Telset.id, Jakarta – Polemik masalah interkoneksi ini bersumber dari kebijakan baru Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang akan menurunkan tarif interkoneksi sebesar 26% dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit.
Tak pelak salah satu pimpinan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, angkat bicara, menurutnya kebijakan interkoneksi yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dinilai bisa sangat membahayakan penerimaan negara dari sektor telekomunikasi dalam lima tahun ke depan.
Hal ini nantinya dapat dilihat dari potensi penurunan pendapatan hingga Rp 100 triliun, setoran dividen dan pajak ke pemerintah berkurang Rp 43 triliun, hingga investasi belanja modal di daerah rural berkurang Rp 12 triliun. Semua itu merupakan potensi kerugian Telkomsel yang dimiliki Telkom Group sebagai BUMN telekomunikasi.
Sementara dari catatan yang dimiliki BPK, Telkom Group hingga saat ini masih merupakan BUMN terbesar kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada negara. Sumbangsih Telkom kepada pendapatan negara, disebut BPK, mencapai Rp 7 triliun setiap bulannya.
“Telkom Group memiliki market capitalization terbesar kedua setelah BRI yang mencapai Rp 4.000 triliun. Karena Telkom merupakan salah satu blue chip yang dimiliki bangsa ini selain Pertamina, BRI, dan PLN, maka sudah menjadi tanggung jawab kami di BPK untuk menjaganya, terutama dari isu-isu negatif yang berpotensi merugikan negara,” kata Achsanul di Jakarta.
Jika penurunan biaya interkoneksi ini memberikan manfaat yang baik pada negara, menurut Achsanul, silakan saja untuk dijalankan. Namun jangan sampai turunnya biaya interkoneksi ini justru malah berpotensi menggerus penerimaan negara. Jika itu sampai terjadi maka bukan masyarakat dan negara yang mendapatkan manfaatnya.
Sejumlah pengamat telekomunikasi dan analis ekonomi juga menyatakan tidak sependapat dengan rencana Kementerian Kominfo yang akan menurunkan tarif interkoneksi dengan pola simetris. Alasannya, turunnya biaya interkoneksi justru membuat operator malas membangun jaringan, dan akan berpotensi terhambatnya pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia.
“Penurunan biaya interkoneksi ini akan membuat operator yang malas membangun infrastruktur menjadi lebih malas lagi membangun,” kata Ekonom Leonardo Henry Gavaza CFA.
Menkominfo Rudiantara dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan, penurunan biaya ini dilakukan agar tarif off-net (lintas operator) bisa mendekati tarif on-net (satu jaringan operator). Harapannya, agar trafik panggilan lintas jaringan bisa tumbuh untuk semua operator.
“Justru dengan adanya penurunan biaya interkoneksi, masyarakat akan semakin banyak untuk melakukan panggilan telepon,” terang Rudiantara di depan anggota Komisi I DPR RI, dalam rapat dengar pendapat, pekan lalu.
Namun pertumbuhan itu disangsikan bisa terjadi jika penurunan biaya interkoneksi itu tidak berdampak banyak terhadap tarif retail. Karena, komponen biaya interkoneksi itu hanya 15% dari total tarif retail, atau hanya 3,7% dari total komponen tarif seperti dikatakan Menkominfo di Komisi I DPR. (MS)