peraturan Menteri juga sebaiknya melarang praktik roaming nasional, serta melarang kerja sama frekuensi kecuali untuk teknologi baru seperti 5G atau GSM-R,” tandasnya
{Baca juga: Seleksi Jaringan 5G di Indonesia Batal, Ini Penyebabnya}
OTT di Atas Angin
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin, berharap terbitnya UU Cipta Kerja dan PP Postelsiar bisa membawa angin perubahan bagi industri ICT.
“Keduanya memungkinkan hal-hal yang tadinya tabu bagi pemain Telco seperti network sharing atau penggunaan frekuensi 700 MHz untuk mobile broadband jadi bisa dilakukan,” kata Doni di acara webinar “Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar”, Rabu (24/3/2021).
Selain itu, kata Doni, adanya PP Postelsiar diharapkan juga bisa menjamin kepastian hukum terkait analog switch off, serta memberi sinyal untuk pengaturan Over The Top (OTT) di Indonesia.
Mulai dari keharusan mengembalikan frekuensi ke negara ketika melakukan merger, biaya investasi infrastruktur yang tinggi sementara tarif terlalu murah, sampai bisnis operator yang mengalami tekanan akibat OTT di Indonesia.
Doni berpendapat, bahwa posisi OTT lebih di atas angin terhadap operator. Hal itu bisa terlihat dari regulatory charges terhadap OTT yang tidak sama dengan operator, padahal layanan OTT mirip dengan operator.
“Mereka bahkan sekarang punya infrastruktur fisik seperti operator seperti kabel laut sendiri. Isu-isu kesetaraan berusaha ini harus dibereskan oleh pemerintah,” imbuhnya.
{Baca juga: Menkominfo Targetkan Infrastruktur TV Digital Selesai 2022}
Direktur ICT Institute Heru Sutadi mengungkapkan, bahwa masyarakat Indonesia sangat aktif menggunakan internet dan sosial media melalui berbagai gawai yang dimilikinya.
Di awal 2021, ICT Institute menyebut ada 345,3 juta gawai (mobile connection) yang digunakan masyarakat Indonesia. Angka tersebut setara dengan 125,6% terhadap total populasi sebanyak 274,9 juta jiwa.
“Internet di Indonesia digunakan oleh setidaknya 202,6 juta orang dan 170 juta orang juga pengguna aktif sosial media,” terang Heru.
Menurutnya, masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk berbagai keperluan, mulai dari video, vlog, streaming musik, podcast, berkomunikasi, sampai membaca berita. Tidak heran jika kemudian banyak layanan OTT yang digunakan masyarakat.
Heru mencatat, YouTube, Whatsapp, Instagram, Facebook, Twitter, dan Facebook Messenger merupakan jenis media sosial yang paling banyak diakses. Menyusul kemudian Line, LinkedIn, Tiktok, Pinterest, Telegram dan lainnya juga digandrungi masyarakat.
Pergeseran gaya hidup tersebut, menurut Heru, membutuhkan infrastruktur ICT yang memadai, yang selama ini dibangun oleh operator telekomunikasi.
{Baca juga: Kominfo Bangun BTS 4G untuk Layanan Internet di 2.700 Desa}
Oleh karena itu, Heru berharap PP Postelsiar bisa menjamin kemudahan bagi operator dalam melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio.
Dengan begitu, bisa menciptakan efisiensi biaya pembangunan infrastruktur, memperluas cakupan wilayah layanan, dan membuat harga layanan telekomunikasi menjadi lebih terjangkau lagi. [HBS]